Mayoritas Paslon di Pilkada Dibiayai Sponsor, Firli Ingatkan 4 Hal Ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan sejumlah hal yang membuat orang terjerat dalam praktik korupsi. Hal itu dia ungkapkan dalam webinar nasional bertema Pilkada Berintegritas 2020, yang disiarkan melalui Youtube KPK.
"Orang melakukan korupsi karena serakah. Orang melakukan korupsi karena kebutuhan dan orang melakukan korupsi karena ancaman hukumannya, bahkan vonisnya rendah," kata Firli, Selasa (20/10/2020).
Baca Juga: Mahfud MD: Pilkada Langsung atau Tidak, Sama-sama ada Politik Uang
1. Korupsi bisa dicegah melalui perbaikan sistem
Firli menjelaskan, korupsi juga terjadi karena sistem yang tidak benar. Dia pun meminta calon kepala daerah yang nantinya terpilih, melihat kembali apakah sistem di daerahnya sudah baik.
"Karena sesungguhnya untuk mencegah korupsi bisa dilakukan dengan cara perbaikan sistem. Karena corruption of failed system, bad system, weak system," ucapnya.
"Silakan, nanti kepala daerah yang sekarang masih calon dilihat-lihat, kira-kira sistem pemerintahan mana yang lemah, yang mana yang buruk, yang mana yang gagal. Mulai sekarang, dilakukan koreksi," sambung Firli.
2. Korupsi banyak terungkap saat tahun politik
Firli mengatakan, kasus-kasus korupsi justru paling banyak terungkap saat tahun politik. Dia mencontohkan, pada Pilkada 2018, ada 30 kepala daerah yang ditangkap dengan total 122 tersangka.
"Kasus korupsi itu terjadi terbanyak terungkap oleh KPK di saat tahun politik, 2015, 2017, dan 2018," ucap dia.
Editor’s picks
Firli melanjutkan, soal pelaksanaan Pilkada, ada gap atau kesenjangan antara biaya Pilkada dengan kemampuan harta calon kepala daerah.
"Jadi ini wawancara indepth interview. Ada yang ngomong Rp5 sampai Rp10 miliar, tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di Pilkada, itu bupati atau wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, dia punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus," kata dia.
"Mau nyalon saja sudah minus. Maka tidak jarang kita temukan setelah pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa, ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang," kata dia, melanjutkan.
3. Banyak calon kepala daerah yang dibiayai pihak ketiga untuk ikut Pilkada
Karena kemampuan harta yang minus itu, kata Firli, banyak calon kepala daerah yang dibiayai pihak ketiga atau sponsor. Berdasarkan penelitian KPK, sebanyak 82,3 persen calon kepala daerah dibiayai pihak ketiga.
Firli berujar, para pihak ketiga ini rela membantu lantaran calon kepala daerah berjanji untuk memenuhi permintaan mereka, jika nanti mereka berhasil terpilih.
"Artinya, para cakada (calon kepala daerah) ini sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya Pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi dan tentu juga akan berakhir pada masalah hukum," ujar dia.
4. Sejak 2004, kasus korupsi ditemukan di 26 provinsi
Lebih jauh, Firli menyebutkan, sepanjang 2004 hingga 2020, kasus korupsi ditemukan di 26 provinsi. Dari puluhan provinsi itu, Jawa Barat memiliki kasus tertinggi sebanyak 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, Sumatra Utara 73 kasus, Riau dan Kepulauan Riau 64 kasus, dan DKI Jakarta 61 kasus.
"Jadi, kasus-kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap itu 704, di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48, TPPU (tindak pidana pencucian uang) 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," tutur Firli.
Baca Juga: Menghilangkan Budaya Politik Uang Harus Dimulai dari Parpol