Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal Ini

Salah satu hal yang dikritisi adalah AMDAL

Jakarta, IDN Times - Indonesian Center for Environment Law (ICEL) menemukan problematika pada peraturan sektor lingkungan dan sumber daya alam (SDA) pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang sudah disahkan oleh DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020.

Salah satu problematika tersebut mengenai aturan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang terdapat di UU Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Persetujuan Lingkungan, yang terdapat di dalam Omnibus Law.

"Hak akses masyarakat terhadap partisipasi, informasi dan keadilan mengalami pereduksian signifikan bahkan penghapusan. Hilangnya kesempatan berpartisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian AMDAL adalah contohnya," tulis ICEL dalam Seri 3 Analisis Berbagai Problematika dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam yang diterima IDN Times, Jumat (16/10/2020).

Baca Juga: ICEL Terbitkan Jurnal soal Dampak Buruk UU Ciptaker untuk Lingkungan

1. Tiga implikasi dari hilangnya komisi penilai AMDAL

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniIlustrasi panen kelapa sawit (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

ICEL menjelaskan, dihapusnya komisi penilai AMDAL pada perubahan Pasal 24 UU Nomor 32 Tahun 2009 di Omnibus Law UU Ciptaker, setidaknya ada tiga implikasi yang perlu digarisbawahi yaitu:

a. Jika tidak ada pendelegasian secara proporsional, maka beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan.

b. Berpotensi menjauhkan akses informasi baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah (terutama di daerah yang sulit terjangkau dan/atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi) dalam menyusun AMDAL

c. Tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan yang sebelumnya ada dalam Komisi Penilai AMDAL mengurangi ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki (meaningful participation)

"Perlu diingat bahwa UU 32/2009 menempatkan masyarakat sebagai pihak yang setara secara hukum, untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
yang mempengaruhi hajat hidupnya," tulis ICEL. 

2. Penghapusan Pasal 39 berpotensi jauhkan partisipasi masyarakat dalam pengajuan AMDAL

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniInfografis UU Cipta Kerja Usai Ketuk Palu (IDN Times/Arief Rahmat)

Selanjutnya, ICEL juga mengkritik perubahan ayat (2) Pasal 39 UU Nomor 32 Tahun 2009. ICEL menilai, dalam perubahan tersebut, tidak lagi diatur kewajiban pemerintah untuk memastikan akses informasi terkait AMDAL kepada masyarakat. Melainkan hanya mengatur cara informasi itu diumumkan.

"Masyarakat dengan keterbatasan kemampuan mengakses informasi, akan lebih sulit mengakses informasi," katanya.

Sehingga, muncul potensi semakin sulitnya partisipasi masyarakat dalam proses permohonan hingga penerbitan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH).

"Hak atas informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 merupakan pilar penting bagi masyarakat demokratis karena menjadi prasyarat pemenuhan HAM lainnya," ujar ICEL.

Berikut bunyi ayat (2) Pasal 39 UU Nomor 32 Tahun 2009:

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.

Berikut bunyi ayat (2) Pasal 39 UU Nomor 32 Tahun 2009 setelah perubahan di UU Ciptaker:

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

3. Dihapusnya Pasal 40 merupakan bentuk hilangnya kontrol langsung pengelolaan lingkungan

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniSejumlah buruh perempuan melakukan aksi damai menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (8/10/2020) (ANTARA FOTO/ Ardiansyah)

ICEL menilai, penghapusan Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2009 sebagai hilangnya kontrol langsung pengelolaan lingkungan terhadap suatu usaha dan atau kegiatan. Hal itu karena, ada potensi pembatalan persetujuan lingkungan tidak serta merta membatalkan perizinan berusaha.

Berikut ini bunyi ayat 1-3 Pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang dihapus:

(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.

(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

4. ICEL juga kritisi perubahan pada Pasal 63

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniRibuan buruh bersama Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Sukabumi melakukan aksi unjuk rasa di lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). ANTARA FOTO/Iman Firmansyah

Perubahan Pasal 63 pada UU Nomor 32 Tahun 2009, menurut ICEL, memang menghadirkan kembali pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Tetapi, kewenangan tersebut tidak didelegasikan dengan penerbitan persetujuan lingkungan.

"Perlu dicatat, Pasal 63 ayat (1) Huruf f tidak menggunakan frasa 'persetujuan lingkungan' melainkan 'persetujuan pemerintah'," ujarnya.

5. Potensi kriminalisasi peladang tradisional melalui penghapusan ayat (2) pada Pasal 69

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniDok.IDN Times/Istimewa

Kemudian, ICEL juga mengkritisi penghapusan ayat (2) pada Pasal 69 UU Nomor 32 Tahun 2009. Ayat tersebut berbunyi:

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Menurut ICEL, penghapusan pengecualian larangan membakar pada ayat tersebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat ladang tradisional. Sebab, Pasal 108 UU Nomor 32 Tahun 2019 masih berlaku.

"Selain itu, berpotensi memindahkan beban pertanggungjawaban hukum dari korporasi membakar hutan yang banyak dibuat oleh KLHK kepada peladang tradisional," tuturnya.

6. Subjek "pemerintah pusat" di Pasal 71 juga jadi sorotan ICEL

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniMenko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menkumham Yasonna Laoly (tengah) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menghadiri pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jika mengacu pada Pasal 63 yang sebelumnya dibahas, maka kewenangan pengawasan lingkungan hidup dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Namun, pada Pasal 71, pengawasan tingkat nasional dilakukan oleh pemerintah pusat.

Apabila dilihat lebih dekat, memang ada perubahan subjek pada Pasal 71 yaitu "menteri, gubernur, atau bupati/wali kota" menjadi "pemerintah pusat". Hal itulah yang membuat ICEL menilai adanya kemungkinan pengawasan tidak hanya dilakukan oleh KLHK saja.

7. ICEL menilai perubahan Pasal 73 unik

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniMenteri LHK Siti Nurbaya (IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya)

ICEL menilai perubahan pada Pasal 73 adalah hal yang unik. Sebab, kewenangan melakukan pengawasan lini kedua atau oversight diberikan kepada menteri. Padahal, lanjut ICEL, pengawasan lingkungan hidup di tingkat nasional masih belum jelas.

"Masih belum jelas jelas institusi yang melakukannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 71," katanya.

Berikut bunyi Pasal 73 UU Nomor 32 Tahun 2009:

Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berikut bunyi Pasal 73 UU Nomor 32 Tahun 2009 setelah perubahan di UU Ciptaker:

Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau Persetujuan pemerintah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

8. Perubahan subjek juga terjadi pada Pasal 76

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniMenko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) didampingi Menkumham Yasonna Laoly (kedua kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menerima laporan akhir dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi (bawah) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Lagi-lagi, ICEL mengkritisi perubahan subjek, kali ini terdapat pada Pasal 76 yang membahas tentang wewenang menerapkan sanksi administratif pada penanggung jawab usaha dalam pengawasan lingkungan hidup.

Menurut ICEL, perubahan subjek "menteri, gubernur, atau bupati/wali kota" menjadi "pemerintah pusat atau pemerintah daerah" berpotensi menimbulkan kerancuan kebijakan dari subjek yang diberikan kewenangan.

"Apabila kewenangan diatur dalam PP, subjek yang menampung otoritas bisa lebih mudah diubah karena sepenuhnya kewenangan eksekutif," jelasnya.

Selain itu, ICEL juga mengatakan, ada potensi munculnya otoritas-otoritas yang saling klaim dan merasa paling berwenang dalam menjatuhkan sanksi administratif.

"Hal ini tidak hanya berdampak pada birokrasi tetapi juga kepastian hukum dan akses keadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha," ujarnya.

9. Perubahan Pasal 88, merancukan konsep strict liability

Kuliti Pengawasan Lingkungan di UU Cipta Kerja, ICEL Kritisi Hal IniIlustrasi (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

ICEL berpendapat, hilangnya kalimat "tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 merancukan pemaknaan dari pernormaan konsep strict liability pada Pasal 88. Sehingga, menurut ICEL, perlu adanya karakteristik dari konsep strict liability seperti unsur-unsur yang perlu dibuktikan dalam gugatan penggugat atau pengecualian konsep.

Berikut bunyi Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Berikut bunyi Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 setelah perubahan di UU Ciptaker:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya