Formappi: Pilkada Ibarat Pasar Gelap, Mahar Jadi Ladang Uang Parpol

Calon kepala daerah akan lelang mahar

Jakarta, IDN Times - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengungkapkan beberapa hal terkait praktik politik uang di ajang pemilihan kepala daerah (pilkada).

Lucius bahkan membeberkan tingginya nilai mahar politik bisa mencapai triliunan rupiah. Biaya itu dibayarkan calon kepala daerah kepada partai politik untuk pencalonan. 

"Kalau di pilkada ya beli tiket (pencalonan) gitu ya, karena kita tahu kan hampir semua calon itu diusung oleh partai," tutur Lucius saat dihubungi IDN Times, Rabu (20/11). 

Menurut, Lucius pilkada ibarat sebuah pasar gelap dengan berbagai transaksi uang ilegal di dalamnya. Inilah hal yang menyebabkan biaya politik tinggi dalam pilkada. Lalu bagaimana sistematis permainan politik uang dalam pilkada? Berikut fakta-faktanya. 

Baca Juga: PKS Tantang PSI Buktikan Tuduhan Politik Uang Pemilihan Wagub DKI

1. Politik uang dimulai saat calon kepala daerah mencari parpol pendukung

Formappi: Pilkada Ibarat Pasar Gelap, Mahar Jadi Ladang Uang Parpol(Ilustrasi) IDN Times/Handoko

Lucius menjelaskan, tahap awal politik uang yaitu saat bakal calon kepala daerah mencari parpol yang dapat mendukungnya dalam pilkada. Walau pun kader partai, mereka akan tetap mencari parpol lain untuk mendukungnya, demi memenuhi syarat dukungan. 

"Ada bakal calon dulu gitu ya, pasangan-pasangan calon di daerah itu kan mulai mencari parpol, baik calon dari kader, dia pun harus cari parpol lain untuk memenuhi syarat," kata dia. 

Pada tahap ini, kata Lucius, bakal calon kepala daerah mulai negosiasi dengan parpol mengenai nominal mahar politik yang harus dibayarkan, demi mendapat dukungan atau 'tumpangan'. 

2. Lelang mahar politik untuk kader parpol demi dukungan

Formappi: Pilkada Ibarat Pasar Gelap, Mahar Jadi Ladang Uang Parpol(Ilustrasi) IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Lucius mencontohkan seorang kader partai agar diusung partainya pun harus menyerahkan mahar politik. Hal ini berkaitan banyaknya kader partai yang ingin maju ke pilkada, sehingga terjadi lelang. Siapa kader dengan mahar terbesar, dia lah yang akan diusung partai tersebut. 

"Walaupun kader, dia dicalonkan parpol pun tidak gratis, cenderungnya. Mau bilang anti mahar tidak bisa dibuktikan," ujar dia.

Lucius menyebutkan hal itu memang nyata terjadi di dalam parpol berdasarkan pengakuan calon kepala daerah. "Justru mereka mengaku mendapatkan dukungan parpol, karena telah membayar mahar tertentu," ujar dia. 

3. Sudah menyerahkan mahar tinggi, belum tentu mendapat dukungan parpol

Formappi: Pilkada Ibarat Pasar Gelap, Mahar Jadi Ladang Uang Parpol(Ilustrasi) IDN Times/Imam Rosidin

Parahnya, kata Lucius, lelang mahar yang terjadi terkadang dimanfaatkan secara maksimal oleh parpol. Kader partai yang memberikan mahar belum tentu mendapatkan dukungan partainya, namun parpol pun tetap mendapatkan 'pemasukan' yang banyak.

"Setelah mahar diserahkan, untuk dapat tiket belum otomatis didukung. Sudah setor, yang lain setor, jadi ada banyak uang yang tidak perlu dipertanggung jawabkan dalam proses pencalonan," tutur dia. 

Baca Juga: ICW: Biaya Mahal Pilkada Akibat Jual Beli Pencalonan dan Politik Uang

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya