5 Hal Mengenai Pemberitaan Kekerasan Seksual yang Harus Diketahui
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia, banyaknya hal ini dapat terlihat dari maraknya berita ataupun video yang viral di media sosial. Melakukan pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang merupakan isu yang sensitif memang harus sangat berhati-hati karena bisa saja melukai korban ataupun keluarganya.
Berikut 5 hal mengenai pemberitaan kekerasan seksual pada wanita yang dirangkum dari acara Jurnalis Perempuan Bicara yang dihadiri Evi Mariani (Managing Editor The Jakarta Post) dan Desi Ardiana (Supervising Editor CNNTV) berlangsung di Komnas Perempuan, Jakarta (27/2).
1. Kesiapan korban untuk berbicara pada media
Mewawancarai korban pelecehan seksual secara langsung, menjadi dilema bagi beberapa jurnalis. Kondisi psikis dari korban yang belum stabil, dapat menyebabkan luka lebih dalam.
Karena itu, wawancara dengan korban sangat dihindari. Kecuali, jika korban sudah siap dan bersedia.
"Kalau korban ragu, jangan dipaksa. Karena gini, kami senang ketika ada korban yang mau ngomong, apalagi kalau motivasinya tulus dan pengen ini (kekerasan seksual) berhenti," ujar Evi Mariani.
2. Korban lebih berani untuk speak up
Pada zaman sekarang, korban mulai banyak yang berani untuk speak up mengenai kekerasan yang terjadi padanya. Seperti membobol tanggul, ketika ada satu orang yang berbicara, korban-korban lain pun mulai terbuka.
Dengan adanya korban yang mau berbicara, tentu saja merupakan berita baik. Namun, para jurnalis dan lembaga bantuan hukum perlu meyakinkan mereka yang ingin bicara mengenai konsekuensinya.
Ada beberapa kasus korban yang speak up dan memiliki support system yang baik, sehingga setelah pemberitaan di media, ia dapat bertahan dan melalui itu semua.
Sayangnya, tak semua seperti itu. Ada salah satu kasus korban kekerasan seksual yang mau berbicara pada media, namun ia tak siap akan konsekuensi setelah pemberitaan sehingga semakin terluka.
3. Peran aktif dari jurnalis laki-laki
Editor’s picks
Akhir-akhir ini, nama-nama universitas besar terseret kasus kekerasan seksual. Hal ini merupakan sebuah gebrakan yang diinisiasi oleh beberapa jurnalis yang sebagian besar merupakan laki-laki.
"Nama Baik Kampus" merupakan kolaborasi yang dilakukan oleh Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia untuk menyelidiki berbagai kejadian pelecehan atau kekerasan seksual di kampus Indonesia.
Baca Juga: 5 Alasan Kekerasan Verbal Bisa Lebih Parah dari Kekerasan Fisik
4. Pembuatan pedoman penanganan kasus kekerasan seksual oleh beberapa universitas
Setelah maraknya berita mengenai pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan tinggi di Indonesia, beberapa universitas mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan pedoman penanganan kekerasan seksual seperti UGM dan UI.
Kementerian Agama pun mengambil peran untuk membuat pedoman penanganan kasus kekerasan seksual untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
5. Pemberitaan lebih mengekspos pelaku
Pemberitaan mengenai kekerasan seksual di Indonesia sekarang ini, didominasi mengarah pada korban. Karena selama ini, pelaku menjadi suatu wilayah yang tak dijangkau oleh media.
Lexi sebagai seorang jurnalis independen, memberikan inisiatif agar pemberitaan kekerasan seksual difokuskan pada pelaku, mengapa pelaku melakukan hal itu, dan keterangan korban sebagai data.
Dalam pemberitaan kekerasan seksual ini, ke depannya diharapkan dapat fokus kepada pelaku dengan perspektif korban.
Baca Juga: 5 Tindak Kekerasan dalam Hubungan Ini Tidak Boleh Kamu Toleransi!