Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU Ciptaker

Pengadaan alat untuk kepentingan pengamanan Pilkada serentak

Jakarta, IDN Times - Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Argo Yuwono membantah temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait pengadaan alat oleh Polri senilai Rp408,8 miliar, yang diduga untuk mengantisipasi massa aksi tolak UU Cipta Kerja (Ciptaker) atau Omnibus Law. 

"Tidak benar kalau ada anggapan bahwa pengadaan untuk pengamanan demo UU Ciptaker," kata Argo kepada IDN Times, Jumat (9/10/2020).

1. Pengadaan alat untuk kepentingan pengamanan Pilkada serentak

Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU CiptakerKepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri, Irjen Pol. Argo Yuwono (Dok. Humas Polri)

Argo menjelaskan, jika pengadaan alat di kepolisian direncanakan dan diajukan ke DPR tahun ini, maka sebenarnya untuk dilaksanakan tahun berikutnya.

"Jadi, kalau pengadaan tahun ini (2020), merupakan pengajuan tahun yang lalu (2019)," jelas Argo.

Argo menambahkan, semua orang bisa melihat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Menurutnya, pengadaan apapun yang dilakukan Polri, juga telah dilelang sesuai aturan.

"Mengenai peralatan unjuk rasa, didistribusikan ke seluruh Indonesia dan yang diutamakan yang ada Pilkadanya," ucap Argo.

Baca Juga: Diduga Sebar Hoaks Soal Omnibus Law, Seorang Wanita Diciduk Polri

2. Kabaintelkam: Tidak ada pengadaan yang dadakan

Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU CiptakerDemonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020). (IDN Times/Istimewa)

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri (Kabaintelkam) Polri, Komjen. Pol. Rycko Amelza Dahniel, juga membantah tudingan ICW. Pengadaan di lingkungan Polri, kata Rycko, harus direncanakan sesuai perencanaan strategi Polri satu tahun sebelumnya.

"Tidak ada pengadaan yang dadakan, apalagi pengadaan untuk keperluan satu kegiatan saja," katanya kepada IDN Times.

Sementara, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Awi Setiyono mengatakan, pengadaan alat itu guna operasi siber saat Pilkada serentak.

"Ada terkait dengan hoak-hoaks, kemudian deteksi dan black campaign kita terus lakukan patroli," ucapnya di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, hari ini.

3. ICW temukan ada lima paket pengadaan alat oleh Polri pada September 2020

Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU CiptakerIDN Times/Lia Hutasoit

Berdasarkan temuan ICW, ada lima paket pengadaan alat yang dilakukan Polri. Pertama, pengadaan alat tambahan berupa sentralized command control system for intelligence target surveillance, yang dibuat pada 16 September 2020. Alat itu untuk satuan Baintelkam Polri, dengan nilai paket pengadaan sebesar Rp179,4 miliar

Kedua, pengadaan helm dan rompi anti peluru Brimob, yang dibuat pada 21 September 2020. Anggarannya dikategorikan mendesak-APBNP untuk satuan kerja Baintelkam Polri. Nilai paket pengadaan alat itu sebesar Rp90,1 miliar.

Ketiga, peralatan tactical mass control device, dengan kategori kebutuhan mendesak- APBNP. Alat ini dibuat pada 28 September 2020 untuk satuan kerja Staf Logistik (Slog) Polri, senilai Rp66,5 miliar.

Keempat, peralatan counter UAV and surveillance, yang dibuat pada 25 September 2020. Anggarannya, dikategorikan mendesak-APBNP. Alat itu untuk satuan kerja Korps Brigade Mobil (Korbrimob) Polri, dengan nilai paket pengadaan sebesar Rp69,9 miliar.

Terakhir, pengadaan drone observasi tactical, yang dibuat pada 25 September 2020. Anggarannya dikategorikan mendesak- APBNP, untuk satuan Korbrimob Polri. Nilai paket pengadaan alat itu sebesar Rp2,9 miliar.

"Total pengadaan kelima paket tersebut adalah Rp408,8 miliar, dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 1 bulan lamanya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan menguatkan dugaan, bahwa Polri terlibat dalam upaya sistematis untuk membungkam kritik dan aksi publik," ucap Peneliti ICW, Wana Alamsyah, lewat keterangan tertulisnya.

4. Alat ditengarai untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital

Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU CiptakerIlustrasi media sosial (Sukma Shakti/IDN Times)

Wana menilai, pembelanjaan alat ditengarai untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital. Alat yang telah dibeli, juga tidak menutup kemungkinan untuk menjalankan perintah Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, sesuai dengan surat telegram rahasia (STR) yang diterbitkan beberapa waktu lalu.

"Kondisi yang serupa juga pernah terjadi pada saat penolakan terhadap revisi UU KPK dan aksi #ReformasiDikorupsi September 2019 lalu. Polanya yaitu mendistorsi suara dari publik yang kontra terhadap pemerintah. Selain itu adanya penggiringan opini publik terhadap para pihak yang melakukan unjuk rasa," ucap Wana.

Wana mencontohkan, ada dua kejadian pada September 2019 lalu. Pertama, akun resmi milik Kepolisian yaitu @TMCPoldaMetro, disinyalir menyebarkan disinformasi mengenai ambulans milik Provinsi DKI Jakarta yang diduga membawa batu. Tidak lama berselang, informasi tersebut hilang.

"Kedua, adanya grup WhatsApp dengan mengatasnamakan siswa Sekolah Teknis Mesin (STM) yang diduga dibuat oleh Kepolisian. Tujuannya, yakni untuk melakukan kontra narasi terhadap para aktor yang mengikuti unjuk rasa," katanya.

5. Polri terkesan menjadi instrumen pemerintah untuk membungkam kritik dan aksi publik

Polri Bantah Beli Alat Rp408 M untuk Halau Massa Penolak UU CiptakerKapolri Jenderal Polisi, Idham Azis (Dok. Humas Polri)

Wana berujar, pola seperti ini juga menunjukkan dua hal penting lainnya, terkait politik anggaran dan prioritas belanja Polri. Pertama, Polri tidak memiliki perencanaan anggaran dan belanja yang jelas dan efektif. Sehingga, muncul belanja-belanja yang tidak sesuai dengan rencana dan prosesnya janggal. Kedua, DPR tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal.

"Karena sebenarnya, pagu awal anggaran Polri 2020 hanya Rp90,3 triliun, sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2020. Namun, setelah adanya pembahasan di DPR, anggaran tersebut melonjak menjadi Rp104,7 triliun," ujarnya.

Wana menilai, besarnya alokasi anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah kepada Kepolisian selama ini, tidak merepresentasikan fungsi yang diemban sesuai dengan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

"Polri harusnya meningkatkan performa dalam penegakan hukum, salah satunya dalam menindak perkara korupsi. Namun, bukannya fokus pada pembenahan internal dan peningkatan kualitas kerja penegakan hukum, Polri justru terkesan menjadi instrumen pemerintah dalam melakukan kekerasan dan pembungkaman sistematis atas kritik dan aksi publik," kata dia.

Baca Juga: Polri Beli Alat Rp408 M, Diduga untuk Halau Massa Tolak Omnibus Law

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya