Istana: PP Nomor 41 Tahun 2020 Tidak Mengurangi Independensi KPK 

Sama sekali tidak ada niat Pemerintah untuk melemahkan KPK

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko 'Jokowi' Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Purwono mengatakan, PP ini merupakan prakarsa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

"PP ini tidak akan mengurangi sifat independen KPK, sebagaimana Pasal 3 UU KPK yang menyatakan KPK tetap independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sama sekali tidak ada niat pemerintah untuk melemahkan KPK dalam hal ini, sebaliknya ini adalah bagian dari memperkuat institusi pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Dini dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/8/2020).

Baca Juga: Pegawai KPK Jadi ASN, ICW: Penanganan Perkara Korupsi Akan Terganggu

1. Penghasilan pegawai KPK setelah jadi ASN tidak akan turun

Istana: PP Nomor 41 Tahun 2020 Tidak Mengurangi Independensi KPK Staf Khusus Presiden RI, Dini Purwono (Twitter/@dini_purwono)

Selain itu, PP tersebut merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang (UU) KPK Pasal 1 ayat 6, Pasal 69B dan Pasal 69C, yang pada intinya mengatur bahwa pegawai KPK adalah ASN.

Dini menjelaskan, pegawai KPK belum berstatus sebagai ASN, maka dalam jangka waktu paling lambat 2 tahun sejak revisi kedua UU KPK yang diundangkan tanggal 17 Oktober 2019, pegawai KPK tersebut dapat diangkat sebagai ASN sepanjang memenuhi syarat. PP ini, kata Dini, diterbitkan dengan tujuan tertib administrasi negara.

"Pengangkatan dilakukan setelah struktur organisasi dan tata kerja KPK yang baru ditetapkan. Penghasilan pegawai KPK yang telah beralih menjadi pegawai ASN tidak akan mengalami penurunan," ucapnya.

2. Wakil Ketua KPK soroti sistem penggajian pegawai KPK jika jadi ASN

Istana: PP Nomor 41 Tahun 2020 Tidak Mengurangi Independensi KPK (Eks Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif) IDN Times/Santi Dewi

Mantan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyoroti perubahan sistem penggajian untuk pegawai KPK. Perubahan sistem itu tertuang dalam PP Nomor 41 Tahun 2020, tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Di situ dikatakan bahwa gaji KPK itu ada tiga komponen, satu gaji, dua tunjangan, dan tunjangan khusus. Dari dulu sejak KPK ada, itu sudah menyoroti pentingnya single salary system," katanya dalam diskusi virtual bertajuk Proyek Masa Depan Pemberantasan Korupsi, Senin.

Sementara dalam Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 41 Tahun 2020 dijelaskan, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah menjadi pegawai ASN diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 9 ayat (2) menyatakan, dalam hal terjadi penurunan penghasilan, kepada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi selain gaji dan tunjangan, juga dapat diberikan tunjangan khusus yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Menurut Laode, single salary system penting dilakukan agar pemberian gaji itu mudah dikontrol. Bahkan, usulan single salary system itu sudah digaungkan sejak 2010.

"Jadi bukannya mengikuti sistem penggajian yang sudah benar yang seperti KPK, malah yang sudah bagus itu diubah menjadi sistem penggajian yang bermasalah," kritik Laode.

3. Proses perubahan UU KPK tidak melibatkan publik

Istana: PP Nomor 41 Tahun 2020 Tidak Mengurangi Independensi KPK Poin-poin melemahkan di dalam UU baru KPK (IDN Times/Arief Rahmat)

Proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan salah satu konsekuensi berubahnya Undang-Undang (UU) KPK dari Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Nomor 19 Tahun 2019.

Laode mengatakan, proses perubahan UU KPK itu dinilai berjalan sangat berbeda dengan proses revisi perundang-undangan, yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Mengapa demikian? Karena satu prosesnya tidak melibatkan publik. Bahkan naskah akademiknya tidak ada," ujarnya.

"Tapi yang paling krusial dan saya pikir ini adalah sejarah yang pertama di Indonesia, bahwa instansi yang menjalankan undang-undang itu tidak dimintai pendapat sama sekali," sambungnya.

Selain itu, KPK tidak mendapatkan surat resmi tentang pembahasan revisi undang-undang tersebut. KPK, kata Laode, hanya mendengar informasi dari media, pernyataan anggota DPR, dan pernyataan presiden.

"Presiden mengeluarkan pernyataan, ini adalah poin saya yang kedua, yang mengatakan bahwa perubahan undang-undang KPK tidak akan melemahkan tapi akan memperkuat KPK. Tetapi setelah kita lihat, ya memang melemahkan," kata Laode.

4. Jika ingin kuat, staf lembaga anti korupsi harus independen

Istana: PP Nomor 41 Tahun 2020 Tidak Mengurangi Independensi KPK Pegawai KPK Jalani Test Swab (Dok. IDN Times/Humas KPK)

Laode menjelaskan, menurut Jakarta Principles dan United Nations Convention Against Corruption, salah satu ciri utama lembaga antikorupsi supaya kuat adalah stafnya harus independen.

"Tetapi kenyataannya, di dalam undang-undang itu ditarik ke dalam eksekutif dan setelah ditarik dalam eksekutif, semua anggota KPK adalah pegawai negeri sipil, aparatur sipil negara," jelasnya.

Kemudian, terkait Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Laode sebenarnya tak mempermasalahkannya. Akan tetapi, akan jadi masalah jika Dewas bukan menjadi pengawas. Melainkan, menjadi bagian dari eksekutif dari KPK itu sendiri.

"Jadi sebenarnya dia bukan pengawas, tetapi dia adalah merupakan mengawas dan sekaligus menjadi bagian dari organ KPK, dan ini adalah bertentangan sekali dengan konsep pengawasan yang ada di dunia ini, bukan cuma di Indonesia," tuturnya.

"Anggap saja penyadapan terus tiba-tiba Dewas tidak memberikan persetujuan. Terus yang awasi siapa? Karena dia ikut terlibat dalam situ. Jadi katanya mau bikin pengawas, tapi kelihatannya itu sengaja disetting agar penangkapan aktor koruptor itu menjadi dipersulit," kata Laode lagi.

Baca Juga: Pegawai KPK Jadi ASN, Sistem Penggajiannya Disebut Akan Bermasalah

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya