3 Pelajaran Berharga Yang Dapat Dipetik Millennial dari Tragedi Mei 98

Indonesia hidup harmonis sebelum merdeka

Jakarta, IDN Times - Memperingati 20 tahun tragedi Mei 1998, banyak hal yang masih tersisa dan membekas di masyarakat Indonesia. Ada banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dari peristiwa ini, khususnya bagi kaum millennial. 

Seperti yang diungkapkan oleh seorang saksi sejarah tragedi Mai 98, Christianto Wibisono.

1. Bergaul tanpa pandang bulu

3 Pelajaran Berharga Yang Dapat Dipetik Millennial dari Tragedi Mei 98IDN Times/Kevin Handoko

Menurut Wibisono pelajaran pertama adalah menjalin pergaulan antar sesama tanpa pandang bulu. "Pergaulan antar etnis dan antar apapun sudah tidak lagi terhambat dengan hal tersebut," ujar pendiri mingguan Exspres, cikal bakal majalah Tempo itu saat berbincang dengan IDN Times, baru-baru ini.  

Baca juga: Dua Dekade Tragedi Semanggi, Ibu Ini Masih Mencari Keadilan untuk Anaknya

2. Hidup harmonis dalam perbedaan

3 Pelajaran Berharga Yang Dapat Dipetik Millennial dari Tragedi Mei 98IDN Times/Kevin Handoko

Wibisono mengatakan Indonesia adalah negara yang kaya budaya. Hal itu dipengaruhi karena beragamnya etnis, suku, dan ras yang sudah hidup berdampingan di Indonesia sejak lama.

"Sebenarnya sudah 100 tahunan hidup bersama. Hidup bersama ini bukan hanya setelah Indonesia merdeka, namun juga sebelum Indonesia merdeka," ucap pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1945. 

3. Saling menghormati

3 Pelajaran Berharga Yang Dapat Dipetik Millennial dari Tragedi Mei 98IDN Times/Kevin Handoko

Dengan ada adanya keberagaman yang hidup berdampingan di Indonesia, kata Wibisono, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup secara harmonis. "Bagaimana kita bisa hidup yang baik dan dapat harmonis," ujar dia. 

Salah satu cara yang dapat menciptakan keharmonisan hidup dalam keberagaman adalah adanya sikap saling menghormati. Hal-hal yang berbau sentimen tidak perlu lagi terjadi.

"Kalau saling menghormati, tidak perlu terjadi sentimen, karena berbeda ras, beda agama dan beda suku," ucap Wibisono.

Tragedi Mei 1998 merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi pada 13-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota, namun juga terjadi di beberapa kota lain. Kerusuhan ini diawali dengan krisis moneter di Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa saat demonstrasi 12 Mei 1998. Tragedi ini diakhiri dengan penurunan jabatan Presiden Soeharto.

Baca juga: Dua Dekade Tragedi Semanggi, Ibu Ini Masih Mencari Keadilan untuk Anaknya

 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya