5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigma

Tanpa sadar masih sering terjadi

Toxic femininity (feminitas beracun) merupakan sebuah istilah yang secara luas mengacu pada tekanan yang dihadapi oleh perempuan terhadap nilai binerisme gender mereka. Praktik ini sering kali menyertakan tindakan perempuan untuk "tetap tunduk" dalam menghadapi dominasi dan agresi dari pihak laki-laki.

Toxic femininity beranggapan bahwa perempuan secara harfiah kurang memiliki hak dan pilihan. Hal tersebut lebih sering dikaitkan dengan hubungan perempuan dengan seorang laki-laki. Ini melibatkan figur seorang ayah yang kemudian setelah menikah diambil alih oleh suami si perempuan.

Feminitas beracun mengklaim bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang pendiam, penurut, menarik, dan penuh perhatian. Jadi, dalam hal ini perempuan didefinisikan dengan cara yang sangat dangkal dengan membudayakan objektifikasi perempuan.

1. Toxic femininity bisa bermula dari pikiran dan tindakan si perempuan

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigmailustrasi memarahi anak perempuan (pexels.com/RODNAE Productions)

Toxic femininity mencakup segala bentuk tindakan atau pikiran (yang dilakukan oleh perempuan) yang memberi keuntungan kepada orang lain, namun mengorbankan kesejahteraan mental dan emosionalnya. Hal ini dipandang sebagai pelengkap toxic masculinity karena sosok perempuan sering kali dianggap sebagai milik laki-laki yang mendominasi segala aspek kehidupan perempuan. 

Mencengangkannya lagi, toxic femininity cenderung memandu perempuan bahwa pengalaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadapnya adalah bentuk dari kegagalan. Dengan begitu, secara tidak langsung praktik toxic femininity akan menormalisasi tindak kekerasan pada perempuan.

2. Aturan tertentu dalam praktik toxic femininity

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigmailustrasi tindak kekerasan pada perempuan (pexels.com/Karolina Grabowska

Toxic femininity memiliki ragam aturan khusus yang termanifestasi ke dalam tindakan sehari-hari. Berdasarkan penelitian dan referensi budaya populer, komponen inti dari aturan khusus toxic femininity meliputi:

  • Docile: berupa gagasan yang mengharuskan perempuan untuk selalu siap menerima kontrol atau instruksi. Perempuan harus menjalani hidup untuk melayani dan fleksibel dalam berpikir.
  • Hyper-femininity: melibatkan kepatuhan secara ketat terhadap stereotip perilaku feminin. Perilaku ini diperkuat melalui hukuman, seperti dianggap bersalah karena mengalami kekerasan berbasis gender dan disebut pelacur karena menunjukkan tindakan menggoda.
  • Policing of femininity: upaya menekan perempuan lain untuk meniru perilaku yang dianggap feminin, misalnya melontarkan ujaran negatif atas pilihan seseorang untuk childfree (tidak ingin memiliki anak).
  • Sabotaging by abusing traditionally feminine qualities: mengacu pada gagasan bahwa semua perempuan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari laki-laki. Mirisnya lagi, seseorang dapat bertindak merugikan atau membenci perempuan sebagai sarana untuk membuktikan keunggulannya. Upaya yang mungkin dilakukan seperti menyebarkan gosip atau desas-desus sebagai maksud ancaman pengucilan sosial.

3. Toxic femininity adalah produk dari masyarakat patriarki

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigmailustrasi ibu dan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
dm-player

Gagasan toxic femininity semakin menyangkal identitas perempuan. Sementara itu, kemunculannya telah dikaitkan dengan masyarakat yang kental akan budaya patriarki. Adapun penggunaan istilah toxic femininity akan menyebarkan stereotip berbahaya dari perilaku feminin itu sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan sering dilabeli sebagai makhluk yang sangat emosional, manipulatif, dan suka bergosip. Stereotip berbahaya tersebut justru hanya akan menambah kesan negatif pada perempuan. Apabila praktik toxic femininity terus terjadi dan terakumulasi secara masif, maka bukan tidak mungkin akan memberi dampak terhadap ketidaksetaraan gender dalam pranata sosial kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga: Kenali Toxic Relationship, Racun yang Bikin Hidupmu Hancur

4. Dampak toxic femininity

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigmailustrasi bekerja di kantor (pexels.com/Mikhail Nilov)

Toxic femininity bisa sangat berbahaya karena menempatkan perempuan sebagai objek yang dapat dikontrol secara kontradiktif. Perempuan seolah harus menerima tekanan yang dianggap lumrah dalam setting masyarakat, misalnya tekanan untuk diam dan selalu tunduk pada peran dominasi laki-laki.

Selanjutnya, menyangkut persoalan karir. Praktik toxic femininity dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan kerja yang tentu akan memengaruhi kondisi kesehatan mental si perempuan. Selain itu, dengan menghalangi perempuan untuk mengembangkan karir, maka akan merugikan pihak perempuan dan sistem patriarki menjadi semakin mengganas.

5. Apa yang harus dilakukan ketika mendapati praktik toxic femininity

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigmailustrasi sesi istirahat dengan teman kantor (pexels.com/August de Richelieu)

Toxic femininity menekan perempuan untuk merasa menyesal atas pikiran, ide, dan keyakinan mereka. Lebih lagi ketakutan akan isu gender melalui tindakan manusia yang netral justru mengunci perempuan ke dalam definisi feminitas yang kaku dan tidak bermanfaat bagi siapa pun.

Mungkin di benak kalian akan timbul pertanyaan, lantas bagaimana caranya menghalau praktik toxic femininity? Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membantu memerangi efek feminitas beracun, di antaranya adalah:

  • Merefleksikan gagasan toxic femininity terhadap diri sendiri. Ini melibatkan usaha untuk jujur pada diri sendiri dan berupaya menjadi individu yang lebih baik.
  • Jangan ragu untuk bersuara. Jangan takut untuk mengelak pemberian label (lemah, manipulatif, atau menggoda) yang sering disematkan pada perempuan.
  • Berhati-hati menggunakan istilah toxic femininity. Penting untuk memahami segala situasi dan kondisi dengan mempertimbangkan konteks feminitas beracun dengan cermat. Ingat, tidak semua praktik yang mengindikasikan toxic femininity perlu digaungkan. Pasalnya penggunaan frase tersebut juga digunakan untuk mempromosikan ideologi anti-feminis dan mencegah diskusi seputar toxic masculinity.

Toxic femininity adalah bagian dari struktur gender yang kaku dalam masyarakat. Sudah saatnya praktik yang menjurus pada ketidaksetaraan gender diakhiri. Perlu dipahami bahwa perempuan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan toxic. Sebaliknya, mereka ada dengan segala komponen kompleksnya sebaiknya dibimbing untuk mencapai tujuan dari keselarasan hidup bermasyarakat.

Baca Juga: 10 Perilaku Seksisme yang Tanpa Sadar Sering Kita Lakukan, Mau Berubah?

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya