Siswi SMA di Mojokerto Lumpuh Usai Ekskul, Sekolah Kecolongan?

Kementerian PPPA mengaku prihatin dan akan bertindak.

Surabaya, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merespons kejadian kekerasan di dunia pendidikan. Baru-baru ini terjadi peristiwa kekerasan fisik terhadap Mas Hanum Dwi Aprilia (17), siswi kelas XI SMAN 1 Gondang, Kabupaten Mojokerto hingga mengalami kelumpuhan.

Diketahui, Hanum mengalami gangguan fungsi gerak pada kedua kakinya yang diduga kondisi itu dialami setelah mendapat hukuman fisik berupa squat jump saat mengikuti kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) di sekolahnya, Jumat (13/7) lalu.

Diduga karena terlambat hadir sesuai jadwal, Hanum harus menjalani sanksi hukuman dari kakak kelasnya dalam ekskul tersebut.

Seperti apa tanggapan Kementerian PPPA atas kasus ini?

1. Kementerian PPPA sebut pihak sekolah kecolongan

Siswi SMA di Mojokerto Lumpuh Usai Ekskul, Sekolah Kecolongan?IDN Times/Sukma Shakti

Plt Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Sri Danti Anwar mengatakan pihaknya sangat prihatin atas peristiwa tersebut. Dia menyebut guru kurang mengawasi aktivitas siswanya sehingga kecolongan.

"Kami punya Dinas PPPA kalau di daerah, bisa koordinasi tentunya. Kita akan melakukan pendampingan terhadap anak tersebut," ujarnya, Minggu (22/7).

2. Masalah kekerasan anak disebut layaknya fenomena gunung es

Siswi SMA di Mojokerto Lumpuh Usai Ekskul, Sekolah Kecolongan?IDN Times/Sukma Shakti

Sri Danti juga menyebut bahwa masalah kekerasan terhadap anak layaknya fenomena gunung es. Maka dari itu, pihaknya mengajak semua untuk fokus ke pencegahan, edukasi, sosialisasi dan peringatan apa saja yang melanggar HAM.

"Harus kita tanamkan bahwa anak jadi tanggung jawab negara;" tegasnya.

3. Kekerasan fisik di dunia pendidikan semakin tinggi

Siswi SMA di Mojokerto Lumpuh Usai Ekskul, Sekolah Kecolongan?Loop.co.id

Berdasarkan data KPAI jumlah kasus kekerasan fisik di pendidikan paling tinggi, data bidang pendidikan KPAI per Mei 2018 ada 161 kasus. Adapun rinciannya adalah anak korban tawuran sebanyak 23 (14,3 %) kasus, anak pelaku tawuran sebanyak 31 (19,3 %) kasus, anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 (22,4 %) kasus, anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 (25,5%) kasus, dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 (18,7%) kasus.

Wah, sangat memprihatinkan. Bagaimana tanggapan kamu atas kasus kekerasan ini?

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya