Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN Lalai

Ombudsman ungkap hasil investigasi peristiwa blackout

Jakarta, IDN Times - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkap hasil investigasi peristiwa pemadaman listrik massal yang terjadi pada 4-5 Agustus 2019. Pemadaman listrik total (Blackout) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu terjadi di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, hingga Banten.

Anggota Ombudsman, Laode Ida, menilai peristiwa itu merugikan pelayanan publik di beberapa sektor. Seperti telekomunikasi, air, transportasi, dan kegiatan usaha masyarakat. Publik pun menilai penormalan penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN dinilai lamban dan terkesan tidak professional. Berikut ini hasil investigasi yang dilakukan Ombudsman.

1. PT PLN lalai memangkas pohon yang sudah melewati jarak bebas minimum

Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN LalaiIDN Times/Dhana Kencana

Laode mengatakan pohon sengon yang menjadi penyebab terjadinya gangguan pada sirkuit 1 Ungaran-Pemalang telah melewati jarak bebas minimum (ROW). Menurut pihaknya, PT PLN melakukan perjanjian pemeliharaan jaringan dan pengawasan terhadap tanaman yang melebihi jarak bebas minimum, melalui mitra (pihak ketiga).

Mekanisme pembayaran pekerjaan yang dilakukan PT PLN kepada mitra dilakukan dengan cara fix cost sebesar Rp33 juta/bulan. Akibatnya, apabila
dalam pekerjaan pemangkasan pohon mitra kerja PLN mengalami kelebihan pekerjaan, kelebihan  dimaksud tidak dapat dibayarkan oleh PT PLN. Kendala tersebut menjadi penyebab pekerjaan pemangkasan pohon oleh pihak ketiga atau mitra PT PLN menjadi tidak maksimal.

Terkait dengan kondisi pohon yang telah melewati jarak bebas minimum di Kampung Malon, Gunungpati, Kota Semarang, telah dilaporkan mitra kepada PT PLN sejak bulan Maret 2019. Namun, pohon tersebut tidak dilakukan pemangkasan oleh petugas ground patrol maupun petugas PT PLN.

Atas hal itu, PT PLN dianggap lalai dalam melaksanakan kewajiban hukum untuk melakukan pemangkasan pohon yang sudah melewati jarak bebas minimum/Right Of Way (ROW), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2019.

"Akibat kelalaian tersebut, pohon yang melebihi jarak bebas minimum menjadi pemicu pemadaman total yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2019," kata Laode dalam laporan investigasi Ombudsman yang diterima IDN Times di Jakarta, Kamis (14/11).

2. Ada penyimpangan pengoperasian instalasi tenaga listrik

Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN LalaiANTARA FOTO/Rahmad

Pengerjaan pembangunan Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) 500 kV Pemalang dilakukan berdasarkan kontrak kerja antara PT PLN dengan PT Bhimasena Power Indonesia. Hingga saat ini, belum dilaksanakan serah terima aset dari PT Bhimasena Power Indonesia kepada PT PLN.

"Namun, GITET 500 kV Pemalang telah dioperasikan oleh PT PLN (Persero) UPT Purwokerto sejak tahun 2018," katanya.

GITET 500 kV Pemalang belum layak untuk dioperasikan karena pada saat terjadinya blackout, belum memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO). SLO itu sendiri baru diterbitkan pada tanggal 9 Agustus 2019, yang artinya SLO terbit setelah peristiwa blackout.

"Hal itu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang mewajibkan SLO bagi semua instalasi listrik yang beroperasi," jelas Laode.

Belum adanya serah terima aset tersebut berimbas pada sumber daya manusia yang mengoperasikan instalasi pada GITET 500 kV Pemalang. Berdasarkan analisa tim ahli, terjadi kesalahan kerja relay (mal operation) pada tanggal 4 Agustus 2019 yang pada umumnya disebabkan adanya setting relay yang kurang tepat oleh operator.

"Sehingga, hal tersebut menjadi pemicu utama terjadinya pemadaman total pada tanggal 4 Agustus 2019," ujar Laode.

3. PLN tak punya alternatif sarana komunikasi selama blackout

Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN LalaiANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Laode melanjutkan, tidak adanya alternatif sarana komunikasi terintegrasi yang dimiliki oleh PT PLN pada tanggal 4 Agustus 2019, menunjukkan manajemen risiko yang dimiliki oleh PT PLN tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan temuan lapangan, gangguan komunikasi merupakan faktor yang menyebabkan terhambatnya proses penormalan pasca blackout.

Hal itu, kata Laode, menyebabkan terkendalanya komunikasi dan koordinasi di internal PT PLN dari tingkat pusat hingga daerah.

"Karena selama ini komunikasi dilakukan melalui telepon dan handphone. Sementara, pada saat kejadian blackout, terdapat gangguan sinyal provider dan terputusnya jaringan komunikasi," katanya.

Hingga saat ini, PT PLN tidak memiliki sarana komunikasi alternaif selain telekomunikasi yang sudah ada dan terintegrasi ketika terjadi blackout antara pembangkit, transmisi, gardu induk dan distribusi.

"Sebagaimana fakta yang ditemukan oleh Tim Investigasi, bahwa gangguan komunikasi tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lamanya proses penormalan," katanya.

Tak hanya itu, PT PLN belum maksimal menyiapkan dan memastikan pembangkit-pembangkit yang ada untuk siap beroperasi. PT PLN juga menganggap kejadian blackout pada tanggal 4 Agustus 2019 tidak akan terjadi. Padahal, lanjut Laode, resiko tersebut semestinya sudah dapat diperhitungkan berdasarkan data-data yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) itu sendiri.

"Memastikan kesiapan pembangkit alternatif adalah salah satu yang harus dilakukan,"

Tidak adanya fasilitas blackstart di beberapa pembangkit juga menyebabkan lamanya proses penormalan. PT PLN seharusnya sejak awal, mempersiapkan fasilitas blackstart pada setiap pembangkit. Bukan hanya itu, pada proses pengiriman daya, kesiapan sistem transmisi menerima daya juga harus diperbaiki.

Atas dasar hal itu, Tim Ombudsman menilai PT PLN telah melakukan maladministrasi berupa kelalaian dan tidak kompeten, karena adanya ketidaksiapan pembangkit dan jaringan transmisi dalam menerima daya.

"Selain itu, belum ada prosedur bersama diantara unit-unit terkait untuk evakuasi daya dari pembangkit ke sistem transmisi guna menjaga keseimbangan daya antara pembangkit dan transmisi/distribusi," jelasnya.

4. Kementerian dan Pemda belum optimal mencegah blackout

Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN LalaiIDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Laode menuturkan, PT PLN kesulitan dalam negoisasi pemangkasan pohon dengan masyarakat selaku pemilik atau kuasa pohon yang sudah melebihi batas ROW. Berdasarkan keterangan PT PLN UIT JBT pada tanggal 27 September 2019, pohon yang telah ditebang berjumlah 64.673 dari total 110.586 pohon. Data ini terhitung dari bulan Januari hingga 18 September 2019.

"Sehingga, terdapat sekitar 45.913 pohon yang harus segera dipangkas agar tidak melebihi ruang bebas ROW," tutur Laode.

Pada pelaksanaan pemangkasan pohon kritis, PT PLN bekerja sama dengan pihak ketiga atau mitra (ground patrol) melalui kontrak kerja sama. Sebelum memangkas pohon, petugas ground patrol akan bernegoisasi dengan masyarakat pemilik pohon. PT PLN kemudian memonitor pekerjaan ground patrol .

Dalam mengatasi pohon kritis ini, peran pemerintah daerah (Pemda), kata Laode, sangatlah penting. Terutama, dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memangkas pohon yang sudah melebihi ruang bebas ROW SUTET.

Menurut Laode, dengan kewenangan yang ada, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur kewajiban masyarakat untuk memangkas pohon yang sudah melebihi ruang bebas ROW.

"Tim Ombudsman berpendapat pola penanganan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh PT PLN (Persero) khususnya dalam penanganan pemadaman listrik, masih terlihat sporadis dan tidak
terkoordinasi dengan baik," ucap Laode.

Ombudsman, kata Laode berpendapat, dalam penyelesaian permasalahan perlu melibatkan Kementerian/Lembaga dan Aparat Penegak Hukum. Hal ini dilakukan, agar pola penyelesaian permasalahan dapat dilakukan dengan lebih sistemik dan komprehensif.

"Hal itu disebabkan masing- masing Kementerian/Lembaga, Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan tersendiri, dan membutuhkan instrumen berupa regulasi untuk menyinergikan kewenangan yang dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi," jelasnya.

5. Pola ganti rugi yang belum memadai

Ungkap Hasil Investigasi Pemadaman Listrik, Ombudsman: PLN LalaiIDn Times/Helmi Shemi

Laode mengungkapkan, daerah yang terdampak dan berhak mendapatkan ganti rugi yaitu di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, dan Provinsi Jawa Barat. Menurut Laode, pelanggan yang berhak mendapatkan ganti rugi sebanyak 21,9 juta Pelanggan.

Pemberian ganti rugi ini hanya berupa potongan pembayaran bulan berikutnya bagi pelanggan pasca bayar, serta penambahan daya pada saat pengisian token untuk pelanggan pra bayar.

"Namun, pemberian ganti rugi ini tidak memperhitungkan kerugian lanjutan yang diderita oleh masyarakat akibat pemadaman listrik total," ungkap Laoede.

Menurut Laode, pelanggan PT PLN  berasal dari berbagai latar belakang yang berada di perkotaan hingga ke daerah pelosok. Selain itu, tidak semua pelanggan PT PLN bisa mengakses layanan melalui website maupun call center 123 seperti di daerah terpencil, terluar, tertinggal.

Laode menjelaskan, PT PLN tidak maksimal melakukan sosialisasi terkait pola pemberian ganti rugi kepada pelanggan atas kejadian blackout.

"Dampaknya, pelanggan menerima informasi yang simpang siur dari berbagai sumber, khususnya melalui media sosial. Masyarakat tidak mengetahui pola pemberian ganti rugi yang seharusnya diterima atas layanan yang buruk dari PT PLN (Persero)," ungkap Laode.

Laode melanjutkan,pemberian ganti rugi kepada pelanggan atas pemadaman listrik berbeda-beda disetiap wilayah, tergantung dengan tingkat mutu pelayanan tenaga listrik yang diatur melalui Keputusan Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 201/K/20/DJL.3/2019.

Keputusan tersebut mengatur, pelanggan baru dapat melakukan permintaan ganti rugi setelah melewati lama minimal pemadaman dengan satuan jam/bulan/konsumen, dan jumlah gangguan dengan satuan kali/Bulan yang berbeda-beda di setiap lokasi.

"Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi atas pelanggan di domisili tertentu di mana pelanggan yang mengalami pemadaman, namun tidak berhak mendapatkan ganti rugi. Sementara di wilayah lain dengan lama pemadaman yang sama, justru memperoleh ganti rugi," ujar Laode.

Untuk diketahui, investigasi ini dilakukan Ombudsman sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Tujuan investigasi adalah mengetahui penyebab terjadinya pemadaman listrik total pada tanggal 4 Agustus 2019, kendala dalam proses penormalan penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero), dan proses pelayanan pemberian ganti rugi kepada masyarakat akibat pemadaman listrik total.

Metode yang digunakan meliputi studi literatur, observasi lapangan dan wawancara dengan melibatkan Tim Ahli Ketenagalistrikan dari Universitas Trisakti.

Baca Juga: Pemprov DKI Rilis Regulasi Skuter Listrik Bulan Depan, PDIP: Terlambat

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya