Menengok Fenomena di Tengah Masyarakat akibat Pandemik COVID-19

Dari masalah ekonomi hingga keagamaan

Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 sangat berdampak terhadap segala aspek kehidupan manusia. Dosen Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (KT-SKSG) Universitas Indonesia (UI), Amanah Nurish, mengatakan berdasarkan data dari International Library Organization (ILO), ada 190 juta orang yang menganggur akibat pandemik COVID-19.

Hal itu dia katakan dalam webinar bertajuk Agama dan Evolusi di Tengah Pandemi, yang digelar Kantor Hubungan Masyarakat dan Pemerintahan Majelis Rohani Nasional Baha'i Indonesia.

"Artinya, di negara-negara yang penduduknya besar seperti Amerika termasuk Indonesia, India, itu kita mengalami ancaman ekonomi selain ancaman kesehatan. Jadi memang tidak bisa dipungkiri bahwa, pandemik ini mengakibatkan krisis secara sistematis," katanya, Rabu (17/6) malam.

1. Dunia offline berubah menjadi dunia online

Menengok Fenomena di Tengah Masyarakat akibat Pandemik COVID-19Ilustrasi belajar bersama menggunakan sistem belajar online (IDN Times/Wayan Antara)

Pandemik COVID-19 turut mempengaruhi keseharian manusia juga. Di mana yang biasanya segala sesuatu dilakukan offline, kini menjadi serba online. Menurutnya, hampir 70 persen kegiatan kini dilakukan via online atau daring.

"Manusia hari ini tuh habis di dunia virtual mulai komunikasi, transaksi ekonomi, pendidikan, politik, dan seterusnya," katanya.

Dampak dari dunia virtual itu juga mempengaruhi kehidupan beragama. Yang biasanya membaca kitab suci dalam bentuk buku, kini beralih ke platform digital.

"Makanya tidak heran, kelompok-kelompok radikalis dalam tanda kutip ya radikal itu ada yang positif ada yang negatif. Jadi kelompok-kelompok radikalis yang menunjuk ke ekstrimis ini, justru lebih banyak berasal dari pengaruh-pengaruh dunia internet dibanding pergaulan secara real," jelasnya.

Amanah melanjutkan, berdasarkan paparannya, ada 5,19 miliar pengguna internet di seluruh dunia. Dia juga meyakini, hampir seluruh manusia di dunia telah menggunakan smartphone.

"Jadi populasi dunia itu mau tidak mau manusia memang disalib oleh yang namanya dunia virtual. Baik itu berupa WhatsApp, Twitter, Facebook, IG, dan seterusnya," ucapnya.

Baca Juga: 5 Cara Hindari Distraksi saat Work From Home, Bisa Fokus Deh!

2. Work from home juga menimbulkan dampak buruk

Menengok Fenomena di Tengah Masyarakat akibat Pandemik COVID-19ANTARA FOTO/Arnas Padda

Sebagian besar manusia di seluruh dunia menerapkan work from home (WFH) selama pandemik COVID-19. Namun, tidak selamanya WFH memberikan efek yang baik bagi mereka semua.

"Kebanyakan orang tua mengeluh, apalagi anaknya semakin mengeluh. Karena apa? Lelah, capek, gak punya teman. Dan itu ternyata mengakibatkan chaos secara psikologis, sosial dan di lingkungan sekelilingnya," kata Amanah.

Perubahan-perubahan itu, kata Amanah, menyebabkan manusia saat ini juga terjerembab dalam proses big data. Menurutnya, big data tidak hanya sekadar angka-angka, tetapi punya berimplikasi secara ekonomi, secara kesehatan, bahkan secara bagaimana respon kelompok-kelompok radikal terkait dengan isu pandemik.

Amanah mengatakan, kelompok radikal yang dinilai negatif itu tak jarang mengintrepasikan big data secara dangkal. Mereka mengeluarkan narasi kebencian dan menjadikan COVID-19 sebagai teori konspirasi.

"Teori konspirasi selalu identik dengan kelompok-kelompok populis karena mereka anti sains. Sains itu dianggap musuh yang benar. Ada doktrin dan dogma yang mereka yakini. Maka dari itu, interpretasi ini ada pergolakan sendiri yang saya lihat," ujar dia.

3. Pemerintah masih mengintepretasikan data untuk kebijakan ekonomi dan kesehatan

Menengok Fenomena di Tengah Masyarakat akibat Pandemik COVID-19Dok. Biro Pers Kepresidenan

Amanah menuturkan, negara juga melakukan skema interpretasi terhadap hadirnya big data mengenai pandemik COVID-19. Sayangnya, interpretasi di level kebijakan negara itu masih seputar isu ekonomi dan isu kesehatan yang bersifat material.

" Negara belum bisa melihat seusatu yang bersifat unseen atau yang tidak nampak. Misalnya isu human rights, isu spiritualitas, isu-isu ritual kebudayaan, dan lain sebagainya. Itu tidak pernah direken (dilakukan) sama negara. Padahal, ini kunci untuk menanggulangi COVID salah satunya," tuturnya.

Terkait keagamaan, lanjut Amanah, akan ada evolusi keagamaan pada peradaban manusia pascapandemik. Amanah mengatakan, merujuk temuan dari seorang ekonom asal Inggris, peradaban manusia ke depan akan lebih banyak bekerja di rumah. Amanah menjelaskan, ada tiga fase perkembangan peradaban manusia.

"Pertama, masa pertumbuhan. Kita ini sedang tumbuh di dunia virtual sesuatu yang baru dan belum sangat mengenal. Kemudian masa adaptasi, ada adaptasi dan ini masih beberapa dekade lagi yang akan datang. Kita juga tidak tahu ada masa kehancuran, tetapi akan mengakibatkan peralihan,'' jelas Amanah.

"Sekarang ini kita sedang menghadapi masa digitalisasi peradaban. Digitaliasi masyarakat yang mengubah transfromasi, sekaligus evolusi keagamaan akibat dari pandemik COVID-19," sambungnya.

Baca Juga: Virus Corona Mengubah Drastis Perilaku Konsumen, Apa yang Berubah?

4. Tegaskan Baha'i Indonesia bukanlah aliran kepercayaan

Menengok Fenomena di Tengah Masyarakat akibat Pandemik COVID-19Dosen Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (KT-SKSG) Universitas Indonesia (UI), Amanah Nurish (Dok. Screenshot Diskusi Virtual Baha'i Indonesia)

Dalam kesempatan itu, Amanah menegaskan bahwa Baha'i bukanlah aliran kepercayaan atau pun aliran sekte keagamaan. Dia mengatakan, Baha'i adalah agama independen.

"Agama Baha'i ini menjadi the youngest Abrahamic religion dan itu bisa dicek di buku yang berjudul World Religions," katanya.

Posisi agama Baha'i di Indonesia, lanjutnya, juga merujuk pada Surat Edaran Kementerian Agama 24 Februari tahun 2014. Surat itu menyatakan, Baha'i adalah suatu agama, bukan aliran dan suatu agama, dapat hidup di Indonesia dan siapa saja WNI berhak memeluk agama Baha'i serta beribadat menurut ajaran Baha’i.

"Baha'i bukan sebagai aliran kepercayaan atau sekte keagamaan seperti Syiah, Ahmadiyah, dan sebagainya. Tetapi murni sebagai agama independen," ujarnya.

Baca Juga: Ini Fenomena di Tengah Masyarakat Akibat COVID-19 Menurut Alissa Wahid

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya