Mencegah Cikal Bakal Terorisme di Kalangan Millennial

Jihad bukan terorisme!

Jakarta, IDN Times - Pasca-bom bunuh diri Makassar, Sulawesi Selatan dan teror di Mabes Polri, Densus 88 Antiteror menggeledah Pondok Pesantren Ibnul Qoyyim di Berbah, Sleman, Yogyakarta. Penggeledahan diduga terkait dugaan kasus terorisme.

Berangkat dari kasus tersebut, muncul banyak pertanyaan, di antaranya apakah ada bibit-bibit terorisme di pesantren sekarang ini atau kalangan millennial? Kenapa Islam belakangan selalu dikait-kaitkan dengan terorisme, dan bahkan muncul istilah jihad dalam aksi terorisme?

Pengasuh Pondok pesantren Annur 1 Bululawang Malang KH Ahmad Fahrur Rozi atau yang akrab disapa Gus Fahrur, memiliki pendapat dan sudut pandang tersendiri dari sisi Islam soal terorisme. Bagaimana juga pandangan jihad menurut dia?

Baca Juga: Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan Terorisme

1. Keberadaan cikal bakal terorisme

Mencegah Cikal Bakal Terorisme di Kalangan MillennialIlustrasi Aksi Terorisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Gus Fahrur berpendapat seharusnya jika berpedoman pada ajaran Islam, tidak ada bibit-bibit terorisme di pesantren. Dia pun membantah adanya paham radikal di pesantren, khususnya pesantren Nahdlatul Ulama (NU).

"Di pesantren tradisional NU tidak ada kamusnya terorisme atau pun pemberontakan kepada pemerintah yang sah, meskipun dzalum (zalim) sekalipun," ujar Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu, kepada IDN Times, baru-baru ini.

Jika pun ada, menurut Gus Fahrur, ajaran tersebut mungkin dilakukan pesantren baru yang menganut faham aliran transnasional dari Timur Tengah. Faktanya, kata dia, pada zaman dahulu tak ada kerusakan pada candi dan gereja, sehingga dapat dinilai bahwa situasi aman.

"Pesantren kami berhadapan dengan gereja. Saya yakin tidak ada ajaran radikalisme di pesantren NU, karena bertentangan dengan ajaran Islam," ucap dia.

2. Konsep jihad yang disalahgunakan

Mencegah Cikal Bakal Terorisme di Kalangan MillennialIlustrasi teroris (IDN Times/Mardya Shakti)

Motif jihad dalam terorisme, menurut Gus Fahrur, karena ada kesalahan pemahaman ajaran Islam. Karena sejatinya Islam adalah agama yang damai dan jalan bagi seluruh umat manusia.

"Motif jihad salah jalan itu menurut saya karena salah pemahaman agama, termakan berita hoaks atau mungkin juga ketidakpuasan atas perlakuan pemerintah terhadap mereka yang mereka rasa tidak adil," kata dia.

"Hal ini kemudian juga dimanfaatkan oleh yang berkepentingan untuk menghasut rakyat kecil kritis untuk mengikuti pemahaman sesat, dan menyamakan jihad sebagai terorisme," sambung Gus Fahrur.

Penyebab utama munculnya tekad dari pelaku terorisme, kata Gus Fahrur, tak lepas dari adanya ajaran menyimpang dan hasutan untuk melakukan pemberontakan. Karena itu, terorisme yang kerap disamakan dengan konsep jihad yang ada dalam ajaran agama Islam adalah salah besar.

"Dalam satu tulisannya Gus Dur menyatakan bahwa tidak ada kaitan antara dalil-dalil jihad dengan terorisme jika dipahami dengan benar," kata dia.

Kata jihad, menurut Gus Fahrur, berasal dari bahasa Arab dan dalam ajaran Islam memiliki makna baik. Sementara terorisme berasal dari bahasa Latin (Eropa) yang bermakna mengancam, menakutkan, dan tercela.

Dari segi etimologi, kata dia, kedua kata ini sudah tak sejalan, namun dalam wacana politik, pemaknaan dan gerakan terkadang dapat disalah artikan, terletak dari siapa atau kelompok mana yang menafsirkan dan berkepentingan.

Selebihnya, menurut Gus Fahrur, kata jihad dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 41 kali dalam Al-Quran dan tidak semuanya berkonotasi mengenai 'peperangan'.

"Istilah jihad juga diperkenalkan Rasulullah SAW sebagai sebuah upaya pengendalian diri dari hawa nafsu. Al-Quran dan hadis lebih sering menyebut peperangan dengan Al-Qitaal, al Harb, dan al Ma’rakah," kata dia.

Gus Fahrur mengaku selama belajar di pesantren mempelajari berbagai kitab hadis, sejarah dan fiqih tentang jihad terbukti tidak ada seorang pun dari santri pesantren NU yang terpancing melakukan terorisme.

"Kita di Indonesia sejak lama bisa hidup bersama berbagai umat beragama lain dengan damai dan toleran, dan telah terjadi akulturasi budaya secara unik," kata dia.

"Karena makna jihad difahami di kalangan ulama pesantren secara utuh dan kontekstual, jihad bertujuan untuk mewujudkan kebaikan, sedangkan terorisme tindakan merusak dan tidak berprikemanusiaan," sambung Gus Fahrur.

3. Melawan pemikiran sesat dan memberikan ruang

Mencegah Cikal Bakal Terorisme di Kalangan MillennialIlustrasi terorisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Lantas apa yang bisa pemerintah lakukan untuk memerangi konsep salah jalan ini? Gus Fahrur mengungkapkan pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Pemerintah harus mendukung penuh ormas dan pesantren moderat untuk menjadi bagian dari pendidikan keagamaan yang lurus dan deradikalisasi.

"Mereka harus diberi ruang dakwah dan dukungan dana yang memadai. Lapangan kerja bagi anak muda yang lebih baik agar tidak terbatas dalam ekonomi, sehingga tidak mudah terhasut pemahaman yang sesat," kata dia.

Melawan dengan pemikiran adalah hal yang tidak mudah, maka itu Gus Fahrur menjelaskan inovasi yang dapat dilakukan untuk meredam penyebaran radikalisme yang kian masif digaungkan dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ajaran yang lurus, dengan mengorbit pada da'i yang moderat.

Pendekatan juga dapat dilakukan dengan menggaungkan pemikiran yang lurus melalui kampus-kampus di Indonesia.

Baca Juga: FPI Kerap Dikaitkan dengan Terorisme, Munarman: Sudah Almarhum

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya