Banjir dan Longsor di Manado, WALHI Sulut Kritik Pola Pembangunan

Pemerintah Kota Manado dinilai tidak serius mencegah bencana

Makassar, IDN Times - Banjir dan tanah longsor melanda Kota Manado, Sulawesi Utara. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulut memberi catatan kritis penyebab bencana yang telah mengakibatkan 9 kecamatan terdampak dan enam orang meninggal dunia ini.

Menurut Direktur Eksekutif WALHI Sulut, Theo Runtuwene, banjir yang berdampak di 33 kelurahan itu terjadi akibat buruknya pola pembangunan di Kota Manado.

Theo mengatakan bahwa hujan deras memang tak berhenti mengguyur Kota Manado selama 2 hari. Bukan di Manado saja, daerah sekitar seperti Tondano dan Tomohon juga diguyur hujan deras yang berujung pada banjir.

"Tetapi selama kurang lebih 4 tahun ini, yang selalu kami ingatkan ke pemerintah soal bagaimana daya dampung dan daya dukung lingkungan yang ada di Kota Manado. Kalau itu beres, barulah kita bicara soal substansial penanganan banjir dan tanah longsor," ujar Theo kepada IDN Times melalui sambungan telepon, Minggu (17/1/2021).

1. Pemerintah dinilai abai menyelesaikan masalah banjir

Banjir dan Longsor di Manado, WALHI Sulut Kritik Pola PembangunanTim BPBD Manado, Basarnas Manado dan sejumlah relawan melakukan evakuasi korban tanah longsor menggunakan ekskavator di Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (16/1/2021) malam. (Dok. BPBD Kota Manado)

Theo menyebutkan bahwa pencegahan banjir di Kota Manado juga harus melibatkan kabupaten/kota lainnya seperti Tomohon dan Tondano. Sebab DAS Tondano mengalir dari Danau Tondano melewati Kota Tomohon juga sehingga nantinya ada sinergi antara beberapa daerah terkait dengan proses mitigasi banjir di ibu kota Sulawesi Utara.

"Karena kalau itu tidak ditangani dalam waktu 5 - 10 tahun ke depan, itu luar biasa menakutkan Manado nantinya. Kalau misalnya kita melihat lagi sejarah pada 15 Januari 2014 kemarin, itu luar biasa banjir bandang. Air menutupi kurang lebih 75 persen kota," katanya.

Sebagai informasi, banjir bandang dan tanah longsor pernah melanda Kota Manado pada 15 Januari 2014 silam. Saat itu, bukan hanya Manado saja, tapi sejumlah daerah lain di sekitarnya juga terkena dampak. 

Pemerintah Kota Manado, kata Theo, tidak pernah mengundang WALHI untuk bicara soal bagaimana solusi pencegahan banjir. Selain itu, WALHI juga menilai pemerintah baik pemprov maupun pemkot tidak serius melakuan langkah pencegahan banjir dan longsor.

Menurut Theo, pemerintah hanya memikirkan ekonomi dan penambahan devisa saja. Jika sudah berbicara mengenai itu maka hal lain dikesampingkan. Seperti jika terjadi bencana seperti saat ini, barulah pemerintah akan berbicara mengenai lingkungan dan penanganannya.

"Itu konyol namanya. Di sini, kami ingin mengkritik pemerintah karena selalu abai untuk menyelesaikan masalah banjir yang ada di Kota Manado," kata Theo.

2. Penanganan bencana yang ada tidak menyelesaikan masalah

Banjir dan Longsor di Manado, WALHI Sulut Kritik Pola PembangunanBanjir merendam kawasan pemukiman warga di Kota Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (16/1/2021). (Dok. BPBD Kota Manado)

Menurut Theo, masalah longsor sebenarnya sederhana. Pemerintah hanya perlu mencari dataran-dataran tinggi mana yang berpotensi mengalami longsor. Setelah itu, pemerintah bisa mewacanakan untuk relokasi.

Apapun alasannya, lanjutnya, konsekuensi hukum yang akan diterapkan ke masyarakat adalah pindah karena kalau tidak nyawa mereka terancam. Pemerintah menurutnya harus memakai tangan besi untuk memimpin rakyat demi kepentingan rakyat itu sendiri.

"Tangan besi dalam artian bukan zalim ya, tapi lebih kepada tegas," katanya.

Menurut Theo, Pemkot Manado saat ini tidak lagi memikirkan daerah-daerah resapan air yang ada di sana. Padahal ini penting karena Kota Manado terletak di lembah yang dikelilingi pegunungan.

Hal-hal seperti itulah yang harus dipikirkan untuk meminimalisir terjadinya bencana. Tapi sayangnya, nilai Theo, pemerintah tidak punya keseriusan. Menurutnya, pemangku kebijakan hanya memikirkan banjir dan longsor sebagai masalah tahunan dan skala-skala untuk menyelesaikannya sudah mereka copy paste setiap tahun.

"Misalnya ada penanganan, bantuan sosial, kirim perahu karet, tim penyelamatan dan sebagainya. Itu kan sama, tidak menyelesaikan masalah," kata Theo.

Baca Juga: Longsor di Manado Sulawesi Utara, Satu Keluarga Tewas Tertimbun Tanah

3. Pola pembangunan di Manado tidak tertata baik sejak dulu

Banjir dan Longsor di Manado, WALHI Sulut Kritik Pola PembangunanIlustrasi pembangunan (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Untuk itu, kata Theo, persoalan banjir dan longsor di Manado harus diselesaikan dari hulu. Hal utama yang harus dipertanyakan adalah apakah daya tampung dan daya dukung lingkungan Kota Manado ini masih memungkinkan untuk penambahan reklamasi Manado Utara mengingat debit air dari DAS Tondano tidak mampu lagi masuk ke laut. 

"Karena volume air sudah tidak bisa lagi. Kebetulan volume air dari DAS Tondano tidak bisa lagi masuk sehingga meleber ke selokan-selokan, itu banjir semua," katanya.

Theo menyebut pemicu banjir dan longsor memang murni karena faktor alam. Hanya saja, pemerintah tidak memiliki persiapan menghadapinya. Hal itu diperparah dengan pola-pola pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

"Pola pembangunan yang ada di Kota Manado ini sejak dulu tidak tertata dengan baik. Baik analisis dampak lingkungan, sembarang saja membangun. Saat inilah dampak yang dirasakan," katanya.

Baca Juga: Banjir dan Longsor Manado, 33 Kelurahan Terdampak, 6 Orang Meninggal

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya