Humphrey: Politik Uang Tak Hanya Pilkada, Menteri Juga Setor Rp500 M

Pilkada melalui DPRD bagai barang busuk

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mengatakan, transaksi uang ilegal atau politik uang masih menjadi masalah besar dalam pemilihan kepala daerah, baik pilkada langsung maupun pilkada melalui DPRD.

Bahkan politik uang, kata Humphrey, bukan saja terjadi pada saat pilkada. Tapi saat pemilihan menteri. Akibat oligarki, partai politik 'melelang' tarif hingga ratusan miliar rupiah untuk menjadi kandidat seorang menteri.

Baca Juga: Mahar Politik Sampai Triliunan Gara-gara Parpol Mafia dalam Pilkada

1. Politik uang terjadi tak hanya Pilkada, tapi juga menjadi kandidat menteri

Humphrey: Politik Uang Tak Hanya Pilkada, Menteri Juga Setor Rp500 M(Ketua Umum PPP Muktamar Jakarta Humphrey Djemat) IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Humphrey mencontohkan politik uang dari informasi yang ia dapatkan dari salah satu kandidat menteri. Kandidat tersebut tidak menjadi menteri, karena menolak memberikan kontribusi uang politik kepada parpol. Dia menyayangkan hal itu terjadi karena sang kandidat diyakini memiliki integritas.

"Selama dia jadi menteri kontribusi Rp500 miliar ke parpol. Dari hati nurani dia tidak mau. Dia diminta uang pun ia tidak punya karena dari tenaga ahli, dan parpol lihat potensinya jadi menteri," beber dia, saat menghadiri diskusi Quo Vadis Pilkada Langsung oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Jakarta, di Matraman, Jakarta, Minggu (24/11).

Namun saat dikonfirmasi siapa kandidat menteri tersebut, Humphrey enggan membeberkan. 

2. Pilkada melalui DPRD bagai memakai barang busuk dan dapat membuat parpol oligarki hingga menyandera kepala daerah

Humphrey: Politik Uang Tak Hanya Pilkada, Menteri Juga Setor Rp500 MIDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Humphrey mengatakan pilkada melalui DPRD bagikan barang busuk yang sudah tidak bisa digunakan. Menurut dia, pilkada melalui DPRD sudah pernah berlaku dan terbukti lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya.

"Ya pakai barang busuk lagi, bahkan lebih parah. Sebaiknya dibenahi kekurangan yang ada di pilkada langsung," kata dia.

Humphrey menuturkan, pilkada akan semakin parah apabila kembali dipilih anggota DPRD. Pilkada DPRD akan memunculkan sikap oligarki partai politik dan membuat kepala daerah terpilih justru tersandera parpol.

"Kalau pemilihan DPRD itu tertutup semua, akuntabilitas gak ada, parpol jadi oligarki penguasaannya dan membuat tidak dirasakan sama sekali kebaikannya sama masyarakat," kata dia.

3. Politik uang atau mahar untuk menjadi kandidat kepala daerah bukan hal rahasia lagi

Humphrey: Politik Uang Tak Hanya Pilkada, Menteri Juga Setor Rp500 M(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Humphrey prihatin dengan parpol yang berada dalam lingkaran transaksi uang ilegal atau politik uang. Transaksi politik uang bukan hanya terjadi saat pilkada langsung, tetapi juga sudah ada pada pilkada melalui DPRD.

"Di parpol langsung atau tidak, muncul dari parpol kan mahar transaksional sudah jadi rahasia umum. Bahkan lebih banyak mahar (ke parpol) dari pada untuk pendekatan ke masyarakat," ujar dia.

4. Politik uang membuat pilkada tidak berdasarkan integritas

Humphrey: Politik Uang Tak Hanya Pilkada, Menteri Juga Setor Rp500 MIDN Times/Nofika Dian Nugroho

Padahal, kata Humphrey, bisa saja orang di luar parpol atau calon independen yang ingin mencalonkan diri, memiliki integritas tinggi untuk menyejahterakan masyarakat.

"Transaksional nanti banyak masalah yang timbul, sulit muncul bibit pemimpin integritas untuk kesejahteraan masyarakat," kata dia.

Humphrey pun menyayangkan calon kepala daerah yang justru memanfaatkan transaksi politik uang, sebagai jalan pintas untuk menang.

Baca Juga: Formappi: Pilkada Ibarat Pasar Gelap, Mahar Jadi Ladang Uang Parpol

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya