WHO Minta RI Setop Penggunaan Hydroxychloroquine Pada Pasien COVID-19

Obat itu bisa memperbesar risiko kematian pasien COVID-19

Jakarta, IDN Times - Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr. Erlina Burhan membenarkan adanya permintaan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang penghentian penggunaan obat hydroxychloroquine atau hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 di Indonesia. WHO memutuskan untuk menghentikan penggunaan klinis obat Hydroxychloroquine berdasarkan observasi yang dilakukan oleh tim medis dan diterbitkan dalam jurnal kedokteran The Lancet. Berdasarkan kajian mereka, pasien yang mengonsumsi obat anti-malaria itu memiliki risiko kematian lebih tinggi dan mengalami permasalahan pada jantung.

Merespons permintaan WHO, PDPI mengeluarkan surat imbauan untuk seluruh dokter paru di Indonesia untuk mematuhi permintaan badan yang berlokasi di Jenewa, Swiss tersebut.

"Pada tanggal 22 Mei 2020 The Lancet mempublikasikan jurnal berjudul "Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of COVID-19 : multinational registry analysis" yang menyatakan terdapat peningkatan morbiditas pada pasien COVID-19 yang mendapat pengobatan hidroksiklorokuin. Berdasarkan jurnal tersebut maka WHO pada tanggal 27 Mei 2020 mengeluarkan imbauan mengenai penghentian sementara hidroksiklorokuin sebagai salah satu pengobatan COVID-19 pada penelitian Solidarity Trial," tulis PDPI melalui surat tertulis pada, Kamis (28/5) yang ditanda tangani oleh dr. Erlina.

Lalu, apa pengobatan alternatif lainnya selain mengonsumsi hydroxychloroquine?

1. Jubir COVID-19 juga membenarkan permintaan WHO agar menghentikan penggunaan hydroxychloroquine

WHO Minta RI Setop Penggunaan Hydroxychloroquine Pada Pasien COVID-19Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona atau COVID-19 Achmad Yurianto (Dok. BNPB)

Juru bicara pemerintah tentang COVID-19, dr. Achmad Yurianto membenarkan adanya permintaan WHO untuk penghentian penggunaan hydroxychloroquine kepada pasien COVID-19 di Indonesia. Ia juga menjelaskan penggunaan obat tersebut adalah bagian dari program pencarian pengobatan efektif bagi pasien COVID-19 yang disebut "solidarity trial." Selain Indonesia, ada pula 99 negara lainnya yang mengikuti program tersebut.

"Namanya juga mencoba obat (trial), kalau di kemudian hari ditemukan dampak negatif dari obat itu ya dihentikan dulu," ujar pria yang akrab disapa Yuri itu ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Jumat (29/5). 

Namun, surat yang dirilis oleh PDPI itu mendapat komentar keras dari ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu, seharusnya PDPI tidak melarang konsumsi hydroxychloroquine begitu saja bila tidak didasari dengan bukti medis yang kuat. 

"Perlu analisis data 'clinical trials'dan penggunaan obat obat tersebut. Laporkan secara terbuka ke publik," cuit Pandu pada hari ini. 

Baca Juga: WHO Hentikan Uji Klinis Hydroxychloroquine Sebagai Obat COVID-19

2. Pasien COVID-19 yang mengkonsumsi hydroxychloroquine telah mengisi formulir persetujuan

WHO Minta RI Setop Penggunaan Hydroxychloroquine Pada Pasien COVID-19Ilustrasi (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Walaupun masuk ke dalam tahapan percobaan, Yuri menjelaskan tetap ada etika klinis yang dilakukan yaitu, setiap pasien yang mengkonsumsi obat tersebut telah mengisi consent form. Dengan demikian, sudah ada persetujuan terlebih dulu dari pasien COVID-19.

"Solidarity trial itu kan pasien di rumah sakit mengonsumsi obat yang sedang diuji cobakan. Dari mana kita tahu obat itu memiliki efek atau tidak bila gak dicobain dulu. Pasien itu bukan kelinci percobaan, karena mereka kan mengisi consent form, artinya obat itu diberikan sudah atas persetujuan mereka. Ada etika klinisnya," tutur Yuri. 

3. Solidarity trial dilakukan oleh dokter paru sebagai pemberi resep obat

WHO Minta RI Setop Penggunaan Hydroxychloroquine Pada Pasien COVID-19Ilustrasi pasien tes swab (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Yuri mengatakan, yang menjalankan proses solidarity trial bukan rumah sakit, melainkan dokter spesialis paru. Sebab, dokter paru adalah pihak yang memberikan resep obat kepada pasien COVID-19.

"WHO sudah mengirim surat agar menghentikan dulu konsumsi hydroxinchloroquine ke Kemenkes. Dari Kemenkes, kami mengirimkan kembali ke pengampu teknis untuk COVID-19 yakni dokter paru. Oleh sebab itu, surat diserahkan ke Perhimpunan Paru, lalu nanti diedarkan ke masing-masing anggotanya di seluruh Indonesia," katanya.

4. Pemberian tamiflu menjadi salah satu alternatif pengobatan COVID-19

WHO Minta RI Setop Penggunaan Hydroxychloroquine Pada Pasien COVID-19

Yuri mengatakan obat alternatif yang diberikan kepada pasien sebagai ganti dari hydoxincholoroquine salah satunya adalah tamiflu. Saat ini terdapat 12 spesimen yang digunakan oleh seluruh dunia untuk pasien COVID-19.

Ia pun tidak menampik memang sudah ada produksi massal obat hydroxychloroquine untuk dikonsumsi pasien COVID-19. Bahkan, Yuri sempat menyebut angka 2 juta obat yang sudah diproduksi di Tanah Air. Tetapi, ia membantah obat itu akan langsung didistribusikan ke rumah sakit. 

"Obat yang diproduksi massal itu kan waktu produksinya bersamaan dengan proses trial ke pasien. Dua juta obat yang sudah diproduksi tidak serta merta kemudian langsung diberikan ke pasien saat itu juga," ujarnya.

https://www.youtube.com/embed/tjxHELqn72E

Baca Juga: Pandemi Virus Corona, Angka Kematian Indonesia Tertinggi di ASEAN

Topik:

  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya