Pulau Rubiah, Saksi Karantina Haji Pertama Indonesia di Era Kolonial

Karantina haji 40 hari, lebih lama dari karantina COVID-19

Jakarta, IDN Times - Slogan "Dari Sabang Sampai Merauke" sudah sangat familiar di telinga orang Indonesia. Namun, apakah kamu benar-benar tahu di mana letak dan bagaimana keindahan dua kota tersebut? Kalau kamu tahu, ucapan syukur menjadi warga Nusantara pasti akan keluar di pikiranmu.

Kota Sabang adalah kota yang terletak di titik paling utara Indonesia. Tepatnya berada di Provinsi Aceh. Kota ini menyimpan sejuta keindahan bahari, dan juga syarat sejarah.

Baca Juga: Kemenag Rilis Video Tata Cara Haji Daring di Tengah Pandemik COVID-19

1. Istilah karantina haji sudah ada sejak zaman kolonial Belanda

Pulau Rubiah, Saksi Karantina Haji Pertama Indonesia di Era KolonialKarantina Haji di Sabang, Aceh (Dok. Kemenag)

Salah satu pulau yang masuk ke dalam wilayah Kota Sabang adalah Pulau Rubiah. Pada zaman kolonial Belanda, Pulau Rubiah yang merupakan surga snorkling bagi wisatawan, diperuntukkan khusus untuk pusat karantina haji. Lokasi karantina sekitar 150 meter dari dermaga Pulau Rubiah.

Pada masa awal pembangunan tempat karantina ini, ada beberapa gedung yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektare. Namun, saat ini hanya tersisa dua bangunan tua yang sudah tidak terawat, sedangkan bangunan lainnya telah lapuk dimakan usia dan juga hancur dihantam berbagai peristiwa.

Meskipun sudah tidak terawat, namun bangunan tua tersebut masih menyimpan sejumlah bukti sejarah tentang perhajian dan penerapan karantina di Tanah Air pada masa lalu.

Oleh karena itu, karantina haji bukan sebuah istilah baru di Indonesia. Sebab, hal itu telah ada sejak masa Hindia Belanda. Jemaah haji yang akan berangkat dan pulang dari Makkah, akan menetap dulu di pusat karantina selama lebih kurang 1 bulan.

2. Dibangun pada 1920, karantina haji di Pulau Rubiah adalah yang pertama di Indonesia

Pulau Rubiah, Saksi Karantina Haji Pertama Indonesia di Era KolonialKarantina Haji di Sabang, Aceh (Dok. Kemenag)

Seperti dikutip dari laman web Kemenag.go.id, Senin (4/5), disebutkan ada dua lokasi karantina haji pada masa kolonial Belanda, yaitu Pulau Rubiah di Sabang dan Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.

Pulau Rubiah menjadi pusat karantina bagi jemaah haji Aceh dan daerah lainnya di Sumatera. Sedangkan Onrust, menampung jemaah haji di Pulau Jawa.

Pada masa itu, pusat karantina haji di Pulau Rubiah adalah lokasi karantina haji pertama di Indonesia. Bukan hanya itu, lokasi tersebut juga dikenal dengan kemewahannya pada saat dibangun pada tahun 1920 silam.

Gedung karantina haji berfungsi sebagai tempat transit bagi jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci melalui jalur laut. Para jemaah terlebih dulu menginap di Pulau Rubiah, baru nanti diantar dengan kapal menuju kapal yang lebih besar.

Salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di Pulau Rubiah Teuku Yahya bercerita, awalnya bangunan karantina haji yang dibangun pada zaman kolonial itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap seperti penginapan, rumah sakit, laundry, kamar mandi, dan listrik.

"Gedung karantina haji ini dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah, rumah sakit dan fasilitas laundry juga tersedia dalam gedung tersebut," lanjut Yahya.

Ia juga menjelaskan, proses pemberangkatan jemaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1-2 bulan sebelum keberangkatan. Lalu, kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina, antara lain manasik haji dan pemeriksaan kesehatan.

3. Karantina haji berfungsi untuk memastikan jemaah haji yang pulang tidak membawa wabah penyakit

Pulau Rubiah, Saksi Karantina Haji Pertama Indonesia di Era KolonialIlustrasi Jemaah Haji (Dok. Kemenag)

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman menjelaskan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia mengatakan, Belanda tidak mau ambil pusing tentang jemaah haji Indonesia. Oleh karena itu, seluruh jemaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," katanya.

Apabila dibanding dengan keadaan saat ini, tentunya kebijakan karantina selama 40 hari saat itu, jauh lebih lama dari proses karantina wabah COVID-19 yang sedang menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.

"Waktu pulang harus mampir di sini, jemaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” ujarnya.

4. Karantina haji berubah menjadi barak tentara pada masa penjajahan Jepang

Pulau Rubiah, Saksi Karantina Haji Pertama Indonesia di Era KolonialKarantina Haji di Sabang, Aceh (Dok. Kemenag)

Pada masa penjajahan Jepang, gedung karantina haji berubah fungsi. Gedung dialihfungsikan menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.

Albina mengatakan, baru pada 1944, Belanda kembali ke Indonesia dan terjadi pertempuran hebat dengan tentara Jepang. Sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru.

"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.

Sejak saat itu, Pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun, Kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jemaah haji ke Tanah Suci hingga tahun 70-an melalui Kampung Haji.

Baca Juga: Jika Haji 2020 Batal, Bagaimana Calon Jemaah yang Telah Lunasi Biaya?

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya