CSIS: Tren Mudik Tinggi, Risiko Penyebaran Virus Corona Juga Tinggi

Larang mudik, Pemprov DKI harus sediakan Rp4,2 triliun

Jakarta, IDN Times - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia merilis jurnal hasil analisis tentang dilema mudik lebaran saat pandemi virus corona atau COVID-19. Pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa pada saat adanya larangan serta pembatasan mudik, maka terdapat konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Dalam jurnal tersebut menunjukkan analisis teori permainan atau game theory yang bersifat makro dengan berasumsi ceteris puribus. Dalam analisis itu dipaparkan mengenai situasi mudik di Indonesia, di mana menunjukkan pilihan akhir sejumlah masyarakat adalah tetap mudik.

Dengan kata lain, situasi yang digambarkan, di tengah pandemi COVID-19 ini tetap akan ada pemudik dalam jumlah besar apabila pemerintah tidak mengambil tindakan tegas.

Baca Juga: Tak Ada Larangan Mudik, Peneliti Prediksi COVID-19 Capai 1 Juta Kasus

1. Tren mudik tinggi, risiko penyebaran virus corona khususnya melalui carrier juga tinggi

CSIS: Tren Mudik Tinggi, Risiko Penyebaran Virus Corona Juga TinggiPetugas pemakaman menurunkan peti jenazah pasien COVID-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin (30/3/2020). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Di dalam jurnal itu ada penjelasan tentang lini masa paparan asymptomatic carrier COVID-19 yang mengakibatkan kasus positif pada kelompok keluarga. Faktanya, beberapa kasus di luar wilayah episentrum COVID-19 di Indonesia, berasal dari anggota keluarga yang sebelumnya memiliki catatan perjalanan ke DKI Jakarta.

Atau misalnya saja, seperti beberapa kasus yang tercatat di Bantul, Banjarnegara, Mentawai, dan Padang. Kasus-kasus tersebut diketahui bahwa sang pembawa virus atau carrier memiliki rekam perjalanan ke wilayah episentrum, lalu tanpa sengaja menularkan ke satu keluarganya di kampung halaman.

Meski beberapa wilayah sudah membatasi dengan serius mobilisasi orang antar-wilayah, namun sampai saat ini pemerintah masih memperbolehkan asalkan pemudik-pemudik selanjutnya tidak membawa virus.

Hal itulah yang menurut CSIS perlu dipikirkan matang-matang. Sebab, kebijakan itu akan terkait dengan konsekuensi dan protokol yang dijalankan nanti.

"Mengingat argumen Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat Dr. Robert Redfield, mengatakan bahwa 1 dari 4 orang pembawa COVID-19 merupakan pembawa tanpa gejala. Dengan kata lain, orang-orang tidak dapat yakin 100 persen bahwa kita terbebas dari pembawa virus bahkan tanpa gejala sekalipun," tulis CSIS dalam jurnalnya yang berjudul Game Theory di Balik Dilema Mudik Lebaran saat Pandemi COVID-19, Kamis (16/4).

Lalu, CSIS melihat, adanya tren pemudik yang cukup tinggi di Indonesia membuat risiko penyebaran virus khususnya melalui carrier juga tinggi.

CSIS menjelaskan, tren pertumbuhan kasus di luar wilayah episentrum terus meningkat, khususnya setelah 22 hari sejak pengumuman kasus pertama. Dari hari ke hari jumlah kasus virus corona terus bertambah.

"Terdapat tren penyebaran yang cukup tinggi sejak hari tersebut," demikian keterangan CSIS.

"Mengantisipasi tren tersebut, pemerintah pun sudah melakukan berbagai upaya mulai dari pembentukan fatwa ulama, mewajibkan ASN-TNI-Polri-Pegawai BUMN tidak mudik, hingga pemberlakuan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," lanjut CSIS.

Namun, menurut CSIS, selama tidak ada larangan tegas atau penegakan protokol dan pendataan bagi pemudik secara sistematis, maka perantau pada umumnya cenderung tetap akan mudik.

2. Larang mudik, Pemprov DKI Jakarta harus sediakan dana Rp4,2 triliun untuk BLT

CSIS: Tren Mudik Tinggi, Risiko Penyebaran Virus Corona Juga TinggiAnies Baswedan di Balaikota DKI Jakarta Jumat (10/4) (Dok. Istimewa)

Berdasarkan analisis itu, CSIS melihat dari sisi memilih untuk melarang atau membatasi mudik akan terdapat konsekuensi yang harus dihadapi. Melarang mudik artinya harus bertanggung jawab atas kehidupan layak bagi orang-orang di wilayah episentrum.

"Seiring itu pemerintah juga harus siap dengan biaya BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan/atau jaring pengaman sosial yang lebih tinggi, mengingat biaya hidup di wilayah Jakarta yang cenderung tinggi dan jumlah penerima manfaat yang lebih banyak," ujarnya.

Oleh sebab itu, CSIS menampilkan dua rekomendasi hal tersebut. Pertama, pemerintah harus menyegerakan larangan mudik sekaligus memberikan bantuan langsung tunai di wilayah episentrum.

"Apabila secara kasar diasumsikan terdapat tiga juta keluarga di Jakarta, mengacu kepada analisis dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa 35 persen masyarakat berasal dari kalangan bawah dan juga rentan (poor and vulnerable), maka terdapat 1,05 juta masyarakat Jakarta yang harus menjadi penerima BLT," tuturnya.

Apabila angka ini dikalikan dengan jumlah UMP Jakarta secara kasar yaitu Rp 4 juta, maka total biaya untuk BLT yang harus diberikan adalah Rp4,2 triliun.

Kedua, pemerintah harus menerapkan hukum yang dapat menindak tegas para pelanggar aturan larangan mudik. Ketegasan itu diperlukan untuk mengeliminasi kemungkinan adanya warga yang memaksakan diri dan keluarganya untuk mudik.

"Jika pemerintah memilih untuk tetap membiarkan adanya arus mudik, maka
perlu diperhatikan bahwa hal ini akan relatif lebih berisiko dalam menyebarkan virus diiringi dengan melambatnya aktivitas perekonomian di Jakarta karena semakin sepi," ujarnya.

3. Pendataan terstruktur dan sistematis harus dilakukan apabila mudik diperbolehkan

CSIS: Tren Mudik Tinggi, Risiko Penyebaran Virus Corona Juga TinggiIlustrasi pemudik atau calon penumpang bus - IDN Times/Dok. Media Center Terminal Tirtonadi, Solo

Apabila pemerintah tetap membiarkan mudik, maka CSIS menilai pemerintah perlu menjamin pendataan pemudik yang terstruktur, masif, dan sistematis, serta menjamin sebagian kecil warga rentan hingga miskin di wilayah episentrum. Hal ini memungkinkan dana pemberian bantuan menjadi menurun. Biaya BLT yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 1,3 triliun.

Untuk opsi ini, rekomendasi yang diberikan CSIS adalah pertama, pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas karantina untuk 14 hari pertama pemudik. Hal itu untuk menjamin bahwa pemudik tersebut bebas dari membawa virus.

Kedua, pemerintah juga perlu untuk membatasi jalur mudik menjadi satu pintu tiap moda atau jalur transportasi, untuk mempermudah pendataan arus pemudik.

4. Masyarakat bisa berperan dengan suarakan gerakan untuk tidak mudik

CSIS: Tren Mudik Tinggi, Risiko Penyebaran Virus Corona Juga TinggiSpanduk ajakan tidak mudik di Serang, Banten (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

CSIS juga menunjukkan beberapa peran yang bisa dilakukan oleh masyarakat terkait pencegahan penyebaran virus di tengah dilema mudik ini. Misalnya saja, antar-pemudik harus memberikan informasi bahwa dirinya tidak mudik kepada pemudik lain.

Sehingga pemudik lain tahu tentang sanksi sosial apabila ia mengambil keputusan untuk mudik. Hal itu juga dapat dilakukan oleh pejabat publik hingga influencer media sosial.

"Terakhir, Lembaga Sosial Masyarakat atau NGO dapat menjadi corong dalam mengevaluasi gerakan tidak mudik ini. Intinya, tiap masyarakat harus tahu masyarakat mana yang mudik dan tidak mudik sehingga dapat terbentuk sanksi sosial," ujar CSIS.

Baca Juga: Pemprov Jabar Ancam Beri Sanksi ASN yang Nekat Mudik saat Idul Fitri

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya