Pasal Penghinaan Presiden Tidak Berlaku dalam Unjuk Rasa

Proses pembaharuan KUHP melibatkan berbagai unsur masyarakat

Jakarta, IDN Times - KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indië (WvS), sebuah peraturan perundang-undangan era kolonialisme Belanda. Setelah Indonesia merdeka, WvS diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pada saat itu, beberapa pasal yang tak lagi relevan dicabut untuk menyelaraskan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan.

Melihat prosesnya yang begitu panjang hingga puluhan tahun, membuktikan pembaharuan KUHP ini bukanlah langkah yang mudah. Ada banyak faktor yang perlu diselaraskan mengingat Indonesia yang begitu luas dengan penduduk yang beragam. 

Sementara itu kita memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang bisa mengayomi seluruh unsur sosial dan struktur masyarakat yang beragam, serta sesuai secara sosiologis maupun dinamika masyarakat yang ada. 

Karena itu, berbagai unsur masyarakat terlibat dalam diskusi publik dan sosialisasi proses pembaharuan KUHP. Pemerintah melakukan roadshow ke sebelas daerah. Hal ini dilakukan agar berbagai pihak bisa memberikan masukannya dan tercipta RKUHP yang bisa mengakomodir aspirasi masyarakat.

1. Isu Pasal Penghinaan Presiden

Pasal Penghinaan Presiden Tidak Berlaku dalam Unjuk RasaIlustrasi hukum

Faktanya, KUHP ini memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak akan pasal-pasal yang terkandung di dalamnya baru. Kekhawatiran akan risiko pasal yang multitafsir atau pasal karet begitu kencang karena ke depannya bisa menjadi jerat pidana bagi siapa pun. 

Misalnya soal pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai membatasi aspirasi masyarakat, pasal soal penodaan agama yang dikhawatirkan menjadi pasal karet, dan sebagainya. Meskipun, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bukan untuk membatasi kritik.

Pasal ini tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam RUKHP Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

2. Setelah melalui proses diskusi publik, draf terbaru RUU KUHP mengalami perubahan

Pasal Penghinaan Presiden Tidak Berlaku dalam Unjuk RasaPixabay.com/OpenClipart-Vectors

Setelah melalui proses diskusi publik, pasal ini mengalami perubahan. ancaman hukuman penjara untuk tindak pidana penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam draf terbaru RUU KUHP mengalami perubahan dengan pemangkasan dari 3,5 tahun menjadi 3 tahun.

Di UU KUHP terbaru disebutkan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wakil presiden tak berlaku jika perbuatan itu dilakukan dalam unjuk rasa. Bunyi Pasal 218 Ayat (2) dalam KUHP baru adalah: "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. 

Penjelasan terbaru tentang Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP adalah: "Yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat."

Baca Juga: Syarat Kritik Presiden Tak Kena Pasal Penghinaan: Harus Solutif

3. Penjelasan Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP versi 4 Juli 2022

Pasal Penghinaan Presiden Tidak Berlaku dalam Unjuk RasaPinterest

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP versi 4 Juli 2022 adalah: "Yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan Wakil Presiden. Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut. 

Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan Wakil Presiden lainnya. 

Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada Presiden dan Wakil Presiden atau menganjurkan penggantian Presiden dan Wakil Presiden dengan cara yang konstitusional. 

Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi Presiden dan Wakil Presiden."

4. Menkumham Yasonna: pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan MK

Pasal Penghinaan Presiden Tidak Berlaku dalam Unjuk RasaMenteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly. (Dok Dirjen AHU Kemenkumham)

“Setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Fungsi pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab,” jelas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly.

Menkumham Yasonna menegaskan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Kalau di Thailand, lebih parah. Jangan coba-coba menghina Raja, itu urusannya berat. Di Jepang dan beberapa negara hal yang lumrah. Pasal ini berbeda dengan apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Bedanya, (pasal ini) menjadi delik aduan," tandas Yasonna. (WEB)

Baca Juga: Anggota DPR Khawatir Pasal Penghinaan Lembaga di RKUHP Disalahgunakan

Topik:

  • Cynthia Kirana Dewi

Berita Terkini Lainnya