Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak Kalsel

Kesulitan dan keterbatasan tak jadi penghalang Parlihan

Jakarta, IDN Times - Sore itu, di sebuah rumah sederhana terlihat beberapa pemuda sedang berkumpul duduk melingkar dengan tenang. Mereka mengelilingi berbagai sajian persembahan dengan suasana hikmat dan sakral. Terlihat seseorang sedang membacakan mantra pada sajian tersebut.

Rumah tersebut adalah rumah seorang tokoh penting desa, Harun, salah satu Balian pada komunitas adat Dayak Pitap di Desa Ajung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Ternyata, saat itu sedang dilaksanakan tradisi Piduduk. Pemuda-pemuda tersebut adalah peserta "belajar" penuturan ajaran bagi Balian atau biasa disebut Balian muda.

Berdasarkan KBBI, Balian adalah orang yang memiliki kekuatan gaib atau semacam dukun dan dipercaya mengucapkan mantra pada upacara adat serta mengobati orang sakit.

Salah satu pemuda yang mengikuti tradisi Piduduk itu adalah Parlihan, yang merupakan anak bungsu Harun sekaligus peserta termuda dari "sekolah" Balian tersebut.

Baca Juga: Begini Potret Pendidikan Profesi Guru bagi Guru PAI di Kemenag 

1. Memajukan masyarakat Desa Ajung

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselIDN Times/Aji

Tradisi Piduduk adalah sebuah acara yang dilakukan setelah dilakukan pembelajaran Balian.

"Acara Piduduk dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ketika sudah menyelesaikan materi yang dipelajari," kata Parlihan, sambil memperlihatkan foto hasil dokumentasi saat acara tersebut berlangsung, seperti dikutip dari ANTARA, Selasa (5/10/2021).

Setiap momen adat atau kegiatan yang dilakukan masyarakat desanya, Parlihan selalu berusaha mengabadikan. Ini dilakukan bukan karena ia anak seorang Balian atau pun karena ia memiliki tingkat pendidikan formal paling tinggi di antara para peserta “sekolah” Balian.

Parlihan melakukan ini semua semata-mata karena ia peduli dengan kampung halaman dan adat budaya nenek moyangnya. Selain terkait masalah adat, dia juga sangat peduli dengan kemajuan masyarakat desanya.

2. Mendukung program pemerintah Keaksaraan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil/Khusus

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselDua orang guru sekolah dasar mengajar di rumah muridnya di Kelurahan Pesantren, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (15/9/2020). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Salah satu bukti usaha Parlihan majukan desanya adalah dengan mendukung program pemerintah saat Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan program Keaksaraan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil/Khusus pada 2020 di Komunitas Adat Dayak Pitap.

Parlihan pun menyambut dengan semangat. Sebelum program berjalan, ia bersama Yayasan Banua Cendikia menjadi pelaksana program untuk mensosialisasikan program pemerintah ke berbagai perangkat adat, desa, dan anggota masyarakat umum agar mendukung program kegiatan tersebut.

Parlihan bergabung menjadi salah satu tutor dari program tersebut dan kemudian memimpin tim untuk melakukan survei identifikasi warga buta aksara di Desa Ajung.

3. Perjuangan pelaksanaan program

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselArnila saat mengajar anak-anak Nelayan di pondok belajar (Dok. IDN Times)

Usaha menyukseskan program pemerintah tersebut, memang tidak mudah bagi Parlihan bersama timnya. Salah satu penyebabnya adalah tempat tinggal masyarakat Desa Ajung yang memiliki 176 kepala keluarga ini tersebar dengan jarak yang relatif berjauhan di wilayah dengan kontur yang berbukit-bukit.

"Kenapa kami orang-orang tua ini masih harus belajar membaca dan menulis?"  demikian pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat desa, yang menjadi tantangan sulit bagi Parlihan bersama timnya.

Parlihan pun dengan sabar berusaha menjelaskan keadaan masyarakat Desa Ajung.

"Dan kita harus menjelaskan pelan-pelan. Itu ditanyakan, karena kan kalau berhitung, semua orang di kampung pasti sudah pandai, biar tidak bisa baca-tulis tapi kalau berhitung semua pandai,” cerita Parlihan menggambarkan masyarakat desa yang ia temui.

Akhirnya, selama kurang lebih 1,5 bulan, usaha Parlihan dan tim untuk meyakinkan masyarakat hingga target 100 warga belajar dapat tercapai di tiga desa dan pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik.

4. Melewati terjal dan menanjak untuk mengajar

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselIlustrasi (IDN Times/Saifullah)

Dalam setahun terakhir ini, Parlihan mengajar setiap dua malam dalam sepekan. Usaha dia mengajar mengharuskan ia berkendara sekitar 30 menit melalui jalan tanah yang terjal dan menanjak, untuk mengajarkan membaca, menulis dan berhitung di wilayah Tempurau.

Namun, segala kesulitan dan keterbatasan yang harus dilalui Parlihan, tidak menyurutkan semangat dan kegigihannya untuk memperjuangkan masyarakat desa agar melek aksara.

"Meski materi yang diajarkan kadang-kadang lama pahamnya, tapi semangat warga untuk belajar membuat semangat saya juga tetap terjaga.” ucap Parlihan, tersenyum.

5. Terpilih sebagai Tokoh Adat Penggerak Literasi 2020

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselParlihan, Balian Muda Desa Ajung, Kabupaten Tabalong (ANTARA/HO-Humas YABN/Yudi Febrianda)

Bermodal semangat dan perjuangan untuk memajukan masyarakat desa, Parlihan akhirnya berhasil sebagai Balian Muda yang mendapatkan penghargaan bergengsi sebagai Tokoh Adat Penggerak Literasi 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbudristek).

Selain menjadi kebanggaan bagi masyarakat Desa Ajung, Parlihan juga menjadi kebanggaan bagi Kabupaten Balangan dan Kalimantan Selatan. Namun, hal ini tidak lantas membuat Parlihan besar kepala.

Parlihan tetap menjadi guru SD Kecil Libaru Sungkai Balangan yang rendah hati dan tak banyak bicara. Mata Parlihan akan berbinar dan tersenyum lebar saat ia menceritakan tentang pelestarian adat dan tradisi, pendidikan dan kemajuan masyarakat desanya.

Dia sangat terbuka dengan ide-ide untuk memajukan desanya, namun dalam pelaksanaannya, ia tetap menyesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masyarakat desa.

Sebagai contoh yaitu “Sekolah Balian" yang diselenggarakan ayahnya. Awalnya, pembelajaran hanya mengandalkan tuturan secara langsung. Untuk mengembangkannya, Parlihan mulai menuliskan beberapa materi pembelajaran yang diharapkan dengan adanya berkas materi ini akan menjadi pegangan belajar sekaligus sebagai arsip budaya masyarakat.

6. Merintis pembangunan Rungkuk Belajar

Kisah Guru SD Pemberantas Buta Aksara di Komunitas Dayak KalselIlustrasi siswa belajar (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Kini, Parlihan sedang berusaha membangun Rungkuk Belajar, sebuah pondok sederhana yang diharapkan akan menjadi pusat informasi dan belajar masyarakat desa.

Tempat tersebut dibangun di atas tanah pribadinya dengan bantuan dari PT. Adaro Indonesia. Begitu juga buku pembelajaran untuk anak-anak dan dewasa yang sebagian merupakan buku sumbangan.

Walau pun tempat tersebut sederhana dan terbatas, Parlihan berharap usahanya ini akan menjadi salah satu jalan menguatkan jati diri masyarakat dan kemajuan pendidikan anak-anak di Desa Ajung.

Selamat Hari Guru Sedunia, semoga banyak muncul sosok Parlihan di daerah terpencil lainnya di Tanah Air, agar tak ada lagi masyarakat yang buta aksara.

Baca Juga: Kisah Sukarti Digusur dari Kampung Akuarium hingga Kehilangan Keluarga

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya