Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme Pemilih

Partisipasi pemilih terancam menurun drastis

Jakarta, IDN Times - Pemerintah, DPR RI, bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan tetap melaksanakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Keputusan tersebut mengundang kritik dari banyak pihak, sebab dinilai tidak tepat dengan kondisi pandemik virus corona yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia.

Namun, pelaksanaan pilkada 2020 bisa jadi ancaman jika penyelenggara pemilu dan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya tidak mampu meyakinkan calon pemilih. Partisipasi pemilih dipercaya banyak pihak bakal menurun, karena mereka khawatir adanya virus corona.

Kementerian Dalam Negeri pun menargetkan tingkat partisipasi pemilih tidak terlampau tinggi, hanya di atas 50 persen. Sementara, jika melihat tingkat partisipasi pemilih pemilu 2019 mencapai 81,97 persen atau melampaui target nasional 77,5 persen. Sedangkan, untuk pileg mencapai 81,69 persen.

Sementara, bagi calon kontestan pilkada di tengah belenggu pandemik menjadi tantangan berat. Apalagi pasangan calon atau paslon penantang, mereka harus bekerja ekstra karena tidak bisa lagi berkampanye secara terbuka dengan menghadirkan massa.

Namun, di tengah era digital sekarang ini, para kandidat maupun penyelenggara dapat memainkan peran mereka melalui media sosial. Penyelenggara pemilu dapat mensosialisasikan pemilu melalui medsos, begitu juga para kontestan.

1. Kepala daerah hasil pilkada 2020 dibutuhkan untuk percepatan penanganan COVID-19

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihPlt. Dirjen Administrasi dan Kewilayahan Kemendagri Safrizal (IDN Times/Aldzah Aditya)

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Administrasi dan Kewilayahan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal mengungkapkan tujuan pelaksanaan pilkada 2020 untuk memenuhi hak masyarakat dalam memilih pemimpin yang bertanggung jawab penuh dalam bekerja. Khususnya dalam hal percepatan penanganan COVID-19 di setiap daerah.

“Kita membutuhkan hasilnya (pilkada). Ini hak masyarakat memiliki pemimpin yang mereka pilih. Tentu juga pemimpin yang plt memiliki keterbatasan, padahal kita membutuhkan speed dan power penuh dalam menangani COVID-19. Jika tidak memiliki speed dan power penuh untuk menangani COVID-19 karena keterbatasan kebijakan dan pekerjaan, maka akibat dan korbannya adalah masyarakat,” ujar dia, dalam acara diskusi yang ditayangkan melalui streaming YouTube BNPB Indonesia, Senin 6 Juli 2020.

Safrizal mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memberikan energi dan dukungan penuh kepada KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam penyelenggaraan pilkada 2020.

“Pemilu pertama di tengah pandemik ini dihadapi bukan hanya oleh Indonesia, tetapi juga banyak negara di dunia. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi yang kuat dalam menyukseskan pilkada 2020 yang aman COVID-19 bagi penyelenggara dan pemilih,” ujar dia.

Baca Juga: 7 Hal soal Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemik Virus Corona

2. KPU akan dibantu GTPPC19 mengontrol penerapan protokol kesehatan berdasarkan zonasi

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihGedung KPU RI (IDN Times/Denisa Tristianty)

Safrizal menjelaskan, dalam pelaksanaan pilkada, KPU akan dibantu Gugus Tugas Percepetan Penanganan COVID-19 (GTPPC19) nasional maupun daerah. Kolaborasi tersebut berguna untuk mengontrol penerapan protokol kesehatan berdasarkan zonasi.

Sebab, kata dia, pilkada 2020 akan diselenggarakan di sembilan provinsi, antara lain Sumatra Barat (zona orange), Kepulauan Riau (zona kuning), Jambi (zona kuning), Bengkulu (zona orange), Kalimantan Utara (zona orange), Kalimantan Tengah (zona merah), Kalimantan Selatan (zona merah), Sulawesi Utara (zona merah) dan Sulawesi Tengah (zona orange).

Selain provinsi, pilkada 2020 juga akan dilaksanakan di 224 kabupaten dan 37 kota, yang tentunya memiliki sistem zonasi virus corona, yang sewaktu-waktu bisa berubah statusnya.

“Pilkada akan diselenggarakan dan tersebar di zona merah, kuning, orange maupun hijau. Yang membedakan adalah protokolnya. Jadi nanti KPU dan Gugus Tugas, baik nasional maupun daerah provinsi dan kabupaten-kota akan mengontrol penerapan kesehatan berdasarkan zonasi," ujar dia.

Di sisi lain, Safrizal berpesan kepada para calon kepala daerah, untuk dapat berkampanye sesuai dengan protokol kesehatan. Sehingga tidak ada lagi kampanye dengan cara berkumpul yang menyebabkan kerumunan, yang menyebabkan penularan virus corona.

“Pada masa adaptasi kebiasaan baru, harus cari strategi baru. Jadi cara kampanye pun harus baru, harus kreatif dengan mengedepankan protokol kesehatan,” kata dia.

“Kuncinya adalah disiplin. KPU, Gugus Tugas dan berbagai sektor sudah mengatur tentang pedoman penerapan protokol kesehatan. Kuncinya adalah kedisiplinan yang didukung dengan sosialisasi kepada masyarakat. Jika kita tidak tahu, maka risikonya ada pada diri sendiri. Jika kita tidak peduli, orang lain yang akan jadi terancam,” Safrizal melanjutkan.

3. Pelaksanaan pilkada 2020 akan menjadi pertaruhan besar untuk masa depan pemilu di Indonesia

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihKetua KPU Arief Budiman menggelar jumpa pers setelah audiensi dengan Tim Hukum PDIP, Jakarta, Kamis (16/1) (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sementara, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pelaksanaan pilkada 2020 memiliki peran penting untuk masa depan pemilu di Indonesia. Sebab, ini kali pertama pelaksanaan pemilu di tengah pandemik.

“Ini sejarah pertama ya. Tahun 2020 menjadi pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan di tengah pandemik COVID-19,” ujar Arief pada forum diskusi yang sama dengan Safrizal, Senin 6 Juli 2020.

Arief menjelaskan, pilkada yang diselenggarakan pada 9 Desember 2020 itu merupakan momen yang sangat penting, karena dalam pelaksanaannya akan menjadi dasar dan pijakan bagi generasi mendatang.

“Kebetulan sekarang virusnya corona. Suatu saat bisa saja ada virus yang lain. Maka hari ini kita tidak hanya membuat sejarah secara teknis pelaksanaannya, tetapi juga regulasinya, kemudian model pelaksanaannya, kulturnya. Ini penting untuk bisa menjadi model di masa yang akan datang,” kata dia.

Untuk itulah, Arief menilai, pelaksanaan pilkada kali ini akan menjadi pertaruhan besar. Pertaruhan besar tersebut bukan hanya untuk generasi sekarang, tapi juga untuk generasi mendatang.

Arief menjelaskan, regulasi pelaksanaan pemilu pada masa pandemik COVID-19 tidak ada yang berubah. Namun ada beberapa tambahan Peraturan KPU (PKP) yang disesuaikan dengan kondisi pandemik saat ini.

“Regulasinya tidak ada yang berubah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 masih dipakai, Peraturan KPU juga masih dipakai, yang kita lakukan sekarang adalah menambahkan peraturan KPU baru sesuai dengan situasi pandemik dan mengutamakan protokol kesehatan,” kata dia.

4. Protokol kesehatan saat hari pemungutan suara dan pelaksanaan kampanye

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihIDN Times/Imam Rosidin

Arief menjelaskan, terdapat teknis pelaksanaan pemilu dengan mengutamakan protokol kesehatan bagi penyelenggara serta pemilih. Bagi penyelenggara, KPU memfasilitasi desinfektan, masker kain dan medis, hand sanitizer, sabun cuci tangan, sarung tangan, pengukur suhu tubuh, dan pelindung wajah.

“Disediakan juga pembatas bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta KPU juga mengadakan rapid test terlebih dahulu, untuk memastikan kondisi kesehatan penyelenggara,” kata dia.

Selain itu, Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga akan menerapkan physical distancing dengan pengaturan kursi yang berjarak 1-2 meter bagi para pemilih. Para pemilih juga diwajibkan menggunakan masker dan mengikuti instruksi petugas di TPS, untuk mengikuti pemilu sesuai dengan protokol kesehatan.

Protokol kesehatan juga akan diterapkan pada saat pelaksanaan kampanye. Antara lain pasangan calon atau paslon tidak diperbolehkan kampanye yang berpotensi membuat kerumunan, dan mengutamakan pelaksanaan kampanye menggunakan media daring. Selain itu, jika melakukan pertemuan, maka peserta tidak boleh melebihi 40 persen dari kapasitas ruangan dengan menggunakan masker dan face shield.

Arief juga menyebutkan pemungutan suara dilakukan secara manual. Keputusan itu diambil karena ia menilai pemungutan suara secara manual sudah menjadi ciri khas Indonesia.

“Kita jangan menghilangkan kultur pemungutan suara, itu (pemungutan suara) tetap dilaksanakan manual. Begitu pemungutan suara dihitung dan semua orang menyaksikan di TPS, hal ini yang menjadi ciri khas Indonesia dalam melakukan pemilihan untuk hak pilihnya. Nah, pada proses perekapan, baru menggunakan teknologi informasi,” ujar Arief.

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme Pemilih(IDN Times/Arief Rahmat)

5. Pilkada 2020 menjadi tantangan besar bagi kandidat penantang

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihBakal calon Pilkada Batam Rian Ernest (IDN Times/Lia Hutasoit)

Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest yang siap bertarung di Pilkada Batam, mengaku akan berpikir dua kali untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, jika mengetahui kondisi pandemik COVID-19 seperti yang terjadi saat ini.

Rian mengatakan, dengan kondisi tersebut tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi ia dan tim. Misalnya saja, saat terjun ke lapangan untuk bertemu masyarakat di daerah pemilihannya selama kampanye nanti.

“Semua penantang akan lebih berat harus bekerja 10 kali lipat. Incumbent yang 80 persen ikut di pilkada akan enak aja,” kata dia, saat webinar Pilkada di Tengah Pandemik COVID-19, Pilih Politik atau Kesehatan by IDN Times, Jumat 5 Juni 2020. 

Rian maju sebagai bakal calon di Pilwakot Batam bersama pasangannya Yusiana Gurusinga. Mengusung jargon Batam Baru, keduanya maju melalui jalur perseorang atau independen.

“Kalau saya tahu ada COVID-19 mungkin saya mikir dua kali (untuk mencalonkan diri). Jujur ini yang bikin saya berat hati. Saya ada tim inti lima orang, salah satu timses saya sempet jadi ODP (Orang Dalam Pemantauan),” kata dia.

Ia berpendapat, esensi pesta demokrasi saat penyelenggaraan pilkada 2020 hilang akibat pandemik COVID-19. Sebab, efektivitas bertemu masyarakat di lapangan menjadi berkurang, karena harus mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan orang.

Hal itu, menurut Rian, tentu sangat mengganggu jalannya proses sosialisasi kepada masyarakat di dapilnya.

“Saya jujur takut untuk tetap berjuang di saat COVID-19. Sebagai seorang politisi, pemilu itu kan pesta demokrasi, saya bisa datang kemana saja untuk mengenalkan diri. (Sekarang) kalau ketemu langsung terbatas, gak bisa masuk kampung padat,” ujar dia.

Pria yang pernah menjadi caleg pada Pileg 2019 lalu itu menilai, calon incumbent atau petahana paling banyak diuntungkan dengan adanya pandemik. Hal itu karena, mereka bisa membuat program dengan anggaran daerah yang bisa menarik simpati masyarakat dan media, untuk menaikan popularitas mereka.

“Tapi bagi penantang menaikan elektabilitas susah. Kalau dateng harus pakai masker, gak kenal juga orang-orang. Atau saat tim saya dateng kenalkan saya, bagaimana mau mengenalkan diri kalau dengan warga harus jaga jarak. Secara politik lebih berat untuk penantang,” tutur Rian.

6. Ketidakmampuan membangun perspesi pilkada yang aman dan sehat, bisa menimbulkan skeptisme dan apatisme pada pemilih

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihDirektur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pilkada serentak bukanlah prioritas masyarakat di tengah badai pandemik COVID-19. Karena itu, salah satu tantangan terberat penyelenggaraan pilkada adalah mengajak masyarakat menggunakan hak pilih mereka. Jika tidak, partisipasi pemilih terancam menurun drastis.

“Pilkada bukanlah prioritas warga (karena pandemik), persepsi soal keamanan dan kesehatan pilkada sangat memengaruhi, apakah pemilih mau terlibat atau tidak,” kata Titi melalui pesan singkat kepada IDN Times, Rabu (8/7/2020).

Titi menilai penyelenggaraan pilkada 2020 harus mampu membangun persepsi pilkada terjamin sehat dan aman dari COVID-19. Apabila penyelenggara tidak mampu membangun persepsi tersebut, ada kemungkinan timbul skeptisme dan apatisme pada pemilih.

Keterbatasan ruang gerak akibat adanya physical distancing menambah kerumitan dan tantangan bagi penyelenggara dalam melakukan sosialisasi pilkada 2020. Titi mengatakan, apabila protokol kesehatan COVID-19 tidak dipatuhi dengan baik dan benar, hal itu bisa memunculkan kekisruhan dalam implementasi teknis pilkada.

“Bisa saja kalau protokol kesehatan tidak dipatuhi, maka dapat terjadi kekisruhan dalam implementasi teknis pilkada, yang akhirnya bisa berdampak pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi di pilkada,” tutur dia.

Titi mengatakan, partisipasi masyarakat dalam pilkada 2020 bukan hanya saat hari pemungutan suara, tetapi harus dibangun sejak awal pelaksanaan. Sebab, partisipasi masyarakat pada hari pemungutan suara justru refleksi upaya para pemangku kepentingan secara terus- menerus, untuk melibatkan masyarakat di pilkada.

“Misal petugas coklit (pencocokan dan penelitian) data pemilih juga harus melakukan sosialisasi soal hari pemungutan suara dan pilkada berprotokol kesehatan. Terpenting, penyelenggara pemilu harus mampu meyakinkan bahwa pilkada 2020 adalah pilkada sehat,” kata dia.

7. KPU harus bisa tunjukkan konsistensi protokol kesehatan pada pelaksanaan pilkada 2020

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihHasil rapid test kepada pedagang pasar Jodog belum ditemui hasilnya reaktif. (IDN Times/Daruwaskita)

Titi menuturkan, sebagai salah satu pihak yang memutuskan penyelenggaraan pilkada tetap dilakukan walau pandemik, maka dukungan pemerintah sangat penting. Pemerintah diharapkan bisa secara optimal membantu sosialisasi pilkada 2020.

Menurut Titi, KPU adalah pihak yang harus ekstra kerja dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Caranya, dengan menyakinkan masyarakat bahwa pilkada 2020 sehat dan aman.

“Kalau KPU tidak bisa menunjukkan kinerja yang baik soal pengelolaan pilkada yang konsisten dengan protokol kesehatan, maka bisa berdampak pada masyarakat yang enggan untuk terlibat di pilkada,” kata dia.

Sosialisasi pilkada 2020, kata Titi, juga bisa melibatkan seluruh elemen masyarakat. Misalnya saja seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, hingga tokoh adat serta tokoh di area kampus.

Melibatkan lebih banyak elemen masyarakat, kata dia, sangat penting di tengah kondisi pandemik. Dengan cara itu diharapkan mereka menyebarkan kesadaran dan rasa memiliki atas pilkada yang berlangsung.

“Dengan demikian mereka akan secara sukarela sadar dan mau menyukseskan pilkada 2020,” ujar Titi.

8. Media sosial bisa menjadi media alternatif kampanye bagi kontestan

Pilkada di Bawah Belenggu Pandemik: Ancaman Skeptisme-Apatisme PemilihIlustrasi media sosial (Sukma Shakti/IDN Times)

Sementara, Pengamat Media Sosial Enda Nasution mengatakan, setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan pasangan calon atau paslon, agar strategi kampanye mereka di medsos dapat berjalan maksimal.

Pertama, tim sukses paslon harus terlebih dahulu mengenali karakteristik daerah pemilihan atau dapil. Mereka harus mengetahui bagaimana literasi medsos masyarakat di dapilnya, agar dapat menentukan strategi komunikasi ke depan, termasuk pemilihan materi dalam konten kampanye.

“Kedua, fungsi branding. Intinya adalah semacam branding yang ingin ditampilkan adalah si paslon ini seseorang yang ngerti teknologi digital bahwa dia ini keren, up to date, karena itu bagian dari branding pencitraan yang ingin ditunjukan,” kata Enda saat dihubungi IDN Times, Selasa 7 Juli 2020.

Ketiga, Enda melanjutkan, dalam berkampanye di medsos, paslon harus memberikan ruang tanya jawab bagi masyarakat, agar kebutuhan mereka yang selama ini belum tersalurkan bisa segera dipenuhi.

Karena itu, kata dia, komunikasi dua arah menjadi penting dalam berkampanye di medsos, apalagi dalam situasi pandemik COVID-19 yang menganjurkan untuk menghindari pertemuan tatap muka langsung.

Keempat, dari hasil komunikasi tersebut, tim sukses paslon juga bisa mengetahui atau memetakan apa yang sebenarnya dibutuhkan konstituennya. Setelah itu, mereka dapat membuat konten-konten yang relevan dengan kondisi di dapil si paslon.

“Nah, untuk jualan tim sukses harus tahu yang dibutuhin, apa yang relevan untuk audiens? Lalu apa yang bisa dijual dari paslonnya? Kelebihannya yang bisa ditekankan. Kalau pun ada kekurangan ditutupi sebisa mungkin,” ujar dia.

Terakhir, Enda menyarankan, peran kaum millennials berpengaruh atau influencer menjadi sangat penting dalam membantu paslon melakukan kampanye di medsos.

Sebab, popularitas seorang influencer tanpa disadari dapat mendongkrak nama paslon yang sebelumnya tidak dikenal luas masyarakat di dapilnya. Bahkan, mereka juga bisa menjadi penentu pemilih untuk menentukan sikapnya saat berada di bilik suara ketika hari pemungutan suara berlangsung.

Namun, kata Enda, pemilihan figur seorang influencer juga menjadi penting. Tokoh yang dekat dengan konstituen dapat dipilih paslon untuk memuluskan kampanye mereka di medsos.

Influencer jadi penting karena ini adalah orang-orang yang punya audiens besar. Kenapa jadi penting? Karena publik perlu dibantu. Bagaimana saya bisa menentukan pilihan, gak semua punya waktu dan energi bacain satu-satu visi misi paslon, dan kalau sudah baca belum tentu juga akhirnya tahu menentukan pilihan,” ujar dia.

Baca Juga: Tip Tangkal Hoaks dan Kampanye Pilkada 2020 di Tengah Pandemik

https://www.youtube.com/embed/a_ovJdiT5Ko

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya