RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya 

PP Kebiri tidak berkeadilan bagi korban kekerasan seksual

Semarang, IDN Times - Suara-suara untuk mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terus digaungkan oleh masyarakat. Namun, justru pada 7 Desember 2020, Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 70 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

1. Kedudukan PP Kebiri lebih rendah dibandingkan jika RUU PKS disahkan menjadi undang-undang

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya medlines.org

Sejumlah pihak menilai RUU PKS lebih penting karena memiliki aturan hukum yang komprehensif. Sedangkan, PP Kebiri tidak signifikan menjawab persoalan kekerasan seksual saat ini. Pendapat itu mengalir dari pakar, profesi dan aktivis dalam webinar ‘Keadilan terhadap Korban Kekerasan Seksual, PP Kebiri ataukah RUU PKS?’ yang digelar Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS, Jumat (25/2/2021).

Pakar Hukum dan HAM, R Valentina Sagala SE SH MH mengatakan, PP Kebiri bukan solusi untuk mengatasi darurat kekerasan seksual di Indonesia. Bahkan, PP Kebiri ini juga ditentang oleh beberapa pihak termasuk Komnas Perempuan.

‘’Alasannya, secara hierarki kedudukan PP ini lebih rendah dibandingkan UU. Kemudian, PP Kebiri ini juga hanya mengatur kekerasan seksual terhadap anak. Berbeda dengan RUU PKS yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap siapapun, termasuk terhadap anak,’’ ungkapnya.

2. Hukuman kebiri kimia tidak melindungi korban kekerasan seksual

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya Ilustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut perempuan yang juga berprofesi sebagai advokat itu, dalam RUU PKS terkait pemidanaan juga diatur dengan jelas. Misalnya, pada bab VIII mengenai Ketentuan Pidana dan Pemidanaan RUU PKS, disebutkan beberapa jenis pidana yakni pidana pokok berupa pidana penjara, pidana denda, kerja sosial, ada juga pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dan pengampuan.

Selanjutnya, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan, pencabutan jabatan atau profesi dan pembayaran ganti rugi, restitusi dan kompensasi. Terakhir ada juga jenis pidana tindakan berupa rehabilitasi khusus.

"Tentu hukumannya beda dengan kebiri kimia yang sifatnya balas dendam dan tidak sepenuhnya melindungi korban," tutur Tim Ahli Pemerintah RI untuk DIM RUU PKS itu.
Senior Independent Expert on Legal, Human Rights, and Gender dan Pendiri Institut Perempuan ini juga menjelaskan, RUU PKS sangat komprehensif tidak hanya soal pemidanaan, tapi juga perlindungan, pemulihan korban, penindakan pelaku, dan pengawasan.

Baca Juga: 9 Film Terbaik Tentang Perjuangan Melawan Pelecehan Seksual

3. RUU PKS bisa memberantas kekerasan seksual dari hulu hingga hilir

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

‘’Sehingga, pemberantasan kekerasan seksual ini bisa dari hulu hingga hilir. RUU PKS juga menyajikan fakta di lapangan yang tidak hanya persetubuhan, tapi ada oral anal dengan paksa, eksploitasi, hingga ada pemberatan hukuman jika dilakukan secara online,’’ katanya.

RUU PKS yang dinilai sejalan dengan semangat pembangunan hukum nasional dan HAM ini lebih berkeadilan dan melindungi korban kekerasan seksual. Selain itu, juga tidak ada hukuman penyiksaan badan kepada pelaku.

Kondisi itu berbeda dengan hukuman pada PP Kebiri. Jika dilihat dari sisi medis, kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual pun ditentang.

4. Hukuman kebiri hanya menurunkan dorongan seksual untuk sementara waktu

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya ANTARAIRWANSYAH PUTRA

Dokter Umum dan Konsultasi Seksologi, Oka Negara mengatakan, hukuman kebiri berefek negatif sebab penyuntikan zat anti testosteron ini hanya menurunkan dorongan seksual untuk sementara waktu saja.

"Ketika pemberian anti testosteron dihentikan maka kadar hormon testosteron akan meningkat lagi levelnya dan pelaku akan memiliki dorongan seksual kembali. Selain itu, efek negatif tidak hanya terjadi pada fungsi seksual dari reproduksi saja melainkan penurunan kinerja dan metabolisme tubuh yang selama ini memang dibentuk dan dijaga oleh testosteron,’’ jelasnya.

Untuk diketahui, efek kebiri juga bisa menggerogoti fungsi organ misalnya otak yang kognitif, memori, pengecilan fungsi otot, osteoporosis, mengurangi jumlah sel darah merah, dan memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak dan kemudian meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

5. IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya ilustrasi tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/Fauzan

"Disamping itu, pengebirian juga menimbulkan kemungkinan pelaku menjadi lebih agresif, karena faktor psikologis dan sosial, perasaan negatif, seperti sakit hati, marah, dan dendam sudah terbentuk sejak pelaku merasakan viktimisasi pada dirinya," tutur Senior Team of Youth Sexual and Health Reproductive Information and Counseling Center BKBI Bali itu.

Bagi tenaga medis, hukuman kebiri ini juga masih menjadi kontra. Sebab, siapa yang akan menjadi eksekutor, karena ini bentuk hukuman, bukan pelayanan medis.

‘’Seandainya, dokter yang akan menjadi eksekutor tentu bertentangan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan. Dokter disumpah untuk membantu menyembuhkan bukan memberikan hukuman apalagi dengan efek negatif seperti itu. Adapun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun menolak menjadi eksekutor,’’ ujarnya.

Oka berpendapat, saat ini yang perlu diperjuangkan adalah edukasi kesehatan reproduksi dan seksual kepada masyarakat agar mereka paham tubuhku milikku bukan milik orang lain.

6. Kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun

RUU PKS Lebih Penting Daripada PP Kebiri, Ini Alasannya Ilustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

‘’Selain itu, kami juga mendorong agar RUU PKS segera disahkan karena isinya sangat lengkap dari berbagai perspektif, termasuk pelecehan seksual hingga perundungan. Tentu ini harus disahkan karena angka kekerasan seksual juga terus meningkat,’’ tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Pulih, Diah Indraswari mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2019 hingga 2020 jumlah kasus tertinggi kekerasan seksual yang didampingi Yayasan Pulih adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

‘’Sepanjang pandemik pun jumlah kasus KDRT yang kami tangani meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Maka itu, pencegahan pelecehan seksual cukup mendesak dengan disahkannya RUU PKS daripada pelaksanaan PP Kebiri,’’ katanya.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Daerah Sering Alami Kekerasan Seksual di Redaksi

Topik:

  • Bandot Arywono

Berita Terkini Lainnya