Kutara Manawa, KUHP Era Majapahit yang Juga Menerapkan Hukuman Mati

Kutara Manawa juga mengatur hukum perdata

Jakarta, IDN Times - Kerajaan Majapahit tidak serampangan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat di eranya. Hal itu terlihat dari Kitab Kutara Manawa yang mengatur secara pidana dan perdata kehidupan masyarakat kala itu.

Sejatinya, Kutara Manawa adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada era tersebut. Melansir Jurnal Wacana Kinerja Volume 19 Edisi 1 yang dikeluarkan pada Juni 2016 lalu, sejarawan Indonesia, Prof. Slamet Muljana telah mengulas kitab Negarakretagama.

Hasil kerjanya mewujud dalam buku berjudul Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang terbit perdana pada Juli 1979, berselang 85tahun sejak penemuan kembali pertama kali Nagarakretagama.

Karya Slamet Muljana tersebut bisa dibilang sudah menjadi literatur klasik di dalam kajian sejarah Indonesia. Dalam 4 windu terakhir, buku tersebut setidaknya sudah dicetak ulang setidaknya sebanyak lima kali.

Slamet Muljana rupanya menempatkan Nagarakretagama tak cuma sebagai produk budaya dan arsip dokumentasi dari era Majapahit, tapi sebagai salah satu hasil karya dari era Hindu- Buddha di Jawa.

Buku Tafsir karangan Slamet Muljana ini membahas jatuh bangunnya negeri-negeri kuno di Jawa sepanjang era Hindu Buddha, mulai dari Kahuripan di era Airlangga sampai dengan era Majapahit dengan cukup komplet dan sekaligus kritis. Disusun dengan jumlah sebanyak 11 bab, Slamet Muljana juga menggambarkan sistem perundang-undangan yang berlaku di era Majapahit.

1. Kutara Manawa adalah KUHP yang berlaku di era Majapahit

Kutara Manawa, KUHP Era Majapahit yang Juga Menerapkan Hukuman MatiIlustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Pada bab VII dalam buku Tafsir Sejarah Negarakretagama menunjukkan bahwa Maharaja Majapahit beserta para nayaka prajanya tidaklah serampangan dalam mengatur rakyatnya, khususnya dalam hal menjalankan peradilan.

Untuk memutuskan segala sesuatu, mereka telah memiliki aturan hukum tertulis berupa kitab perundang-undangan bernama Kutara Manawa. Keberadaan kitab yang juga dikenal dengan dua sebutan lain yakni Sang Hyang Agama serta Agama ini dijelaskan tak cuma oleh kitab Nagarakretagama, tapi juga oleh Prasasti Bendasari dan Prasasti Trowulan.

Kutara Manawa pada dasarnya merupakan kitab undang-undang hukum pidana. Namun, berhubung Majapahit belum mengenal pemisahan baku antara hukum pidana serta perdata, para penyusun Kutara Manawa memasukkan juga ke dalam kitab tersebut turan-aturan yang kini digolongkan sebagai ranah hukum perdata, yakni jual-beli, pembagian warisan, utang-piutang, bahkan perkawinan dan perceraian.

Baca Juga: Tak Jadi Dihukum Mati, MA Vonis Ferdy Sambo Hukuman Seumur Hidup

2. Kutara Manawa menerapkan pidana maksimal hukuman mati

Kutara Manawa, KUHP Era Majapahit yang Juga Menerapkan Hukuman MatiIlustrasi keputusan hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Kutara Manawa menerapkan ancaman pidana maksimal berupa hukuman mati. Kasus-kasus yang dijatuhi hukuman mati yakni tindakan kekerasan fisik serta perampasan terhadap hak orang lain antara lain pembunuhan, penganiyaan, pencurian, serta penebangan pohon orang lain tanpa izin pemiliknya.

Menariknya, pidana mati juga diberlakukan untuk tindakan-tindakan yang dinilai mengganggu kegiatan pertanian yang menghasilkan pasokan pangan.

Karena itu, tindakan-tindakan seperti penelantaran lahan sawah, merusak irigasi, atau melalaikan perawatan binatang piaraan diancam pidana mati di dalam Kutara Manawa.

Namun, aturan dalam Kutara Manawa sebenarnya lebih menitikberatkan kepada sanksi-sanksi berupa denda sejumlah uang yang harus dihaturkan kepada raja, juga disertai ganti rug senilai beberapa kali dari nilai barang yang dibayarkan kepada pihak yang dirugikan oleh si terpidana.

Hal semacam tadi lebih diutamakan dari pada pidana mati ataupun hukuman siksaan badan. Contohnya saja orangtua yang telah menerima mahar perkawinan untuk anak gadisnya dari seorang pelamar, tapi justru menikahkannya dengan lelaki lain, didenda uang 4 laksa kepada raja, juga mengganti sebanyak 2 kali nilai mahar yang sebelumnya diterima.

Lalu, orang yang merusakkan barang titipan dengan mengganti bentukya ataupun memakai tampa izin didenda membayar uang 2 laksa kepada raja, juga mengembalikan barang titipan sebanyak 2 kali nilai semula.

Denda yang dibayarkan kepada raja serta ganti rugi kepada pihak yang dirugikan juga dimungkinkan sebagai tebusan pengganti pidana mati pada kasus pencurian.

3. Kutara Manawa menjunjung nilai-nilai keadilan

Kutara Manawa, KUHP Era Majapahit yang Juga Menerapkan Hukuman MatiIlustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Aneka aturan yang termuat dalam Kutara Manawa terasa memiliki rumusan yang simpel, tapi sekaligus kuat dalam menjunjung, prinsip-prinsip keadilan yang mendasar.

Melihat mutu yang dipunyai secara inheren oleh Kutara Manawa, kitab hukum kuno warisan nenek moyang ini rasanya layak menjadi rujukan atau paling tidak inspirasi bagi orang-orang di masa sekarang yang bekerja memelajari, merumuskan, maupun menegakkan hukum.

Baca Juga: Tersangka Pembunuhan Mahasiswa UI Terancam Hukuman Mati

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya