Aku Lelaki Pecundang

Lelaki pecundang, rindu mantan yang beda agama.

 

Wajar rasanya jika manusia merasakan rindu, pun sama halnya denganku. Hal ini juga didukung orang-orang di sekeliling ku yang sangat biadab. Ditemani sedikit anggur merah, aku diajak menelusuri jeruji kenangan. Dan bisa dipastikan suatu hal, setelah titik selalu luka.

Aku hanyalah seorang pecundang yang selalu takut mengikat status, atau bisa dibilang aku lebih suka hubungan tanpa status. Alasannya simple, jika menginginkan status, cukup bikin di Facebook. Bagiku status bukan segalanya, namun bagaimana rasa yang dimiliki satu sama lain, itu yang lebih penting.

Dalam sebotol anggur merah, aku berhasil menemukan kau di sini. Kau yang pernah menjadi perempuan dari sang pecundang. Kau yang suka tidur di ketiak ku sambil bercerita tentang apapun. Kita yang sepakat menjalin hubungan tanpa status. Namun, tetap saling mencintai.

Hanya karena kita tidak memiliki status, kita kesusahan merayakan Anniversary ala anak muda seusia kita. Aku ingat, dulu kau sempat berkeinginan merayakan, namun bingung.  Jika dihitung sejak kita bertemu, tentunya tidak mungkin. Karena saat itu kau pun lupa kapan hal itu terjadi. Jika dihitung dari awal aku mendekati, pun sama tidak mungkin. Waktu itu jelas kau masih punya status dengan makhluk lain.

Kau adalah sosok yang protektif saat waktu solat tiba. Selalu berceloteh menyuruh hingga memaksa untuk solat. Aku masih ingat betul, kau merengek ingin menungguiku solat. Sampai tulisan ini ku tulis, tak sekalipun kau melihatku solat.

Sekitar dua bulan sebelum kau memilih pergi, aku banyak memintamu untuk pergi. Aku memang pecundang untuk masalah perasaan. Semua perihal diciptakan sebagai batas, seperti itu baris puisi yang ditulis Aan Mansyur. Dan, batas kita adalah Agama. Hingga saat ini aku masih ingat saat kau bilang bahwa saudaramu tidak akan mengakui kau sebagai saudara, jika kau menikah dengan orang jawa–Islam.

Aku memang seorang pecundang. Aku begitu ketakutan. Dan aku masih ingat betul saat seperti itu, aku menenggak anggur merah. Persis seperti diriku yang saat ini memasuki jeruji kenangan.
‘kenapa sih kamu nggk nyari pacar Muslim, dan aku nyari pacar Hindu? Dan kita berteman saja’. Aku mengabulkan kata-kata yang kau ucapkan awal kita bertemu.

Aku mengabulkannya dengan ditambah rasa sakit. Menciptakan skenario, hingga kau mengetahuinya dan marah. Aku cukup lega semua yang ku harapkan berjalan lancar sampai di situ. Tapi, untuk selanjutnya, ku biarkan waktu yang bermain peran. Perasaan mengambil alih skenario-skenario baru. Rindu dan kenangan didapuk menjadi aktor utama.
Aku memang seorang pecundang. Dan kau adalah korban sikapku ini. Pada mulanya kurasa tidak ada yang salah antara Hindu dan Islam.  Hingga aku berpikir, hubungan kita ini gila. Kita sudah barang tentu mengerti akhirnya, bukan? Lalu kenapa memaksa?

Aku berharap lelakimu yang sekarang ataupun nanti bukan seorang pecundang sepertiku. Entah makhluk seperti apakah nanti yang menemanimu, entah manusia, entah kuda laut sampai kuda besi sekalipun. Sampaikan salamku pada Sang Hyang Widi.

Deby Hermawan Photo Writer Deby Hermawan

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya