Vonis Terpidana Disunat, MA: Jangan Simpulkan Kami Pro Koruptor!
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung (MA) menjadi sorotan sejumlah pihak lantaran menyunat vonis terpidana tindak pidana korupsi (tipikor) melalui peninjauan kembali (PK). Berdasarkan data dari KPK, hingga hari ini sudah ada 23 terpidana tipikor yang hukumannya dikurangi usai menjalani PK.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro mengatakan, korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas. Dia juga meminta semua pihak memahami, bahwa posisi MA mengelola dan menyelenggarakan tugas peradilan.
"Kalau ada beberapa perkara tipikor yang ditangani oleh MA katakanlah melalui putusan kasasi atau peninjauan kembali (PK) dan kemudian MA memperbaiki atau mengurangi hukumannya, hendaknya janganlah terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa MA pro-koruptor atau MA tidak mendukung penegakan korupsi di Indonesia," kata Andi kepada IDN Times, Selasa (6/10/2020).
1. PK adalah upaya untuk mengoreksi kekeliruan putusan Hakim
Andi menjelaskan, MA tidak berposisi sebagai lembaga penuntut, tetapi berkedudukan sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Andi melanjutkan, sebagai pengadilan negara tertinggi, MA bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi.
"MA juga bertugas melalui upaya hukum PK untuk menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat, dan benar," jelasnya.
Keberadaan PK yang diatur dalam perundang-undangan, kata Andi, merupakan upaya hukum luar biasa.
"Yang dimaksudkan untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT). Bukan tidak mungkin dalam putusan a'quo (tersebut) terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata, yang merupakan kodrat manusia," ucap dia.
2. MA gak sembarangan dalam mengabulkan permohonan PK
Andi berujar, menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, ada 3 alasan yang ditentukan secara limitatif untuk dapat dijadikan dasar oleh terpidana mengajukan PK. Di antaranya ada novum (bukti baru atau yang sudah ada), ada pertentangan dalam putusan atau antar putusan, serta ada kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata.
Kendati demikian, MA tidak semudah itu mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh terpidana, terutama perkara-perkara tipikor.
"Sebab bukankah perkara-perkara yang dimohonkan PK itu sudah BHT? Sehingga, alasan dan pembuktiannya harus pula luar biasa. Oleh karena itu, MA cukup ketat dalam menilai alasan-alasan PK pemohon atau terpidana," ujarnya.
"Apabila terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK dengan mendalilkan alasan-alasan atau salah satu alasan yang dimaksud dan menurut majelis hakim pemeriksa PK, bahwa dalil hukum PK tersebut cukup beralasan dan terbukti, maka tentu MA dapat mengabulkan," kata dia lagi.
3. Ada sejumlah alasan mengapa MA mengurangi hukuman terpidana
Editor’s picks
Andi mengungkapkan, ada beberapa alasan pengurangan hukuman itu terjadi. Dia mencontohkan, ada dua terpidana atau pemohon yang sama-sama terlibat dalam kasus yang sama. Namun, hukuman keduanya justru berbeda.
"Si A dijatuhi hukuman selama 7 tahun, sedangkan si B dijatuhi pidana 3 tahun. Apakah MA salah kalau hukuman si A diserasikan atau diperbaiki menjadi pidana 5 tahun?," ungkapnya.
Contoh lainnya, PK akan dikabulkan jika terpidana sudah memulihkan atau mengembalikan sebagian besar kerugian keuangan negara dan tanda bukti pemulihan atau pengembalian tersebut dijadikan sebagai bukti novum.
"Apakah salah kalau MA dalam tingkat PK mengurangi hukuman terpidana secara proporsional sesuai penjelasan Pasal 4 UU PTPK yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan," ujar Andi.
"Ini juga sering terjadi, terpidana atau Pemohon PK yang perannya hanya sebagai 'membantu' melakukan tindak pidana, dijatuhi pidana lebih berat daripada hukuman terpidana yang berperan sebagai pelaku utama," sambungnya.
4. KPK hingga ICW soroti keputusan MA
Sebelumnya diberitakan, Plt Jubir Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri mengatakan, sejak awal pihaknya sudah prihatin terhadap putusan PK MA, yang menurunkan pemidanaan bagi para koruptor.
"Bagi KPK, ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," kata Ali saat dikonfirmasi, Kamis 1 Oktober 2020.
Dikonfirmasi terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, putusan- putusan PK yang dijatuhkan MA, sudah meruntuhkan rasa keadilan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak praktek korupsi.
"Sejak awal ICW memang sudah meragukan keberpihakan Mahkamah Agung dalam pemberantasan korupsi," ucapnya.
Kesimpulan itu, kata Kurnia, bukan tanpa dasar. Berdasarkan pendalaman ICW, sejak tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?," ujarnya.
Untuk itu, ICW menuntut Ketua MA mengevaluasi penempatan Hakim-Hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi.
"KPK harus mengawasi persidangan-persidangan PK di masa mendatang. Komisi Yudisial untuk turut aktif terlibat melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi," tuturnya.
5. Berikut 23 terpidana korupsi yang hukumannya disunat oleh MA
- Mantan Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud. Putusan 6 tahun penjara. PK menjadi 4 tahun 6 bulan
- Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng. Adik mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng. Putusan 3 tahun 6 bulan penjara. PK menjadi 3 tahun.
- Mantan Bupati Buton Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun. Putusan 3 tahun 9 bulan penjara. PK menjadi 3 tahun.
- Suap proyek Meikarta, Billy Sindoro. Putusan 3 tahun 6 bulan penjara. PK menjadi 2 tahun
- Pengusaha Hadi Setiawan. Putusan 4 tahun penjara. PK menjadi 3 tahun.
- Mantan Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi. Putusan 6 tahun penjara. PK menjadi 4 tahun.
- Advokat, OC Kaligis. Putusan 10 tahun penjara. PK menjadi 7 tahun. Namun dia masih mengajukan PK lagi.
- Mantan Ketua DPD, Irman Gusman. Putusan 4 tahun 6 bulan penjara. PK menjadi 3 tahun
- Eks Panitera Pengadilan Negeri Medan, Helpandi. Putusan 7 tahun penjara. PK menjadi 6 tahun
- Mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi. Putusan 10 tahun penjara. PK menjadi 7 tahun.
- Eks Penitera pengganti (PP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi. Putusan 4 tahun penjara. PK menjadi 3 tahun.
- Eks hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar. Putusan 8 tahun penjara. PK menjadi 7 tahun.
- Penyuap Hakim, Tamin Sukardi. Putusan 8 tahun penjara. PK menjadi 5 tahun.
- Mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip. Putusan 4 tahun 6 bulan penjara. PK menjadi 2 tahun.
- Eks Direktur Pengolahan PT Pertamina, Suroso Atmomartoyo. Pidana uang pengganti 190 ribu USD dihapus, pidana penjara 7 tahun tetap.
- Mantan panitera pengganti PN Bengkulu, Badaruddin Bachsin alias Billy. Putusan 8 tahun penjara. PK menjadi 5 tahun.
- Eks Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra. Putusan 5 tahun penjara. PK menjadi 4 tahun.
- Eks Cagub Sulawesi Tenggara, Asrun. Putusan 5 tahun penjara. PK menjadi 4 tahun.
- Eks panitera pengganti PN Jakarta Utara, Rohadi. Putusan 7 tahun penjara. PK menjadi 5 tahun.
- Eks anggota sekaligus mantan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PKB di Komisi V DPR, Musa Zainuddin. Putusan 9 tahun penjara. PK menjadi 6 tahun.
- Eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. Putusan 15 tahun penjara. PK menjadi 12 tahun.
- Eka Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil, Sugiharto. Putusan 15 tahun penjara. PK menjadi 10 tahun.
- Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Putusan 14 tahun penjara. PK menjadi 8 tahun.
Baca Juga: Kronologi Lengkap Penangkapan Mantan Sekjen Mahkamah Agung Nurhadi