Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering Bolos

Mereka juga minim mengesahkan UU di prolegnas

Jakarta, IDN Times - Masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 telah berakhir. Anggota DPR baru telah dilantik pada Selasa (1/10) lalu dan wajahnya tidak jauh berbeda dengan anggota parlemen periode sebelumnya. 

Namun, di penghujung masa kinerjanya, publik merasa tak puas dengan kinerja anggota DPR periode 2014-2019. Apalagi banyak kebijakan anggota DPR yang menuai kontroversi. Alhasil, publik tak percaya terhadap kinerja anggota DPR. 

Salah satu penyebabnya karena banyak anggota DPR yang terlibat kasus korupsi. Anggota parlemen yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru sering kali merampok duit yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat. 

Belum lagi mereka sering absen dari rapat yang tujuannya untuk mengambil keputusan penting bagi rakyat. Namun, mereka tak ingin terlihat absen sehingga sering menitipkan absensinya kepada pihak lain. 

Dalam pandangan organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW), performa DPR sebagai wakil rakyat pada periode 2014-2019 tidak sebanding dengan besarnya uang rakyat yang mereka kelola. Jumlah total APBN yang dialokasikan untuk lembaga legislatif sepanjang 2015-2019 mencapai Rp26,14 triliun. Rata-rata, anggaran DPR per tahun sebesar Rp5,23 triliun. 

"Tapi, dana itu tidak digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik," ujar koordinator divisi politik ICW, Donal Fariz melalui keterangan tertulis pada (9/4) lalu. 

Yang membuat publik jengkel di akhir masa kerjanya, tiba-tiba anggota DPR buru-buru mengesahkan beberapa UU, salah satunya Revisi UU mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut menyebabkan protes keras dari mahasiswa dan menyebabkan mereka turun ke jalan. Mereka menentang pemberlakuan UU tersebut. 

Lalu, kontroversi apa lagi yang pernah dibuat oleh DPR dalam kebijakannya selama lima tahun terakhir? Yuk simak!

1. Banyak anggota DPR RI diketahui sering absen dalam sidang paripurna

Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering BolosANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Salah satu hal yang sering kali disorot dari anggota DPR yakni mereka sering absen dari sidang rapat paripurna. Selain itu, kalau pun hadir, mereka sering tertangkap kamera sedang tak fokus. Entah, tertidur, mematut ke layar ponsel, bahkan ada yang tertangkap kamera membuka video asusila. 

Salah satu anggota DPR yang banyak absen terjadi pada 4 Juli 2019 lalu. Hari itu tengah digelar rapat paripurna yang membahas mengenai beberapa hal. Salah satunya, pembicaraan Tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU tentang pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Islam Iran tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. 

Wakil Ketua DPR ketika itu, Utut Adianto yang memimpin jalannya sidang mengatakan ada 220 anggota yang tak hadir dalam sidang ini. 

"Menurut catatan dari Sekretariat Jenderal DPR RI, daftar hadir telah ditandatangani 298 anggota dengan catatan 220 anggota izin (karena ada) tugas kedewanan lainnya. Dengan demikian, kuorum tercapai," ujar Utut.

Tidak bisa dipastikan apakah anggota DPR itu benar-benar melakukan tugas kedewanan yang lain, atau mereka sengaja membolos. 

Baca Juga: Peringati Hari Parlemen, 72 Anggota DPR Terjaring KPK Selama 2002-2019

2. Anggota DPR periode 2014-2019 sibuk memperjuangkan pembangunan apartemen dan gedung baru

Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering BolosM. Agung Rajasa/ANTARA FOTO

Kontroversi lain yang pernah dibuat oleh anggota DPR yakni ketika mereka mewacanakan agar dibangun apartemen di sekitar kompleks parlemen. Padahal, mereka sudah diberikan fasilitas rumah dinas di area Kalibata, Jakarta Selatan yang lokasinya juga tak jauh dari gedung DPR. 

Selain itu, ada pula wacana ingin merenovasi gedung DPR, karena kondisinya yang telah miring. Kepala Badan Urusan Rumah Tangga DPR, Anton Sihombing sebelumnya mengatakan DPR mengusulkan kenaikan anggaran sekitar Rp5,7 triliun. Kenaikan tersebut rencananya akan dipakai untuk menyediakan fasilitas eksklusif bagi para wakil rakyat, antara lain pembangunan apartemen untuk para anggota dewan. 

Alasan lain DPR adalah karena gedung tersebut sudah lama tak mengalami renovasi sehingga kondisinya miring. Namun, wacana itu ditolak oleh Ketua DPR periode saat itu, Setya Novanto. Ia beralasan pembangunan itu belum perlu dilakukan.

Kemudian, ada pula usulan anggaran Rp600 miliar untuk renovasi gedung DPR. Dalam APBN 2018, Sekretaris Jenderal DPR Ahmad Djuned mengatakan DPR mendapatkan alokasi anggaran untuk renovasi kawasan parlemen dengan jumlah Rp600 miliar. Rencana awal akan dimulai dengan melakukan perencanaan, manajemen konsultasi dan konstruksi. Selain itu, rancangan dan spesifikasi gedung baru DPR itu akan disesuaikan dengan standar bangunan lembaga negara lainnya.

Dengan adanya standar bangunan yang ideal, maka klaim anggota DPR, gedung tersebut akan mampu menyediakan ruangan untuk satu orang anggota DPR, lima tenaga ahli dan dua orang staf administrasi. Selain itu, ruangan tersebut juga akan didesain supaya cukup untuk menampung tamu-tamu anggota parlemen. 

Tetapi kebijakan ini mendapatkan sorotan dari mantan Ketua DPR, Marzuki Alie. Ia mengimbau kepada anggota DPR periode 2014 - 2019 untuk tidak memaksakan kehendak membangun gedung baru. Menurutnya daripada dipakai untuk membuat gedung baru, dana tersebut lebih baik dialokasikan untuk proyek pembangunan yang lebih bermanfaat, misalnya untuk pembangunan di sektor pendidikan. 

3. Anggota DPR periode 2014-2019 tak mampu memenuhi tenggat waktu mengesahkan UU sesuai dengan yang ada di dalam Prolegnas

Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering BolosSidang Paripurna revisi UU MD3 dan UU KPK (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

DPR RI periode 2014-2019, menetapkan 189 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan 31 RUU prolegnas kumulatif. Namun, RUU yang berhasil disahkan oleh DPR hanya 26 UU pada April 2019. Jumlah UU yang disahkan minim dari total target Polegnas. 

Hal lain yang menyebabkan publik geram yakni ketika anggota DPR merevisi UU MD3 pada tahun 2018. Di dalam hasil revisi UU No. 2 tahun 2018, terdapat sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan UUD 1945. Sejumlah pasal di dalam UU MD3 banyak yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi. 

Salah satu pasal yang digugat di antaranya pasal 73 yang menyebutkan dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, DPR berhak memanggil setiap orang. DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan personel kepolisian, bila pihak tersebut tidak memenuhi panggilan.

DPR ketika itu tengah membidik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang enggan hadir ketika dipanggil dalam pansus. Lima pimpinan komisi antirasuah menilai pembentukan pansus itu bertentangan dengan aturan yang ada. Dengan adanya revisi terhadap UU itu, maka mereka sempat berhak memanggil pimpinan KPK.

Namun pada 26 Juni 2018, MK membatalkan ketentuan pemanggilan paksa tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Tak hanya itu, Pasal 122 huruf I menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap individu, kelompok atau badan hukum yang dinilai telah merendahkan DPR dan anggotanya. Pasal ini jelas diprotes keras oleh publik. Bahkan, ada yang membawa protes itu ke dalam petisi change.org. 

4. Tingkat kepatuhan anggota DPR dalam pelaporan harta kekayaan rendah

Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering Bolos(Ilustrasi pengisian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) elhkpn.kpk.go.id

Hal lain yang membuat publik geram yakni anggota DPR justru rendah minatnya untuk melaporkan mengenai laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada KPK. Padahal, kewajiban itu tertuang dengan jelas di pasal 5 UU No. 28 tahun 1999 mengatur tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dikutip dari kantor berita Antara, sebanyak 207 anggota DPR RI
tercatat belum melaporkan LHKPN. Data itu diambil dari pada pelaporan tahun 2019 untuk harta kekayaan tahun 2018. 

Sedangkan di tingkat DPRD, tercatat ada 5.543 anggota DPRD yang belum melapor LHKPN. Malasnya anggota DPR dalam melaporkan harta kekayaan mereka, dinilai sebagai sikap yang tak patuh terhadap hukum. 

Tingkat kepatuhan anggota DPR RI pada pelaporan LHKPN sebanyak 62,7 persen. 2019. Lantaran kerap disorot, menimbulkan komentar dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Ia menilai kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan sebaiknya dihapus. 

Pelaporan LHKPN bukan sekedar pelaporan administratif tahunan, tetapi merupakan komitmen pada keterbukaan terhadap pengawasan KPK dan publik. Tujuannya, agar mencegah terjadinya korupsi. Sebagai anggota dewan yang terhormat, mereka seharusnya memberikan contoh kepada penyelenggara negara lain, untuk patuh terhadap pelaporan LHKPN.

5. Banyak anggota DPR periode 2014-2019 yang korup, bahkan hingga ke tingkat ketua dan wakil ketua

Rapor Merah Anggota DPR 2014-2019: Banyak Korupsi & Sering Bolos(Deretan anggota DPR jadi pasien KPK) IDN Times/Arief Rahmat

Salah satu catatan merah anggota DPR periode 2014-2019 yakni banyak dari mereka yang jadi 'pasien' KPK. ICW mencatat hingga saat ini sudah ada 22 anggota DPR yang menjadi tersangka kasus korupsi oleh komisi antirasuah. Tiga orang di antaranya bahkan menjadi tersangka di tahun pertama mereka menjabat, yaitu Ardiansyah (Fraksi PDIP), Patrice Rio Capella (Fraksi Nasdem), dan Dewi Yasin Limpo (Fraksi Hanura). 

Setya Novanto pada kala itu menjabat sebagai Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Golkar juga ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik. Taufik Kurniawan sebagai Wakil Ketua DPR pun ikut menjadi tersangka pada kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Berdasarkan hasil pantauan ICW ada 254 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka kasus korupsi dalam lima tahun terakhir. 

Baca Juga: Inilah Partai yang Kadernya Paling Banyak Diproses oleh KPK 

Topik:

Berita Terkini Lainnya