Nabila Inaya: Hal Paling Seksis yang Pernah Aku Dengar

#AkuPerempuan Kaum perempuan masih disalahkan di tempat kerja

Nabila Inaya adalah perempuan millennial yang saat ini memimpin redaksi Yukepo.com, sebuah media daring yang menyasar anak muda Indonesia. Sebelumnya, dia pernah menjadi salah satu redaktur di Hipwee.com. Jika ingin menarik lebih jauh ke belakang, dia juga pernah menulis untuk situs yang membahas teknologi dan musik.

Memang, perjalanan kariernya di industri media masih bisa dibilang sebentar. Akan tetapi, jika dibenturkan dengan konteks “menjadi perempuan dan diskriminasi yang dihadapi”, singkat atau lamanya seseorang bekerja di media jadi tidak relevan.

1. ”Perkataan paling seksis yang pernah kudengar di lingkungan kantor…”

Nabila Inaya: Hal Paling Seksis yang Pernah Aku DengarInstagram.com/nabilainayaa/

Tanpa menyebutkan kapan dan di mana ucapan ini dia dengar, Nabila mengakui masih ada tendensi untuk menyalahkan perempuan tiap ada pergesekan di dalam perusahaan –terutama jika dinamika tersebut bersifat personal dan berimbas pada moral tim.

Perempuan dianggap biang kerok karena terlalu ribet, gampang baper, dan gemar bergosip. “Ya gitu, sih, kalau kerja di tim yang lebih banyak ceweknya,” sebut Nabila meniru ucapan teman kerja prianya.

Menurut orang tersebut, sebuah unit kerja yang beranggotakan lebih banyak perempuan daripada laki-laki cenderung lebih sering bicara buruk tanpa sepengetahuan rekan satu timnya –menyebabkan unit kerja ini jadi rapuh.

“Padahal”, bantah Nabila, “Aku pernah berada dalam tim yang jumlah cowok dan ceweknya seimbang, tapi yang paling suka bikin heboh justru yang cowok,” ungkapnya.

2. Baginya, dinamika di perusahaan tidak ada hubungannya dengan gender karyawannya

Nabila Inaya: Hal Paling Seksis yang Pernah Aku DengarInstagram.com/nabilainayaa/

Dari dua pengalaman di atas, perempuan asal Solo ini berkesimpulan bahwa dinamika di perusahaan–baik itu positif maupun negatif–tidak ada hubungannya dengan gender karyawannya.

Karakter masing-masing anggota tim serta lingkungan kerjalah yang punya peran besar dalam mempengaruhi dinamika di perusahaan.

Kejadian seksis–yang menurut Nabila sudah seharusnya lenyap–namun masih terjadi hingga hari ini adalah: atasan yang menggoda karyawatinya karena dia cantik atau pakaiannya dianggap “seksi”.

So yesterday banget, gak, sih? Terus dikomentari ‘Kamu lucu deh kalau rambutnya basah…’ WTF? 2018 dan masih ada bos yang seperti itu,” cerita Nabila.

dm-player

Baca Juga: Soal Pemberdayaan Perempuan, Ma'ruf Amin Akan Kembangkan DeWi dan DeDi

3. Hal yang serupa juga terjadi di kalangan akademisi

Nabila Inaya: Hal Paling Seksis yang Pernah Aku DengarInstagram.com/nabilainayaa/

Nabila, yang mempelajari ilmu budaya dan media untuk meraih gelar master, tidak menyangkal bahwa ujaran seksis dan budaya patriarki yang kental masih bisa ditemui di kalangan “terdidik”.

Dia masih ingat betul kalimat-kalimat yang terlontar dari seorang akademisi dalam kuliah yang dihadirinya, “Dia bilang, pada akhirnya, kita harus ingat kalau hakikat perempuan itu menjadi istri di rumah. Walaupun kalian sekolah tinggi, punya pekerjaan bagus, tapi harus ingat…Selalu kayak gitu. Selalu!”.

Sama seperti caranya menghadapi cibiran di tempat kerja, Nabila menolak untuk mengonfrontasi langsung “bapak” ini. Karena Nabila tahu betul bapak ini mendalami ilmu kebudayaan jawa (dan hanya membaca referensi itu-itu saja), dan wajar jika dia meyakini kepanjangan ‘wanita’ adalah ‘wani ditoto’.

4. Perempuan tidak semestinya membatasi dirinya sendiri

Nabila Inaya: Hal Paling Seksis yang Pernah Aku DengarInstagram.com/nabilainayaa/

Nabila mengaku tidak terlalu kaget dengan apa yang dia alami di lingkungan profesional dan akedemis. Sebab, menurut dia, budaya patriarki sudah menempel terlalu erat dengan dirinya.

Anak cewek main boneka, yang cowok main mobil-mobilan; Cewek tidak boleh keluar malam, sementara cowok dilarang menangis; Doktrin-doktrin simple (namun membekas) yang sering diucapkan Pak De atau Bu De kamu.

Sekat-sekat yang hadir sejak kecil ini secara tidak sadar membuat perempuan membatasi perannya sendiri di tatanan sosial. 

“Misalnya, saat aku PMS, aku cenderung memaklumi diri sendiri. Kerja tidak secepat biasanya, malas-malasan di kantor. Seharusnya PMS atau gak performa kerjaku sama aja,” kata Nabila.

Nabila berpesan pada perempuan (termasuk dirinya) agar tidak menyalahgunakan “keperempuanannya” untuk membangun pembatas yang sebenarnya tak perlu ada.

Baca Juga: Kisah Aliya Amitra, Ingin Sediakan Solusi bagi Wanita di Dunia Digital

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya