3 Catatan Buruk Pelanggaran HAM Era Jokowi Versi Setara Institute

Ada politisasi SARA?

Jakarta, IDN Times - Peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) dan Perdamaian Setara Institute Selma Theofany mengatakan, melalui penelitiannya pada periode pertama Presiden Joko "Jokowi" Widodo (2014-2019) terdapat catatan buruk permasalahan HAM. Catatan terburuk ada di tiga bidang.

"Catatan terburuk Presiden Jokowi periode satu berada di hak untuk bebas beragama atau berkeyakinan, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, dan juga kebebasan berekspresi," ujar Theo dalam acara konferensi pers bertema Janji yang Tertunda, Kinerja Pemajuan HAM Jokowi Periode Pertama di Jalan Cikini Raya, Jakarta, Selasa (10/12).

1. Hak kebebasan beragama atau berkeyakinan terganggu karena politisasi SARA

3 Catatan Buruk Pelanggaran HAM Era Jokowi Versi Setara Institute(Ilustrasi) ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Theo mengatakan catatan terburuk bagi pemerintahan Jokowi adalah hak bebas beragama atau berkeyakinan, karena terdapat insiden pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), dengan adanya penguatan radikalisme dan ekstremisme di Indonesia.

Berikut bentuk kekerasan hasil temuan Setara Institute:

  1. Intoleransi
  2. Penyesatan ajaran
  3. Pemaksaan keyakinan
  4. Pengusiran
  5. Ujaran atau siar kebencian
  6. Aksi teror
  7. Condoning
  8. Penghentian paksa dan pelarangan kegiatan ibadah atau keagamaan
  9. Ancaman terhadap anak-anak kelompok minoritas
  10. Diskriminasi
  11. Pembiaran
  12. Kriminalisasi
  13. Penolakan dan penghentian paksa pembangunan dan atau renovasi tempat ibadah
  14. Intimidasi
  15. Penyegelan tempat ibadah
  16. Pelarangan forum ilmiah
  17. Pembubaran dan penolakan kegiatan keagamaan
  18. Perusakan rumah warga kelompok minoritas
  19. Pemerasan dan
  20. Pemaksaan mengenakan atribut keagamaan di luar keyakinan yang bersangkutan.

"Sepanjang 2015-2018 lima aktor negara tertinggi yang melakukan pelanggaran di antaranya pemerintah daerah, kepolisian, institusi pendidikan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan pengadilan," ujar Theo.

Untuk aktor non negara tertinggi yang melakukan pelanggaran HAM di antaranya kelompok warga, organisasi masyarakat keagamaan, Majelis Ulama Indonesia, Front Pembela Islam, dan juga individu.

Theo mengatakan masalah tersebut terjadi pada periode pertama Jokowi karena maraknya politisasi SARA, yang meningkatkan antagonisme antar masyarakat.

"Regulasi diskriminatif dan tidak berparadigma KBB dan perkembangan narasi keterancaman atau penguatan radikalisme, yang dijadikan justifikasi tindakan eksesif pemerintah dan oknum masyarakat, secara khusus pada periode ini meningkat," ujar Theo.

Menurut Theo konflik disertai kekerasan kembali mengalami eskalasi di Papua, yang menghadirkan sejumlah pelanggaran kebebasan sipil.

"Konflik yang terjadi berupa eksistensi perseteruan kelompok bersenjata dan aparat keamanan yang berada dalam konteks pemisahan dan determinasi diri, pembangunan yang tidak berorientasi manusia sehingga mengorbankan masyarakat demi infrastruktur, dan diskriminasi rasialisme yang juga muncul di luar wilayah Papua," kata dia.

Dengan demikian, Theo melanjutkan, sederet konflik tersebut menambah daftar panjang tahanan politik Papua yang mendapatkan perlakukan eksesif, serta tidak berkeadilan dari aparat penegak hukum.

Baca Juga: Komnas HAM: Siapapun Presidennya Harus Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

2. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu mandek pada periode Jokowi

3 Catatan Buruk Pelanggaran HAM Era Jokowi Versi Setara InstituteIDN Times/Prayugo Utomo

Pada pelanggaran HAM berat masa lalu, Theo mengatakan, pada periode pertama Jokowi mengalami kemandekan dan ketiadaan inisiasi yang signifikan.

Berkas sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dikembalikan Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. Di antaranya peristiwa 1965-1966, Talangsari Lampung 1989, Penembakan Misterius 1982-1985, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II , Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Wasior dan Wamena, Simpang KAA 3 Mei 1999 Aceh, Rumoh Geudong, dan Pos Sattis Aceh.

Theo mengatakan, rekonsiliasi tidak dapat dijalankan negara dengan ketiadaan landasan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang perspektifnya HAM dan penyintas.

Menurut Theo model remedy yang diambil pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu, hanya bersifat simbolis.

"Dengan mengundang keluarga korban dan pendamping pelanggaran HAM berat tanpa melakukan tindak lanjut, dan menggelar Simposium 1965 tanpa permintaan maaf dan upaya penyelesaian yang konkret," tutur dia.

Klaim pendekatan non-yudisial yang dilakukan pemerintah, kata Theo, belum memenuhi makna substantif remedy non-yudisial, dan tidak cukup untuk meniadakan pendekatan yudisial untuk mengembalikan kebenaran, keadilan, rehabilitasi, korban dan repatriasi korban.

Theo menyebutkan, sejumlah kelompok kerja yang dibentuk
pemerintah tidak dapat bekerja secara efektif seperti, Tim Gabungan Penuntasan HAM berat masa lalu di era kepemimpinan Menko Polhukam Tedjo Edhi. 

Tim Terpadu pada era kepemimpinan pertama, Menko Polhukam Luhut Binsar, dan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang berganti menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, pada era Menko Polhukam Wiranto.

"Pada periode ini pemerintah mulai menjajaki mediasi Tanjung Priok dan deklarasi damai di Talangsari yang mekanismenya mendapatkan tentangan beberapa pihak," kata Theo.

3. Ruang kebebasan sipil semakin berkurang pada masa Jokowi

3 Catatan Buruk Pelanggaran HAM Era Jokowi Versi Setara InstituteIDN Times/Denisa Tristianty

Pada lingkup ruang kebebasan sipil, kata Theo, juga semakin berkurang pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Misalnya, aksi unjuk rasa yang menjadi saluran masyarakat sipil berekspresi diwarnai kekerasan aparat keamanan.

"Itu terjadi pada aksi 21-22 Mei dan aksi #ReformasiDikorupsi. Selain itu, penyaluran pendapat dan pengetahuan di ruang publik banyak menjumpai pembatasan, intimidasi dan kekerasan, seperti beberapa aksi pembubaran diskusi, pemutaran film, dan razia buku," kata dia.

Dengan adanya pembatasan tersebut, Theo menyimpulkan, kelompok rentan mengalami pelanggaran berlapis karena identitasnya, seperti kelompok transgender dalam mengekspresikan diri di ruang publik rentan mendapatkan serangan.

"Pereduksian ruang kebebasan sipil juga menjamah ranah dalam jaringan (daring) dan digital dengan adanya penyalahgunaan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik (UTE)," kata dia.

4. Metodologi penelitian HAM periode pertama kepemimpinan Jokowi

3 Catatan Buruk Pelanggaran HAM Era Jokowi Versi Setara InstituteIDN Times/Gregorius Aryodamar

Theo menjelaskan, indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran bersifat struktural. Pengukuran dilakukan terhadap enam indikator hak sipil dan politik, serta lima indikator hak ekonomi, sosial, dan budaya.

"Dengan masing-masing sub indikator serta tolak ukur di dalamnya yang disarikan dari UU 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, UU 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)," ujar dia.

Nilai setiap indikator berasal dari rata-rata nilai seluruh sub indikator dalam satu indikator.

Theo juga menjelaskan, pengukuran dihimpun dari pengumpulan data empiris yang berasal dari dokumen yang mencatat kinerja HAM pemerintah, dialog dengan ahli dan instansi terkait, laporan media dan laporan berbagai lembaga yang relevan yang menyoroti peristiwa-peristiwa penting penegakan HAM di sektor-sektor yang spesifik, hingga diolah menjadi narasi penegakan HAM berbasis konsep HAM.

"Skala Likert digunakan untuk mengkuantifikasi capaian kinerja HAM dengan rentang nilai 1-7 (1 menunjukkan pemenuhan yang rendah dan 7 menunjukkan pemenuhan yang tinggi). Penilaian diberikan Tim Peneliti Setara Institute berdasarkan narasi penegakan HAM yang diperoleh dari proses triangulasi tersebut," kata Theo.

 

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: Kasus HAM Berat Tak Kunjung Usai, Komnas HAM: Berkas di Kejagung

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya