Kebakaran Hutan dan Lahan Selalu Terjadi, Siapa yang Salah?

Sebanyak 857.759 hektare lahan terbakar Januari-September

Jakarta, IDN Times - Saat matahari tepat berada di atas kepala, Sri Lerry duduk santai di warung kecilnya. Perempuan 25 tahun itu menggendong anak lelakinya yang masih balita. Sementara, tiga bocah lainnya bercanda ria di sekitar Sri.

Sesekali terdengar bising knalpot sepeda motor dan mobil yang melintas di depan warung Sri. Hari itu, Jumat (11/10), udara di sekitar warung Sri yang beralamat di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Jalan Baru, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, itu benar-benar terik. Konon nama Jalan Baru lantaran daerah ini baru selesai. Jalanan juga belum lama rampung diaspal.  

Aku melangkah menghampiri Sri, sembari menyeka keringat di dahiku. Tiba di warung Sri, aku duduk di bangku kayu. Tiga bocah yang sedang asyik bermain, segera menghampiriku. Dengan polosnya, mereka bertanya maksud kedatanganku ke tempat itu.

Sri juga tertawa saat aku menyebut kedatanganku ke tempatnya, untuk melihat kondisi dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Dia menolak berbicara perihal itu.

Namun, tiba-tiba ada cletukan dari mulut di antara ketiga bocah tadi. "Dia sakit selama sebulan," ujar bocah lelaki yang masih duduk di bangku SD itu sambil menunjuk ke arah balita yang digendong Sri. Sri lagi-lagi hanya menjawab dengan tawa, sambil beberapa kali mengelus kepala anaknya.

Sri akhirnya berbicara. Dia membuka cerita tentang anaknya yang menderita demam selama lebih dari sebulan, yang disebut-sebut karena kepungan kabut asap. Anaknya sulit bernapas.

Musibah itu terjadi saat kabut asap tebal menyelimuti Kabupaten Siak pada Juli hingga Agustus 2019. Saat itu, jarak pandang di sekitar tempat tinggalnya hanya beberapa meter.

1. Kepungan kabut asap dan kerinduan pada udara segar

Kebakaran Hutan dan Lahan Selalu Terjadi, Siapa yang Salah?(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Rahmad

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah menjadi teror tahunan pada keluarga Sri dan ribuan warga Riau lainnya. ISPA juga selalu menyerang warga pada saat bencana ini melanda mereka.

ISPA menyebabkan penderita sulit bernapas, sinusitis, hidung berlendir, nyeri kepala, sakit tenggorokan, hingga demam.

Data Kementerian Kesehatan mencatat sejak Maret hingga Oktober 2019, penderita ISPA akibat kabut asap di Riau mencapai  296.688 jiwa. Sementara, di Jambi tercatat sejak Juli hingga Oktober 2019 terdapat 131.181 pengidap ISPA.

Di wilayah Sumatera Selatan, jumlah penderita ISPA mencapai 350.564 jiwa terhitung sejak Maret hingga Oktober 2019. Wilayah ini terbanyak penderita ISPA. Selain itu, sejak Februari hingga September 2019, tercatat 185.905 pengidap ISPA di Kalimantan Barat.

Di Kalimantan Tengah, tercatat 55.345 penderita ISPA terhitung sejak Maret hingga Oktober 2019. Tercatat 67.293 jiwa juga menderita ISPA di wilayah Kalimantan Selatan sejak Juni hingga September.

Selain ISPA, fenomena langit merah juga terjadi pada Sabtu (21/9) pukul 10.00 WIB di Jambi. Kejadian langka ini terjadi di langit Kumpeh, Muaro Jambi dan Muara Sabak, Tanjung Jabak Timur.

"Sudah sebulan asap pekat terus-terusan mengintai kami. Bahkan, kami sudah gak pernah mengisap udara segar lagi," keluh Budi, warga Muara Sabak, Tanjung Jabung Timur, saat dihubungi IDN Times, sehari setelah kejadian langit merah, Minggu (22/9).

Selain Sri, Budi dan ribuan warga Riau juga merindukan udara segar di kampung halamannya saat musim kemarau tiba. Tak hanya kabut asap, air bersih juga mengancam keberlangsungan hidup mereka pada musim kemarau.

Budi dan warga lainnya terpaksa menggali tanah untuk mencari mata air yang tersisa.

"Kami saat ini sangat sulit mendapatkan air, soalnya sumur yang berada dekat rumah sudah lama mengering. Warga terpaksa kita menggali sumur di dekat sawah-sawah," kata dia.

Kabut asap akibat karhutla juga kerap menghantui negeri jiran setiap tahunnya, seperti Malaysia. Kendati, hal itu dibantah Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mulyono R Prabowo.

Mulyono mengatakan pada pantauan asap lintas batas (transboundary haze), tidak terdeteksi sebaran asap dari wilayah Sumatera ke Semenanjung Malaysia.

"Tidak seperti yang diberitakan oleh beberapa media asing sebelumnya, berdasarkan pantauan dan analisa data satelit, tidak ada sebaran asap yang terdeteksi di Sumatera yang melintas ke Semenanjung Malaysia," tulis Mulyono di laman bmkg.go.id, Minggu (8/9).

2. Upaya pemerintah tanggulangi kebakaran hutan dan lahan

Kebakaran Hutan dan Lahan Selalu Terjadi, Siapa yang Salah?(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Terhitung sejak Januari hingga September 2019, luas lahan akibat kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia mencapai 857.759 hektare.

Hingga 30 Oktober 2019, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, tiga dari enam wilayah terdampak karhutla paling parah, kualitas udaranya masih tidak sehat. Wilayah tersebut adalah Kalimantan Tengah (101), Riau (35,9) dan Sumatera Selatan (51).

Sedangkan Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan kondisi udara berada di status sedang.

Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan antara lain operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), melalui BNPB dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan TNI.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo mengatakan, TMC menjadi faktor yang mampu mematikan titik api di kawasan terdampak Karhutla.

"Hujan buatan atau TMC maupun hujan alami turun di sebagian besar wilayah Kalimantan dan Sumatera, sehingga banyak titik api padam. Kualitas udara juga sudah membaik," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (3/10). 

Sejak akhir September memang sudah terjadi beberapa kali hujan buatan di wilayah-wilayah terdampak karhutla. Guyuran hujan itu membuat kegembiraan tersendiri bagi warga terdampak karhutla.

Pada, Senin (23/9), BNPB mengabarkan wilayah Riau, Jambi sampai Kalimantan diguyur hujan dengan intensitas berbeda. "Hampir merata hujan turun di Riau, Minas, dan Rantau Baru Kabupaten Pelalawan, hujan deras hari ini," kata Agus pada, Senin (23/10).

Sejak Januari hingga September 2019, BNPB telah mengerahkan 29.039 personel di wilayah karhutla untuk melakukan penanggulangan.

Untuk operasi TMC, BNPB mencatat sudah menebar 293.416 kg garam di seluruh wilayah karhutla. Sebanyak 404.443.732 liter air juga sudah dikerahkan untuk water bombing pemadaman titik api di wilayah karhutla.

Terakhir pada 30 Oktober 2019, BNPB mencatat ada 50 helikopter telah digunakan untuk membantu pemadaman karhutla. Sebanyak 36 helikopter untuk water bombing, 10 helikopter untuk kegiatan patroli dan empat untuk operasi TMC.

Namun, bersamaan dengan upaya tersebut, masih terdapat titik panas (hotspot) di wilayah rawan karhutla seperti, Kalimantan Barat dengan 31 titik, Kalimantan Tengah 203, Kalimantan Selatan 148, Sumatera Selatan 115, dan Jambi dua titik. Sedangkan wilayah Riau, tidak terdeteksi titik api.

Baca Juga: Karhutla Indonesia di 2015 dan 2019, Bagaimana Perbandingannya?

3. Penindakan hukum pada oknum pembakaran hutan dan lahan

Kebakaran Hutan dan Lahan Selalu Terjadi, Siapa yang Salah?(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Mushaful Imam

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selain fokus pada upaya penanggulangan juga penindakan pada oknum pelaku pembakaran hutan dan lahan.

Pada 2019, KLHK mengeluarkan 288 surat peringatan kepada oknum yang diduga menyebabkan karhutla. KLHK juga menyegel 52 korporasi dan memasukkan lima korporasi ke jeratan tersangka. Selain korporasi, KLHK juga telah menangkap satu oknum perseorangan menjadi tersangka.

Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi menyebutkan data per Senin 23 September, KLHK mencatat ada 16 kasus yang menjerat korporasi karena diduga terkait karhutla. Mereka tersebar dari Aceh, Riau, Jambi, Sumatera hingga Kalimantan.

Berikut daftar 16 korporasi dalam penegakan hukum kasus perdata terkait karhutla:
1. PT Kallista Alam: Kab. Nagan Raya, Aceh (Proses pelaksanaan eksekusi/tahap penilaian aset dan menghadapi empat sidang perlawanan eksekusi).
2. PT Jatim Jaya Perkasa: Kab. Rokan Hilir, Riau (Persiapan pelaksanaan eksekusi).
3. PT Waringin Agro Jaya: Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Persiapan pelaksanaan eksekusi dan menunggu putusan PK-MA).
4. PT Waimusi Agroindah: Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Persiapan pelaksanaan eksekusi/tahap pembayaran SKUM).
5. PT Bumi Mekar Hijau: Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Selesai dieksekusi dan telah setor ke kas negara melalui PNBP).
6. PT Surya Panen Subur: Kab. Nagan Raya, Aceh (Persiapan pelaksanaan eksekusi/tahap pembayaran SKUM).
7. PT Nasional Sago Prima: Kab. Kepulauan Meranti, Riau (Persiapan pelaksanaan eksekusi).
8. PT Ricky Kurniawan Kertapersada: Kab. Muaro Jambi, Jambi (Persiapan pelaksanaan eksekusi/tahap Aanmaning).
9. PT Palmina Utama: Kab. Banjar, Kalimantan Selatan (Persiapan pelaksanaan eksekusi, namun masih menunggu rilis isi dan salinan putusan Kasasi MA).
10. PT Agro Tumbuh Gemuilang Abadi: Kab. Tanjung Jabung Timur, Jambi (Tahap mediasi).
11. PT Kaswari Unggul: Kab. Tanjung Jabung Timur, Jambi (Tahap penyerahan kesimpulan).
12. Kalimantan Lestari Mandiri: Mantangai, Kalimantan Tengah (Tahap penyerahan alat bukti pelawan dan terlawan).
13. PT Arjuna Utama Sawit: Kab. Katingan, Kalimantan Tengah (Tahap pemeriksaan ahli dari tergugat).
14. PT Rambang Argo Jaya: Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Tahap mediasi).
15. PT S.A.R.I: Kab. Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Persiapan pendaftaran gugatan di PN Jakarta Barat).
16. PT PG: Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (Persiapan Pendaftaran gugatan di PN Jakarta Barat).

Selain itu, terdapat lima korporasi yang sedang dalam masa penyidikan dalam catatan proses penegakan hukum KLHK pada 2019. Enam korporasi itu terletak di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada juga satu perseorangan yang masuk ke tahap penyidikan di Kalimantan Barat dengan luas kebakaran 74 hektare.

Berikut daftar enam kasus yang sedang dalam tahap penyidikan KLHK pada 2019:
1. UB (perorangan): Kec Ambawang, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat (Luas kebakaran ± 274 ha).
2. PT SKM: Kec. Muara Pawan, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (Luas kebakaran ± 800 ha).
3. PT ABP: Kec. Sungai Melayu Rayak dan Kec. Nanga Tayap, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (Luas lahan terbakar ± 80 ha).
4. PT AER: Kec. Benua Kayong, Matan Hilir Selatan, dan Sungai Melayu Rayak, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (Luas Lahan terbakar ± 100 ha).
5. PT KS: Kab. Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Luas Lahan terbakar ± 709 ha).
6. PT IFP: Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (Luas Lahan terbakar ± 5 ha).

Pada 3 Oktober 2019, KLHK menetapkan dua Warga Negara Singapura sebagai tersangka kasus impor limbah ilegal. Mereka yang berinisial LSW dan KWL diketahui sebagai direktur PT ART (Advanced Recycle Technology). 

Sementara, Direktur Eksekutif Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan kasus karhutla yang saat ini masih melanda di sejumlah wilayah di tanah air, seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menindak tegas korporasi nakal penyebab kebakaran. Namun pemerintah tidak menggunakan momen ini dengan baik. 

"Cabut (izin korporasi) dan serahkan (lahan) pada rakyat. Kebakaran ini akumulasi ketidakadilan kelola SDA," ujar Rudi dalam acara konferensi pers Penegakan Hukum Semu di Balik Penyegelan Lokasi Kebakaran di Kantor Eksekutif Nasional Walhi, Jakarta, Rabu (18/9).

Rudi menyebutkan proses penegakan hukum kasus karhutla di Jambi cenderung tertutup. Bahkan, media di Jambi pun tidak mendapatkan informasi.

"Kita juga aneh lihat Pemprov (pemerintah provinsi) Jambi, semua informasi ditutup, alasannya karena tidak begitu parah," kata dia.

Pemerintah daerah, kata Rudi, cenderung memberikan informasi yang membuat seakan-akan kondisi karhutla di Jambi baik-baik saja.

"Waktu itu informasi yang diberikan adalah kebakaran terjadi di 700 hektare, padahal nyatanya 700 ribu hektare, ini membunuh masyarakat Jambi," kata dia.

Bahkan, pada Senin (16/9), 12 LSM mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Surat tersebut terkait karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, daerah terbesar terdampak karhutla.

4. Lalu, siapa oknum yang sebabkan karhutla?

Kebakaran Hutan dan Lahan Selalu Terjadi, Siapa yang Salah?(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Beberapa pihak memiliki pendapat masing-masing dalam menetapkan siapa oknum di balik karhutla. Jajaran pemerintah seperti KLHK menyebutkan, ada tiga aspek yang menyebabkan peristiwa kathutla terjadi. Hal tersebut diungkapkan dalam keterangan tertulis KLHK berjudul Langkah Korektif Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan pada 23 September 2019.

Aspek pertama adalah manusia. Manusia menyebabkan kebakaran hutan dan lahan untuk kepentingan materil seperti finansial. Kegiatan manusia dalam pembersihan lahan (land clearing) dan soil conditioning membuat hutan dan lahan mudah terbakar. 

Aspek kedua, cuaca. Cuaca, khususnya musim kemarau diduga sebagai aspek yang juga menyebabkan karhutla. Selain itu, musim kemarau panjang yang terjadi pada 2019 menurut KLHK mempersulit penanggulangan Karhutla.

"Tahun 2019 memang kemarau panjang yang lebih panas dari 2015," ujar Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi, dalam keterangan tertulis, Minggu (22/9). Selain kemarau, faktor El Nino juga dapat menyebabkan karhutla.

Aspek ketiga adalah kerusakan ekosistem gambut. KLHK berpendapat, kerusakan tersebut terjadi karena adanya kesalahan pemanfaatan lahan gambut dan pengeringan ekosistem gambut. 

Berbeda dengan KLHK yang menyoroti tiga aspek penyebab karhutla. Walhi sebagai organisasi penggiat lingkungan lebih menitik beratkan kepada satu aspek, yaitu korporasi. Walhi menilai harusnya korporasi yang berdiri di daerah gambut rawan karhutla bertanggung jawab dengan kebakaran di daerahnya. 

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan, korporasi menyebabkan terjadinya karhutla, karena lebih mengarah ke eksploitasi dan tidak menjaga wilayahnya dengan hati-hati. Karena itu, dia menuntut agar pemerintah memberikan lahan tersebut kepada masyarakat.

Rudi memberikan argumen tentang 49 hektare lahan gambut yang dikelola masyarakat Jambi, yang sampai sekarang tidak ada yang terbakar. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena masyarakat cenderung menjaga alam di sekelilingnya.

"Mereka tahu apa yang mereka harus lakukan, mereka menjaga wilayah mereka," kata dia.

Walhi menilai, pemerintah terlalu menyalahkan masyarakat lokal dibandingkan korporasi dalam peristiwa karhutla.

"Kami melihat pemerintah masih menyalahkan peladang setempat, meski dihadapkan pada fakta temuan lapangan bahwa titik api sebagian besar di kawasan konsesi," ujar Kepala Desk Politik Walhi Khalisa Khalid, Jakarta, Senin (16/9).

Sementara, bagi Sri Lerry, penyebab karhutla korporasi atau alam tak begitu penting bagi dia. Yang menjadi persoalan buat dia adalah bagaimana agar kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi terus menerus setiap tahun di sekitar rumahnya. 

"Ladang (sawit) kami juga terbakar," ujar Sri yang pada 2018 lahan sawitnya ludes akibat mengalami kebakaran hebat.

Adik laki-laki Sri yang masih sekolah dasar mendadak terdiam mendengar cerita sang kakak.

Namun, Sri mengungkapkan, penyebab kebakaran lahan sawitnya adalah kecemburuan warga lain yang juga memiliki lahan sawit.

"Ladang saya habis, dibakar orang, sudah lah lemes awak," ucap dia. 

Padahal untuk membuka lahan sawit, Sri harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Itu sebabnya ia menangis saat mengetahui lahannya hangus terbakar. "Gede sekali (biayanya). Saya cuma bisa menangis," tutur dia.  

Kini, Sri membiarkan lahan sawitnya begitu saja. Sri dan keluarga tak lagi memiliki biaya untuk memfungsikan lagi lahan tersebut. Sri berharap agar orang yang membakar lahan sawitnya bisa diproses secara hukum.

"Karena belum tahu, belum dapat-dapat, lari orangnya," ucap Sri, dengan tatapan mata kosong.  

Baca Juga: Total Ganti Rugi Kasus Karhutla yang Inkrah Capai Rp315 Triliun

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya