Di Balik Curhatan Wiranto di JS Luwansa

Wiranto mengaku kena sial saat zaman Orba

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI masih merekapitulasi perolehan suara dari 34 provinsi, dan baru 27 provinsi yang rampung pada Jumat (17/5). Saat itu pula Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menggelar cara dengan mengundang awak media. Dia mencurahkan isi hatinya di depan pimpinan media massa itu.

Wiranto memprediksikan sejumlah kemungkinan akan terjadi saat pengumuman hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tingkat nasional, yang dijadwalkan rampung pada Rabu (22/5). Sejumlah dugaan kerawanan diungkapkan Menko Polhukam di Ruang Nissi 1 lantai 3, Hotel JS Luwansa, Jakarta, itu.

1. Sebagian jurnalis hampir dilarang masuk ke ruangan

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Denisa Tristianty

Pukul 16.00 WIB, saya tiba di depan Ruang Nissi 1. Ruang pertemuan masih terlihat kosong. Namun, ada ruang tunggu untuk tamu di sisi timur, dan di sana juga masih terlihat beberapa tamu.

Saya datang mewakili atasanku, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis yang berhalangan datang. Acara ini memang undangan untuk pemred media massa.

Tepat pukul 16.45 WIB, para undangan dipersilakan masuk ke ruang Nissi 1. Acara hendak dimulai. Saya pun memasuki ruangan, dan sekitar lima menit kemudian, Wiranto tiba.

Sang pembawa acara yang juga staf perempuan dari Kemenko Polhukam mulai berbicara dengan pengeras suara, yang mengimbau para reporter yang hadir agar menunggu acara di luar ruangan.

"Rekan-rekan media, reporter diharap menunggu di luar ruangan," imbau pembawa acara.

"Kalau wakilin pemred, boleh ikut di dalam," ucap Kabid Humas Kemenko Polhukam Ferdinandus Seto kepada IDN Times.

Namun entah kenapa, hanya hitungan detik seorang pria bersuara kencang memberitahukan, "Tidak jadi, rekan-rekan media reporter silakan di dalam ruangan saja."

Para juru kamera dari beberapa media massa TV pun akhirnya tak jadi beranjak dari dalam ruang pertemuan. Begitu juga dengan jurnalis dari media cetak dan daring, termasuk saya.

Suara Wiranto mulai terdengar pukul 16.55 WIB. Mengenakan batik cokelat, ia berdiri di balik mimbar.

2. Wiranto menyebut tujuan mengundang media massa

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Denisa Tristianty

Wiranto memulai pidatonya dengan menyebut tujuan pertemuan ini, yakni ajang silaturahmi. Ia juga menyebut harus mengundang para pemred media massa.

"Itu berbeda dengan Menko Ekuin, berbeda dengan Menko Maritim, berbeda denga Menko Puan (Maharani). Karena kan, yang saya urus adalah manusia," ujar dia.

Keamanan, menurut Wiranto, berhubungan dengan manusia, dan sudah pasti berhubungan dengan media massa. Lalu, menghubungkan dengan kondisi di Tanah Air sekarang ini.

"Kemajuan modern yang begitu kompleks. Baik itu teknologi maupun komunikasi yang lebih mudah, lebih kompleks. Maka, sebenarnya saya membutuhkan masukan-masukan dari rekan media (massa)," ujar dia.

Baca Juga: Jelang Pengumuman Hasil Pemilu 2019, Wiranto: Ada Isu yang Seram-seram

3. Wiranto menyebut selama tiga tahun menjabat Menko Polhukam, media massa bekerja sama dengan baik

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaForum Merdeka Barat

Wiranto menyebut sudah tiga tahun menjabat Menko Polhukam. Selama itu pula, ia menyebut distribusi media massa di Indonesia sudah baik.

"Semoga semakin baik. Terima kasih ya atas tiga tahun lebih kerja samanya dengan berbagai kegiatan," kata dia.

Mantan Panglima ABRI (Panglima TNI) era Presiden Soeharto itu menuturkan Kemenko Polhukam selalu berharap dapat membangun stabilitas politik, keamanan, dan penegakan hukum yang baik. Karena itu, ia mengajak media massa agar menjadi wahana yang baik bagi masyarakat.

"Mendidik dan mencerahkan masyarakat," ucap Wiranto.

4. Mengingatkan kondisi di Indonesia menjelang penetapan hasil Pemilu 2019

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Beralih membahas politik, Wiranto mengatakan, sekarang ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi kondisi yang terus berkembang. Dia yakin pemilu 2019 berjalan jujur dan adil.

"Sedang menunggu ya, dengan sabar, penuh harap finalisasi Pemilu Serentak (2019) ini. Saya kira, kami jujur itu yang saat ini ditunggu," ujar dia.

Karena itu, Wiranto mengimbau agar semua pihak dan lapisan masyarakat menunggu dan menerima hasil akhir Pemilu 2019 dengan damai. Ia juga berharap tidak ada hal-hal yang merugikan masyarakat.

"Apalagi ini di bulan Ramadan. Itu harapan seluruh masyarakat. Agar nanti kami temui, sama-sama mendapatkan hasil pemilu," ucap dia.

5. Ada dua ancaman gangguan keamanan

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Denisa Tristianty

Meski tidak menetapkan kondisi siaga, Wiranto berbicara kemungkinan lain yang bakal terjadi pada hari penetapan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019.

"Kenyataannya tidak seindah yang kami gambarkan, tidak sesuai dengan yang diharapkan banyak masyarakat," ucap dia.

Wiranto mengaku memiliki dua pertanyaan yang mengganggu stabilitas keamanan. Pertama, mengenai kemungkinan masyarakat tidak menerima hasil Pemilu 2019.

"Dan kedua, apakah kondisi negeri ini tetap kondusif, stabil, tetap aman, damai? Mari saya menyampaikan hal-hal tersebut kepada Anda, teman-teman media," ujar dia.

6. Kekhawatiran saat pemungutan suara menjadi memok yang tidak terbukti

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Denisa Tristianty

Tak ada yang bertanya, Wiranto terus bicara. Padahal, biasanya ia dikenal sebagai menteri yang irit bicara terkait kondisi keamanan.

Ia teringat isu akan adanya kerusuhan saat pemungutan suara pada Rabu (17/4) lalu, hingga menciptakan kekhawatiran di masyarakat. Nyatanya, proses pencoblosan berjalan aman. 

"Bakal ada kerusuhan yang bakal membahayakan keselamatan manusia, masyarakat. Maka waktu itu kami ingat, dengan susah payah kami meyakinkan ke publik, gak ada. Akan aman, akan tenteram," kata dia.

Dugaan warga negara Indonesia (WNI) melancong ke luar negeri pun banyak beredar saat itu. Mereka khawatir terjadi kerusuhan. Namun, Wiranto mengklaim berhasil meyakinkan masyarakat dan mereka tetap berada di Indonesia.

Wiranto menyebut Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang dibuat kementeriannya juga diklaim telah dikikis secara perlahan. 

"Hari H nya memang keadaan betul-betul aman, damai, tidak ada insiden yang cukup signifikan yang dapat mempengaruhi kondisi nasional. Alhamdulillah, selesai," kata dia.

Menurut dia isu 'seram' saat ini tak lain terkait pernyataan kubu pasangan calon Pilpres 2019, yang tidak akan mengakui hasil rekapitulasi suara KPU RI. Wiranto menyebut ini sudah bukan isu lagi, tapi sudah pernyataan.

Isu lain yang bakal muncul jika ada dugaan kecurangan, kubu Prabowo-Sandiaga tidak akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi menggerakan people power.

"Ribut lah people power. Artinya apa? Definisinya apa? Kami kaitkan dengan hukum, apakah people power termasuk dalam kategori makar? Makar itu kayak mana?" tanya dia.

7. Wiranto mengaku sulit menjaga netralitas sebagai Menko Polhukam pada kontestasi pemilu

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Sukma Shakti

Demi menciptakan konstelasi politik sewajarnya, Wiranto mengatakan, memerlukan analisa hukum yang matang. Ia mengaku masih bingung dengan status menteri dan pendukung pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja sejatinya pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019. Alhasil, jabatan menteri pada masa kampanye juga bisa membuat dirinya tidak netral.

"Jangan sampai nanti, langkah yang saya lakukan langsung dicap sebagai instrumen dari kontestasi. Ini yang kadang-kadang susah dipisahin, padahal saya misah, misahkan betul. Tapi kenyataannya, kadang-kadang susah," tutur dia.

Wiranto berpendapat hukum yang dinilai sebagai kesepakatan kolektif, dan jika dipatuhi dapat menciptakan keteraturan dan ketertiban di masyarakat, serta sebaliknya.

Di sisi lain, menurut Wiranto, pembentukan Badan Sandi Siber Negara (BSSN) melibatkan pakar hukum. Namun, penindakan hukum juga berpotensi mengikis kebebasan jika tidak berhati-hati. 

"Tetapi kalau hukumnya terlalu kuat, akan memberangus kebebasan, juga gak bagus. Maka akan jadi suatu rezim diktatorian. Polhukam dengan masalah ini, kami juga hati-hati menindak segala indikasi yang melanggar hukum, dengan hukum yang pasti," terang dia.

8. Wiranto 'ketiban sial' menjadi Panglima TNI pada Orde Baru

Di Balik Curhatan Wiranto di JS LuwansaIDN Times/Prayugo Utomo

Sisi lain, Wiranto menyinggung soal kejelasan hukum yang terkadang belum ada kepastian. Seperti pasal tentang makar, yang bisa disebut sebagai pasal karet.

"Tapi ada juga hukum yang tidak pasti, hukum yang masih debattable, misalkan makar. Itu bagaimana sih definisi makar atau bukan?" tanya dia.

Karena itu, ia mengaku membentuk tim bantuan hukum nasional yang belum lama ini mendapat respons pedas dari banyak kalangan elite politik.  

"Mungkin yang liput tidak tahu fungsi tim bantuan hukum. Kok, kayak Kokamtib ini? Wiranto kumat Orde Baru nya," kelakar dia.

Wiranto membandingkan dirinya dengan Feisal Tanjung sebagai Panglima TNI pada Orde Baru. Pada era kepemimpinan Feisal berjalan mulus, namun saat ia menggantikan posisinya, justru seperti ketiban tangga.

Baru menjabat tiga bulan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) sekaligus Panglima ABRI pada penghujung Orde Baru, tepatnya pada 28 Febuari 1998,  Mei 1998, pemerintah Orba jatuh.

"Jadi, selama tiga bulan saya langsung merasakan gejolak luar biasa di masyarakat. Gak enak bener," curhat Wiranto.

Baca Juga: Peristiwa Malam 20 Mei 1998, Soeharto Panggil Wiranto

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya