Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?

Dari pelanggaran etik Firli hingga Febri Diansyah mundur

Jakarta, IDN Times - Pada Sabtu 17 Oktober 2020 lalu, Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tepat berusia 1 tahun. UU baru KPK ini, resmi diberlakukan pada Kamis 17 Oktober 2019. UU itu tetap berlaku meski Presiden Joko "Jokowi" Widodo tak meneken aturan tersebut.

Sebagian kewenangan lembaga antirasuah diprediksi mulai lumpuh. Tetapi, pimpinan KPK mengakalinya dengan mengeluarkan Peraturan Komisi (Perkom) untuk mengurangi dampak buruk dari diberlakukannya UU tersebut.

Pada 25 September 2019 lalu, KPK mengumumkan ada 26 poin yang bisa melemahkan lembaga itu. 26 poin itu merupakan temuan dari analisis sementara terhadap UU yang prosesnya dikebut hanya kurang dari satu pekan tersebut. Analisis tersebut dilakukan tim transisi yang telah dibentuk oleh KPK, begitu UU tersebut disahkan oleh parlemen satu bulan sebelumnya.

Lantas, peristiwa apa saja yang terjadi di KPK sejak UU baru tersebut disahkan ? Berikut ulasan selengkapnya yang telah dirangkum oleh IDN Times.

1. Pegiat antikorupsi ajukan uji formil UU KPK ke MK

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Para pegiat antikorupsi mengajukan uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana uji formil terhadap UU KPK dilakukan pada 9 Desember 2019. Para pegiat antikorupsi itu terdiri dari eks tiga pimpinan KPK, hingga dua eks komisioner yang ikut masuk ke dalam daftar pemohon uji formil UU baru KPK yakni Erry Riyana Hardjapamekas dan M. Jasin.

Berikut adalah daftar lengkap 13 nama pemohon uji formil UU nomor 19 tahun 2019:

  1. Agus Rahardjo
  2. Laode Muhamad Syarif
  3. Saut Situmorang
  4. Erry Riyana Hardjapamekas
  5. Dr. Moch Jasin
  6. Omi Komaria Madjid
  7. Betti S Alisjahbana
  8. Dr. Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
  9. Dr. Mayling Oey
  10. Suarhatini Hadad
  11. Abdul Fickar Hadjar SH MH
  12. Abdillah Toha
  13. Ismid Hadad

Ke-13 pemohon berharap, MK dapat memutuskan bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga, UU baru itu harus dibatalkan dan dikembalikan ke UU lama Nomor 20 Tahun 2001. 

Penyidik senior KPK, Novel Baswedan mengatakan, revisi UU KPK yang salah satunya mewajibkan pegawai untuk meminta izin kepada Dewas KPK untuk melakukan penyadapan dan penggeledahan, dianggap merugikan. Sebab, proses itu mengulur waktu serta berpotensi menghilangkan barang bukti yang dibutuhkan.

Hal itu disampaikan oleh Novel ketika menjadi saksi dalam sidang virtual pengujian UU baru KPK di Gedung MK, pada Rabu 23 September 2020. Di dalam UU baru KPK, tertulis izin untuk mengajukan penggeledahan dan penyadapan harus maksimal diberikan 24 jam setelah diajukan.

"Dalam beberapa kasus, respons tidak dilakukan dengan segera. Maka, potensi (untuk) mendapatkan bukti menjadi hilang. Ini yang menjadi persoalan dalam proses penyadapan," ungkap Novel.

Sementara di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang ikut bersaksi turut mengakui persetujuan dari anggota Dewas untuk menyadap dan melakukan penggeledahan, membuat gerak penyidiknya terhambat. Oleh sebab itu, perlu diatur mengenai izin penggeledahan dan penyitaan dalam kondisi mendesak di UU Nomor 19 tahun 2019.

"Ini yang rasa-rasanya mungkin perlu diatur. Kalau masih harus membutuhkan persetujuan Dewas, bagi kami sendiri itu rasanya kurang pas," ungkap Alex.

Sebelum UU KPK baru diberlakukan, bila penyidik ingin melakukan penyadapan dan penggeledahan, maka izin yang perlu dikantongi cukup berasal dari Deputi Penindakan atau Direktur Penyidikan. Sehingga, prosesnya bisa lebih cepat dilakukan.

Baca Juga: Revisi UU KPK Jadi Salah Satu Alasan Febri Diansyah Mundur dari KPK

2. Kepercayaan publik terhadap KPK menurun

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?Ilustrasi gedung KPK. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Kepercayaan publik terhadap KPK ternyata menurun usai UU KPK baru disahkan. Berdasarkan survei yang dilakukan Cyrus Network pada periode 24-30 Januari 2020, hanya 57 persen responden yang merasa KPK  kuat, solid dan bisa dipercaya. Hal ini berbeda dengan Polri, yang memiliki tingkat kepercayaan sebesar 71 persen.

Kemudian, berdasarkan survei Litbang Kompas pada Juni 2020, 56,9 persen responden tidak puas dengan kinerja KPK. Selain itu, citra KPK per Januari 2020 berada di angka 64,2 persen. Bahkan, melorot pada Juni 2020 menjadi 44,6 persen.

Berdasarkan survei Charta Politik pada Juli 2020, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di angka 71,8 persen. Ini juga lebih rendah ketimbang Polri yang berada di angka 72,2 persen.

Sementara berdasarkan survei Indikator Politik pada 13-16 Juli 2020, tingkat kepercayaan publik kepada KPK ada di angka 24,7 persen. Hal ini juga lebih rendah ketimbang tingkat kepercayaan terhadap Polri yakni, 75,3 persen.

Ekonom Senior, Faisal Basri mengatakan, berdasarkan survei menurut kalangan dunia usaha pada 2017, masalah terbesar bukanlah ketenagakerjaan. Melainkan, korupsi. Hal itu diungkapkan Faisal dalam acara Webinar IDN Times bertajuk Menjaga Indonesia, yang bertema 75 Tahun Merdeka, Kok Masih Rajin Korupsi.

"Nah, bukannya diteruskan dikencangkan, harusnya gitu kan yah, diintensifkan, diperkuat KPK, justru KPK sudah mau dikubur," kata Faisal, Jumat 14 Agustus 2020 lalu.

Dalam paparannya berdasarkan data dari Transparency International, pada 1995 Indonesia berada di urutan paling bawah negara terkorup.

"Misalnya 84 negara, kita nomor 84. Kemudian kita terus membaik sampai akhirnya tahun 2019 atau 2018. Sejak 2018, kita itu ada di 50 persen kelompok negara yang di atas. Artinya tingkat bagus, 50 persen terbaik. Nah ini pencapaian. Artinya KPK on the right track, sebelum Undang-Undang KPK yang baru loh," ujar Faisal.

Dalam konteks ini, Faisal heran mengapa korupsi masih menjadi barang yang berbahaya di Indonesia. Pada 2018, Indonesia sempat menjadi negara terkorup di Asia Pasifik.

"Kita hanya lebih baik dari Vietnam dan Kamboja dengan mendekati 10 (negara) ini. Kalau pakai (sumber) Transparency International, kita itu lebih baik dari Vietnam dan Kamboja. Jadi konsisten ini bahwa kita masih buruk," katanya.

3. KPK hanya melakukan dua OTT

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?(Eks komisioner KPU Wahyu Setiawan) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Sejak UU KPK baru disahkan dan pimpinan KPK berganti, lembaga antirasuah hanya melakukan dua Operasi Tangkap Tangan (OTT). Pertama, OTT terhadap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, pada 9 Januari 2020. Kedua, OTT terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya pada 2 Juli 2020.

Jumlah OTT yang dilakukan KPK sangat saat ini sangat jauh jika dibandingkan dengan tahun 2019. Tercatat, ada 20 OTT yang dilakukan pada tahun 2019.

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango menjelaskan, pada semester 1 tahun 2020, KPK melakukan 78 kegiatan penyelidikan, 43 penyidikan perkara baru dan 117 perkara dari sebelum tahun 2020. Sehingga, total 160 penyidikan dilakukan pada semester ini.

"Pada semester 1 ini KPK juga telah menetapkan 53 tersangka dari 43 penyidikan perkara baru. 38 tersangka di antaranya telah dilakukan penahanan," ucapnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin 18 Agustus 2020.

Dalam pengembangan penyidikan, KPK juga telah melakukan penggeledahan sebanyak 25 kali dan penyitaan sebanyak 201 kali. Demikian juga pemeriksaan terhadap 3.512 saksi dalam rangka melengkapi berkas perkara di tingkat penyidikan.

Di tingkat penuntutan, lanjut Nawawi, KPK saat ini menangani total 99 perkara. Dimana, 60 diantaranya merupakan perkara sebelum tahun 2020. Selain itu, KPK juga telah melakukan eksekusi terhadap 69 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Baca Juga: Pimpinan KPK Dinilai Hedonis, Begini Jawaban Wakil Ketua Nurul Ghufron

4. Polemik alih status pegawai KPK jadi ASN

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?Pegawai KPK Jalani Test Swab (Dok. IDN Times/Humas KPK)

Presiden Joko 'Jokowi' Widodo sebelumnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.  Mantan Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyoroti perubahan sistem penggajian untuk pegawai KPK. Perubahan sistem itu tertuang dalam PP tersebut.

"Disitu dikatakan bahwa gaji KPK itu ada tiga komponen, satu gaji, dua tunjangan dan tunjangan khusus. Dari dulu sejak KPK ada, itu sudah menyoroti pentingnya single salary system," katanya dalam diskusi virtual bertajuk Proyek Masa Depan Pemberantasan Korupsi, Senin 10 Agustus 2020.

Pada Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 41 Tahun 2020 menjelaskan, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah menjadi pegawai ASN diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 9 ayat (2) menyatakan, dalam hal terjadi penurunan penghasilan, kepada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi selain gaji dan tunjangan juga dapat diberikan tunjangan khusus yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Laode mengatakan, alasan single salary system dilakukan agar pemberian gaji itu mudah dikontrol. Bahkan, usulan single salary system itu sudah digaungkan sejak tahun 2010.

"Jadi bukannya mengikuti sistem penggajian yang sudah benar yang seperti KPK. Malah yang sudah bagus itu, diubah menjadi sistem penggajian yang bermasalah," ucapnya.

Proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan salah satu konsekuensi berubahnya Undang-Undang (UU) KPK dari Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Nomor 19 Tahun 2019.

Laode mengatakan, proses perubahan UU KPK itu dinilai berjalan sangat berbeda dengan proses revisi perundang-undangan, yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Mengapa demikian? Karena satu prosesnya tidak melibatkan publik. Bahkan naskah akademiknya tidak ada," ujarnya.

"Tapi yang paling krusial dan saya pikir ini adalah sejarah yang pertama di Indonesia. Bahwa instansi yang menjalankan undang-undang itu tidak dimintai pendapat sama sekali," sambungnya.

Selain itu, KPK tidak mendapatkan surat resmi  tentang pembahasan revisi undang-undang tersebut. KPK, kata Laode, hanya mendengar informasi dari media, pernyataan anggota DPR dan pernyataan presiden.

"Presiden mengeluarkan pernyataan, ini adalah poin saya yang kedua, yang mengatakan bahwa perubahan undang-undang KPK tidak akan melemahkan tapi akan memperkuat KPK.Tetapi setelah kita lihat, ya memang melemahkan," kata Laode.

Teranyar, KPK sedang menyusun Peraturan Komisi (Perkom) untuk menindak lanjuti PP ini. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menjelaskan, dalam Perkom tersebut akan diatur mekanisme alih status pegawai tetap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian, pegawai tidak tetap menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) namun akan diupayakan juga untuk menjadi PNS.

"Dengan demikian, pegawai KPK terdiri dari PNS, P3K dan PNS Yang Diperkerjakan (PNYD)," kata pria yang akrab disapa Alex ini di Gedung Merah Putih KPK Jakarta Selatan, Jumat 2 Oktober 2020.

Alex melanjutkan, alih status pegawai ini sebagai konsekuensi perubahan UU KPK. Oleh karena itu, ketentuan alih status tersebut tidak mengikuti ketentuan normatif proses tes seleksi PNS. "Termasuk juga tidak berlaku terkait ketentuan batas usia menjadi PNS," ucap Alex.

Alex mengatakan, dalam Pasal 9 ayat, pegawai KPK yang sudah menjadi ASN diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Tindak lanjut ketentuan pasal ini, saat ini masih dalam pembahasan oleh Biro SDM dan Biro Renkeu KPK, mengenai rancangan Perpres tentang besaran gaji pegawai KPK tersebut," jelasnya.

Disamping itu, lanjut Alex, telah dipersiapkan Mou Antara KPK dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN), terkait peningkatan kapabilitas pegawai KPK serta mengenai pendidikan dan latihan bagi jabatan struktural maupun fungsional KPK.

5. Pelanggaran kode etik Firli Bahuri yang hanya diberikan sanksi ringan

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?Ketua KPK Firli Bahuri bersiap menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Dewan Pengawas (Dewas) KPK menggelar sidang putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK, Firli Bahuri, terkait penggunaan helikopter mewah. Anggota Dewas KPK, Artidjo Alkostar mengatakan, Firli saat itu tidak tahu jika perbuatannya menjadi sorotan publik.

"Terperiksa (Firli) tidak tahu salahnya di mana dan tidak pernah berpikir ketika naik helikopter ada yang banyak menyoroti. Dan ternyata banyak yang menyoroti. Terperiksa merasa hal itu tidak merugikan KPK karena tidak merugikan kelembagaan KPK," kata Artidjo dalam siaran live streaming, Kamis 24 September 2020.

Artidjo menjelaskan, helikopter mewah itu digunakan Firli, istri dan dua anaknya. Mereka melakukan perjalanan dari Palembang ke Baturaja dan Baturaja ke Palembang, Sumatera Selatan, pada Sabtu, 20 Juni 2020. Kemudian, perjalanan dari Palembang ke Jakarta pada Minggu, 21 Juni 2020.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Firli menggunakan helikopter itu untuk menengok makam orang tuanya di Baturaja. Biaya sewa helikopter mencapai Rp7 juta per jam. Penyewaan helikopter tersebut diatur oleh ajudan Firli yang benama Kevin. Firli, kata Artidjo, menyewa helikopter guna efisiensi waktu. Hal ini karena, dia ingin segera mengikuti rapat di Kemenko Polhukam pada Senin, 22 Juni 2020.

"Terperiksa merasa tidak menghambat tugas KPK dan terperiksa tetap bekerja dengan baik. Terperiksa tidak berpikir bisa saja dilihat orang dan tidak merasa risih saat naik helikopter," jelasnya.

Anggota Dewas KPK, Albertina Ho mengatakan, hal yang memberatkan Firli melanggar kode etik karena perwira tinggi (Pati) Polri itu tidak menyadari pelanggaran yang dia lakukan.

"Kedua, terperiksa (Firli) sebagai ketua KPK yang seharusnya menjadi teladan, malah melakukan yang sebaliknya," kata Albertina.

Meski dinyatakan melanggar kode etik, ada dua hal yang membuat hukuman Firli menjadi ringan. Pertama, Firli belum pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. "Kedua, terperiksa kooperatif. Sehingga, memperlancar jalannya persidangan," ucapnya.

Albertina menambahkan, keputusan yang diambil Dewas memperhatikan aturan Kode Etik dan Pedoman Perilaku. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 Ayat 1 huruf n dan Pasal 8 Ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020, tentang Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Dan peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, Firli melanggar kode etik karena tidak mengindahkan kewajibannya sebagai insan Komisi antirasuah. Meski begitu, Firli hanya diberikan sanksi yang tergolong ringan.

"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis 2. Yaitu agar terperiksa tidak mengulangi lagi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi," ujarnya.

Baca Juga: Ada 288 Pegawai KPK yang Resign Sejak 2008 hingga 1 Oktober 2020

6. Puluhan pegawai KPK mengundurkan diri, salah satunya Febri Diansyah

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?(Febri Diansyah mengakhiri masa kerjanya menjadi jubir KPK) ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengungkapkan, sejak tahun 2008 hingga  1 Oktober 2020, ada 288 pegawai yang mengundurkan diri dari lembaga antirasuah.

"Jumlah pegawai yang mundur tersebut tidak termasuk pimpinan, penasihat, PNS yang dipekerjakan yang kembali ke instansi asal, pensiun, meninggal dunia dan pegawai yang berhenti tidak dengan hormat," ungkap Alexander seperti dilansir dari YouTube KPK, Jumat 2 Oktober 2020.

Pria yang akrab disapa Alex ini menilai, pegawai adalah aset serta menjadi kekuatan KPK. Namun, pihaknya tetap menghargai pilihan yang dibuat para pegawai tersebut untuk keluar dari KPK.

"Kami juga mendorong para alumni KPK untuk dapat menjadi agen-agen penebar semangat anti korupsi di tempat baru tersebut. Sehingga, bisa bersama-
sama dengan KPK terus berupaya memberantas korupsi di negeri ini," jelasnya.

Alex mengatakan, di tahun 2020 ini, sudah ada 34 pegawai KPK yang mengundurkan diri. Alasannya pun cukup beragam. Di antaranya, berakhir masa perjanjian kerja waktu (PKWT) dan tidak diperpanjang, kasus etik disiplin pegawai atau hukum, persoalan keluarga dan kondisi kurang kondusif karena pandemik COVID-19.

"Kemudian kondisi politik dan hukum KPK, mengelola usaha pribadi, menikah sesama pegawai KPK dan pengembangan karir atau mendapat pekerjaan baru," ucap Alex.

Berikut rincian pegawai KPK yang mengundurkan diri

  1. 2008 6 pegawai undur diri dari jumlah awal tahun 440 pegawai dan jumlah akhir tahun 529 pegawai
  2. 2009 13 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 529 pegawai dan jumlah akhir tahun 634 pegawai
  3. 2010 17 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 634 pegawai dan jumlah akhir tahun 630 pegawai
  4. 2011 12 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 630 pegawai dan jumlah akhir tahun 713 pegawai
  5. 2012 12 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 713 pegawai dan jumlah akhir tahun 669 pegawai
  6. 2013 13 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 669 pegawai dan jumlah akhir tahun 954 pegawai
  7. 2014 18 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 954 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.102 pegawai
  8. 2015 37 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.102 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.136 pegawai
  9. 2016 46 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.136 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.121 pegawai
  10. 2017 26 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.121 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.551 pegawai
  11. 2018 31 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.551 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.646 pegawai
  12. 2019 23 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.646 pegawai dan jumlah akhir tahun 1.626 pegawai
  13. 2020 34 pegawai undur diri, dari jumlah awal tahun 1.626 pegawai dan jumlah saat ini 1.603 pegawai

Mantan Kepala Biro (Kabiro) Humas KPK, Febri Diansyah juga memutuskan undur diri dari lembaga antirasuah. Dia juga sudah menyampaikan surat pengunduran itu sejak Jumat, 18 September 2020. Dia menilai, kondisi KPK saat ini sudah berubah.

Selain itu, ruang memberantas korupsi menurutnya lebih signifikan di luar KPK. Namun, Febri menegaskan, keputusan pengunduran diri bukan dilatarbelakangi konflik internal dengan pimpinan KPK. Sejak Jumat 16 Oktober 2020, Febri resmi melepas masa baktinya di KPK.

7. Polemik anggaran pengadaan mobil dinas pimpinan KPK

Setahun UU KPK Baru, Apa Saja yang Terjadi di Lembaga Antirasuah?Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK, Cahya Harefa (Dok. Humas KPK)

Polemik anggaran pengadaan mobil dinas untuk pimpinan, Dewas dan pejabat struktural KPK menjadi sorotan sejumlah pihak. Bahkan, tiga mantan pimpinan KPK menilai anggaran untuk mobil dinas tidaklah begitu penting. Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK, Cahya Harefa mengatakan, pihaknya memutuskan meninjau anggaran mobil dinas tersebut.

"Kami sungguh-sungguh mendengar segala masukan masyarakat. Dan karenanya, memutuskan untuk meninjau kembali proses pembahasan anggaran untuk pengadaan mobil dinas jabatan tersebut. Dan saat ini, kami sedang melakukan review untuk memastikan kesesuaian dengan peraturan yang berlaku," kata Cahya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat 16 Oktober 2020.

Cahya menjelaskan, anggaran pengadaan mobil dinas bagi pimpinan, Dewas dan pejabat struktural di KPK untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi mereka. Pengajuan ini juga berpedoman kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 150/PMK.06/2014, terkait perencanaan kebutuhan barang milik Negara.

Pengadaan mobil dinas ini, kata Cahya, dianggarkan untuk tahun 2021. Dia melanjutkan, proses pengajuan anggaran tersebut melalui mekanisme review tahun sebelumnya dan kebutuhan dasar belanja operasional. Proses ini akan berlanjut
hingga ditetapkan sebagai pagu definitif yang ditandai dengan penandatanganan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL) oleh DPR.

"Selanjutnya, dilanjutkan dengan pembahasan dan penelaahan oleh KPK bersama Kementerian Keuangan dan Bappenas. Dan terakhir, akan terbit DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran) pada bulan Desember 2020," jelasnya.

Cahya mengatakan, terkait spesifikasi kendaraan yang diajukan beserta harga satuannya, usulan yang disampaikan mengacu standar biaya pemerintah serta berpedoman pada standar barang standar kebutuhan (SBSK), yang telah ditetapkan pemerintah.

Dia menambahkan, selama ini pimpinan, Dewas, pejabat struktural dan seluruh pegawai KPK tidak memiliki kendaraan dinas.

"Khusus pimpinan dan Dewas KPK ada tunjangan transportasi yang telah dikompensasikan dan termasuk dalam komponen gaji," ujarnya.

"Namun demikian, jika kendaraan dinas nantinya dimungkinkan pada tahun 2021 untuk diberikan kepada Pimpinan dan Dewas KPK, tentu tunjangan transportasi yang selama ini diterima dipastikan tidak akan diterima lagi. Sehingga, tidak berlaku ganda," kata dia lagi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Ketua KPK dianggarkan Rp1,45 miliar untuk mobil dinas tersebut. Sementara empat pimpinan lainnya, masing-masing Rp1 miliar. Spesifikasi mobilnya, 3.500 cc.

"Bahwa benar itu adalah data yang bersumber dari KPK. Namun demikian, itu adalah bagian proses pengajuan ketika bahan yang diajukan ke DPR saat itu. Belakangan, (anggarannya) tidak sebesar itu," kata Plt Jubir Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri.

Selain itu, lima anggota Dewas KPK masing-masing dianggarkan Rp702 juta. Anggaran Rp702 juta juga disiapkan untuk pejabat eselon I KPK. Senada dengan Cahya, KPK kata Ali, akan meninjau ulang anggaran pengadaaan mobil dinas tersebut.

"KPK tidak melakukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan (anggaran) untuk mobil dinas saat ini," ucap Ali.

Jadi gimana menurut kalian? Apakah masih percaya KPK bisa memberantas korupsi?

Baca Juga: Dikritik Sejumlah Pihak, KPK Tinjau Ulang Soal Anggaran Mobil Dinas

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya