Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa Tenggulun

Program deradikalisasi teroris dijalankan di sini

Lamongan, IDN Times – Minggu pagi, 13 Mei 2018, ruang redaksi media massa menyiapkan laporan khusus 20 tahun Tragedi Kerusuhan 13-14 Mei 1998. Agenda berubah total pagi itu, ketika masuk informasi menyedihkan, sebuah tragedi terjadi di Surabaya. Sejarah panjang aksi teror yang mengepung Indonesia sejak Bom Bali, memasuki babak baru. “Macan saja gak begini, anaknya disenggol binatang lain pasti terusik. Ini gak, anak kecil yang belum dewasa diajak bom bunuh diri,” kata Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Machfud Arifin, ketika ditemui IDN Times di ruang kerjanya, Senin, 21 Mei 2018. Machfud merujuk kepada kejadian sepekan sebelumnya.

Surabaya yang tenang tiba-tiba digegerkan dengan rentetan bom pada Minggu pagi 13 Mei 2018. Aksi teror yang didalangi Dita Oepriarto dan keluarganya membuat tiga gereja di Kota Pahlawan luluh lantak. Sebanyak 12 orang meregang nyawa, termasuk anak kecil dan perempuan. Belum hilang duka bom gereja, ledakan kembali terjadi di sebuah kamar Rusunawa Sidoarjo, malam harinya. Anton Ferdiantono, sang pemilik bom dan istrinya Puspita Sari (Istri) serta anaknya HAR tewas dalam kejadian ini.

Baca juga: [WAWANCARA KHUSUS] Kapolda Jatim: Macan Saja Tak Mengajak Anaknya Bunuh Diri

Aksi teror ternyata tidak berhenti dengan tewasnya dua keluarga. Justru para teroris makin nekat. Kali ini, keluarga Tri Murtiono yang mengambil kendalinya. Dia bersama sang istri, Tri Ernawati, serta ketiga anaknya MDS, MDA dan AA meledakkan bom di Markas Kepolisian Resort Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya, Senin (14/5). Kecuali AA, satu keluarga tersebut tewas di tempat.

Belakangan diketahui, semua bomber merupakan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan kroni dari ISIS. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror pun bergerak menyisir sel-sel jaringan teroris.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian menyatakan, sampai kini lebih dari 200 terduga teroris ditangkap. Polisi mengembangkan penyelidikan sel-sel JAD ke seluruh pelosok tanah air. Proses hukum lewat pengadilan digelar, untuk menyatakan JAD sebagai organisasi terlarang.

Baca juga: Mewakili Persidangan Pertama Pembubaran JAD, Siapa Zainal Anshori?

Mengapa Jawa Timur? Mengapa Surabaya?

Rangkaian aksi teror dengan pelaku satu keluarga tentu kembali mengingatkan publik pada kejadian bom Bali 16 tahun lalu. Peristiwa itu memunculkan trio bomber bersaudara asal Desa Tenggulun, Lamongan. Dari desa yang terletak 70 kilometer sebelah barat Surabaya inilah nama Amrozi, dan dua saudaranya, Ali Ghufron dan Ali Imron mendunia. Ulah mereka membuat 202 orang kehilangan nyawa. Sebagian adalah warga asing yang menjadikan Bali sebagai surga liburan mereka.

Amrozi dan Ali Ghufron kemudian dieksekusi mati pada 2008 lalu. Sementara Ali Imron masih mendekam di Lapas Kerobokan Bali untuk menjalani pidana seumur hidup. Sejak saat itu, cap sebagai desa penghasil teroris pun melekat pada Tenggulun. Desa Tenggulun pun memanas. Kelompok pendukung Amrozi sempat menyiratkan aksi balas dendam. Sebaliknya, warga Tenggulun mulai risih dengan sebutan desa teroris. Tak ada yang bisa dinikmati dari label desa teroris. Warga di sana seakan terisolasi. Bahkan, mereka yang sebelumnya mengandalkan penghasilan menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pun terimbas. Banyak negara tujuan yang menolak mentah-mentah warga ber-KTP Tenggulun.

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunIDN Times/Sukma Shakti

Hal itulah, disebut Kepala Desa Tenggulun, Abu Sholeh yang menjadi titik kemarahan warga kepada keluarga Amrozi. Bahkan, mereka sempat berencana menggeruduk Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islam yang didirikan oleh kakak Kandung Amrozi, Mohammad Chozin. Ponpes ini disinyalir kuat melakukan pengajaran radikalisme dam terorisme. "Alhamdulillah bisa dihentikan setelah diredam oleh ulama," ujarnya kepada IDN Times, Selasa (2/7/2018).

Meski begitu, ia menuturkan bahwa warga Tenggulun sebenarnya tidak sekali pun mengucilkan keluarga Amrozi. Mereka hanya marah lantaran tidak bisa mengurus paspor. "Jalan tengahnya, warga sini membuat kependudukan sementara dengan ikut daerah lain agar bisa tetap jadi TKI," kata Abu.

Tak sekadar mengurus paspor, ada pekerjaan rumah lebih besar yang harus dilakukan oleh warga Tenggulun: mengubah citra. Dibantu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mereka pun berusaha keras membalik pemahaman tentang desa tersebut. “Anak-anak mantan teroris jangan dimarjinalkan. Keluarga mereka harus kita upayakan bisa melanjutkan hidup dengan baik. Program deradikalisasi ini proses yang harus melibatkan semua pihak, tidak hanya BNPT dan kepolisian,” ujar Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, kepada IDN Times.

Mengubah persepsi Abu tak semudah membalik telapak tangan. Butuh setidaknya satu dekade untuk mengubah pandangan negatif terhadap desanya. Beruntung, ada kesadaran dari pengelola Ponpes Al-Islam. "Kami sangat tertolong dengan berbenahnya Al-Islam," ungkap Abu. Kini, perlahan desa yang terletak sekitar 42 kilometer dari pusat Kabupaten Lamongan itu pun lebih dikenal sebagai tempat deradikalisasi.

Tim IDN Times meliput ke Desa Tenggulun, melihat dari dekat perkembangan yang terjadi di desa yang kini menjadi tempat percontohan program deradikalisasi yang dilakukan BNPT. Tamu asing datang dan pergi untuk menengok desa yang kini menghijau karena tanaman pertanian.

Baca juga: Banyak Warganya Ikut ISIS, Menlu Belanda Sambangi Lamongan

1. Perubahan paham pesantren jadi salah satu kunci penting

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunMasjid Baitul Muttaqim menjadi pusat pembelajaran agama di Desa Tenggulun. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Perubahan citra desa Tenggulun memang tak bisa dilepaskan dari pergeseran paham yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al Islam. Pendiri Ponpes sekaligus kakak kandung Amrozi, Mohammad Chozin mengakui bahwa Ponpes yang didirikannya pada tahun 1992 lalu memang sempat berhaluan radikal. "Dulunya di sini memang pengajaran mengarah pada gerakan yang seperti itu," kata Chozin. Bahkan, bendera merah putih, budaya 17 Agustusan, serta kegiatan berkaitan dengan NKRI tidak bisa masuk di Ponpes Al Islam.

Semua berubah drastis ketika dua adik Chozin, Amrozi dan Ali Ghufron terlibat dalam bom Bali dan dieksekusi mati. Kurikulum yang tadinya berhaluan radikal kini berubah menjadi hafalan Al Quran. "Sehingga sekarang bisa menerima adanya peringatan kemerdekaan, upacara hingga pengibaran bendera merah putih, ini sejalan dengan pemerintahan," ujar Chozin.

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunChozin, kakak dari tiga bersaudara pelaku bom Bali I. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Berdasarkan pantauan IDN Times, pesantren tersebut kini memang layaknya pondok pada umumnya. Tak ada lagi simbol-simbol radikalisme di sana. Dua bangunan utama dan satu musala di tempat itu kini menjadi pusat hafalan Quran.

Adapun santri yang menimba ilmu di tempat tersebut merupakan pelajar SMP hingga SMA. Jumlahnya tak banyak, hanya berkisar 100-an santri. Uniknya mayoritas santri justru berasal dari luar Tenggulun.

2. Pendekatan ala Yayasan Lingkar Perdamaian menjadi metode baru deradikalisasi

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunYasayan Lingkar Perdamaian saat menjadi percontohan deradikalisasi di Indonesia. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Selain kurikulum pendidikan pesantren yang diubah, upaya deradikalisasi juga berjalan dari para mantan pelaku teror itu sendiri. Adalah Ali Fauzi dan Sumarno yang memilih kembali ke "jalur perdamaian". Mereka mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang mengatasi permasalahan para napi terorisme yang baru keluar dari penjara. Ali yang juga merupakan adik Amrozi sendiri adalah mantan pelaku teror di Filipina. Sedangkan Sumarno terlibat dalam kasus bom Bali I.

"Saya dengan para alumni berkumpul diskusi apa yang bisa berkontrubsi untuk negeri ini. Kami ambil nama lingkar perdamaian sebagai nama komunitas, karena dulu kita lama di lingkar konflik, ingin mengubah itu. Harapan saya mudahan banyak mantan napiter dan mantan kombatan bisa mengubah mindset-nya," kata Ali. Secara legalitas, lanjut Ali, YLP berdiri resmi pada 2016 lalu. Namun, secara kinerja sudah dimulai pada 2012.

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunPengalaman pahit membuat Ali Fauzi (kanan) sadar bahwa tak semua bisa diatasi dengan kekerasan. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Tak hanya itu, alasan Ali mendirikan YLP dan kemudian berkecimpung dalam upaya deradikalisasi adalah karena ia pernah merasa ditolong polisi. Mulanya, dia mendapat doktrin untuk membenci polisi. Bahkan, sebutan setan lumrah diberikan kepada mereka. "Suatu peristiwa saya dipulangkan dari Filipina. Saya ditangani Satgas Mabes Polri. Waktu itu saya muntah darah, saya dibawa ke rumah sakit. Saya diobati di sana sekitar satu bulan."

Dari penanganan itulah Ali tersadar, ternyata paham yang diyakininya selama ini tidak semua benar. Menurutnya, polisi saat itu bisa saja berlaku kasar terhadapnya. Tapi hal itu justru tak mereka lakukan sebab akan berbuah dendam menahun. "Saya kemudian kuliah lagi dan berkesempatan ketemu keluarga korban bom. Dari sana saya sadar bahwa tindakan pemboman tidak perlu dilakukan," tegasnya.

3. Tak hanya sadar, mereka juga menjadi media deradikalisasi bagi napi lain

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunPara mantan napi terorisme saat menghadiri acara kunjungan Menteri Luar Negeri Belanda, Abraham Blok. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Apa yang dialami oleh Ali, diaplikasikan betul dalam YLP. Penanganan terhadap para mantan napi terorisme jauh dari kata kekerasan. "Kebanyakan mereka kan minim skill, kami menawarkan lapangan pekerjaan untuk mereka," kata Direktur Pemberdayaan dan Pendampingan YLP, Muhammad Inam Amin. "Kami juga sering berkunjung ke LP, beri sesuatu buka puasa bareng, main futsal bareng. Intinya satu, mereka butuh perhatian dan penghargaan. Kami tidak sekadar mengajak, tapi juga action," tutur Inam.

Penanganan seperti ini, kata dia, bisa meminimalisir keinginan mereka untuk berbuat radikal. Bahkan, kata Inam, tak sedikit dari mereka yang mampu menyadarkan mantan napi lain. Selain memberi bimbingan kepada mantan napi terorisme, YLP juga menyediakan Tempat Pendidikan Quran (TPQ) yang berada tepat di sebelah Barat Masjid Baitul Muttaqim. Kecuali hari Jumat, belasan anak mengikuti berbagai kegiatan tiap pukul 15.30-16.30 WIB. Aktivitas itu pun diikuti anak mantan napi terorisme.

Sayangnya, yayasan ini belum mendapat sokongan penuh dari pemerintah pusat. Sumarno yang juga menjabat sebagai bendahara menyebut dana yang masuk kebanyakan dari pengusaha swasta. Tiap ada acara untuk para napi terorisme, dia bersama anggota YLP harus bersusah payah mencari sponsor.

4. Dicap kafir sampai murtad lantaran memilih jalan damai

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunAli Fauzi kini sering mengisi seminar-seminar tentang deradikalisasi. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Jalan panjang yang ditempuh Ali dengan mendirikan YLP diklaim berbuah hasil positif. Banyak mantan napi teroris yang mau memilih jalur damai. Bahkan, dalam beberapa kegiatan, mereka menggandeng kepolisian yang sebelumnya dianggap lawan."Kami menciptakan inovasi baru. Mereka yang ingin kembali pada kehidupan normal tidak harus lewat jalur polisi (pidana)," ujar Ali.

Sayang, upaya Ali dan Sumarno harus dibayar dengan berbagai cemoohan dan ancaman dari rekan mereka yang masih memilih di jalan radikal. "Banyak yang tidak setuju dengan kita. Mengkafirkan kami, menjustifikasi kami tidak istiqomah lagi," ungkap Sumarno.

Hal yang sama diungkapkan Ali Fauzi. Kecaman banyak muncul seiring makin seringnya dia menjadi narasumber media dan televisi. "Ada yang katakan murtad juga seperti ini," ujarnya sembari menunjukkan beberapa pesan yang masuk di akun media sosialnya.

5. Bom Surabaya bukan tolak ukur gagalnya deradikalisasi

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunPuing-puing berserakan pasca ledakan di Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya. (IDN Times/Faiz Nashrillah)

Di tengah upaya keras deradikalisasi yang dilakukan, Ali menyayangkan masih banyaknya aksi teror yang melanda tanah air. Terbaru tentu saja deretan bom yang terjadi di Surabaya.

Namun, dia tak sepakat jika peristiwa tersebut menjadi indikator gagalnya program deradikalisasi. Daripada sebuah kegagalan, ia lebih suka menyebutnya sebaga fenomena baru kasus terorisme. Pasalnya, para bomber mengajak serta keluarga, termasuk anak istrinya.

"Keluarga itu melakukan radikalisasi sejak dini. Seorang ayah dan ibu merangkul anaknya untuk mengajak dalam perspektif masuk surga tentunya tidak dengan waktu pendek, ini long

time. Mereka berbeda jaringan dengan Jamaah Islamiyah (JI) yang ada tahun 2000-2010. Sejak kurun 2010-2018, teror seperti ini berasal dari Jamaah Ansalut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS," ungkap Ali.

6. Deradikalisasi perlu dilakukan secara terintegrasi

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunIDN Times/Sukma Shakti

Senada, Sumarno menyampaikan bahwa terlalu dini menilai hasil deradikalisasi hanya dari peristiwa teror di Surabaya. Dia yakin, lambat laun program ini bisa optimal dengan catatan, melibatkan seluruh elemen. Jika tak dilakukan secara simultan, potensi radikalisasi akan cepat tumbuh.

"Kami sudah mewanti-wanti kepada pemerintah. Di Jawa Timur misalnya, satu angkatan saya ada 190 orang. Mereka bisa membuat bom, bisa mengoperasikan senjata. Harus ada sinergitas. Saya katakan tidak sepenuhnya gagal, sudah berhasil namun belum sempurna," ujarnya.

7. Menlu Belanda jauh-jauh 'sinau' ke Tenggulun

Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa TenggulunKepala BNPT Suhardi Alius saat menerima Menlu Belanda, Abraham Blok di Tenggulun. (IDN Times/Radiktya Yuwono)

Meski masih mendapat tentangan dari para sesama mantan napi terorisme, namun YLP kini telah menjadi salah satu organisasi yang mampu menawarkan solusi baru dalam upaya deradikaliasi. Tak hanya di Indonesia, YLP juga diklaim menjadi organiasasi deradikalisasi pertama di dunia yang mau membina mantan napi terorisme dan kombatan.

Bahkan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda, Stefanus Abraham Blok yang pada awal Juli lalu berkunjung, memuji Tenggulun dan YLP. Ia bahkan menganggap YLP mampu menjadi percontohan deradikalisasi dunia. Secara terang-terangan dia mengatakan bahwa Belanda perlu meniru upaya yang dilakukan YLP.

Terlebih, mereka saat ini dilanda kekhawatiran lantaran jumlah warganya yang bergabung bersama ISIS kian meningkat. "Tentunya, saat mereka kembali langsung kami hukum, tapi kami ingin mereka hidup lagi. Karena itu apa yang telah dicapai ustadz Ali dengan sekolah dan yayasan ini sangat luar biasa," ujarnya saat konferensi pers.

Adapun Bupati Lamongan, Fadeli mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan akan memberikan dukungan penuh kepada YLP. Menurutnya yayasan yang masih seumur jagung ini sudah mendunia, jadi perlu sokongan berbagai pihak. "Terbukti, Menteri Luar Negeri Belanda (Stefanus Abraham Blok) sinau, atau belajar dari kita. Banyak napiter yang bisa kembali, itu menjadi poin yang menarik bagi mereka."

Mendirikan yayasan adalah sebuah upaya menepis stigma, menciptakan masa depan bagi para mantan napiter dan keluarganya. Keadilan bagi mereka tidak serta merta datang. Membangun kepercayaan kadang bagaikan mendaki gunung terjal. Sulit.

Siapkah kita mendukung perjuangan mereka?

Baca Juga: Putra Amrozi: Tak Mudah Menjadi Anak Napi Terorisme

https://www.youtube.com/embed/LHQRUPCemnY

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya