Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp38 Triliun per Tahun 

Kerugian akibat macet di Jabodetabek Rp100 triliun per tahun

Jakarta, IDN Times - Beberapa hari belakangan, warga kembali mengeluhkan kemacetan total di Jakarta. Kemacetan itu terjadi di beberapa titik wilayah, pascahujan deras yang mengguyur Ibu Kota.

Macet di Jakarta bukan masalah baru. Kemacetan berdampak dan merugikan beberapa sektor mulai dari lingkungan, kesehatan, hingga perekonomian.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan data Bank Dunia (World Bank) menunjukkan bahwa kemacetan di Ibu Kota menyebabkan kerugian Rp38 triliun per tahun.

"Akibat kemacetan, beberapa lembaga sudah melakukan perhitungan. Misalnya World Bank, bahwa di Jakarta, kemacetan rata-rata menyebabkan kerugian Rp38 triliun per tahun," kata Syafrin dalam Focus Group Discussion (FGD) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2022 yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) di Jakarta, belum lama ini.

Dia mengatakan, jumlah tersebut didapatkan berdasarkan dua aspek penilaian, yakni kerugian waktu tempuh dan penggunaan bahan bakar minyak (BBM).

Baca Juga: Kapolda Metro Jaya Minta Jajarannya Gerak Cepat Tangani Macet Jakarta

1. Estimasi kerugian macet Jabodetabek capai Rp100 triliun

Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp38 Triliun per Tahun Ilustrasi kemacetan (IDN Times/Mardya Shakti)

Syafrin mengatakan, pada tahun 2018, kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta adalah 18-19 kilometer per jam. Namun pada tahun 2021, kecepatan rata-ratanya mencapai 24,9 kilometer per jam.

"Itu karena pada tahun 2020-2021 dampak adanya pandemik COVID-19," kata dia.

Jika Bank Dunia menunjukkan kerugian akibat kemacetan Jakarta adalah Rp38 triliun, maka penelitian Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) 2 menyebut estimasi kerugian di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akibat kemacetan mencapai Rp100 triliun.

"Karena ada kemacetan, maka para pengendara kendaraan motor di Jakarta juga sering hectic di jalan, oleh sebab itu, tidak salah jika kecelakaan lalu lintas di Jakarta cukup tinggi," ujar Syafrin.

Baca Juga: Aturan Jam Masuk Kantor untuk Atasi Macet Jakarta Masih Dikaji

2. Penyebab macet adalah jumlah kendaraan yang tinggi

Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp38 Triliun per Tahun Ilustrasi kemacetan Jakarta (IDN Times/Sunariyah)

Menurut Syafrin, salah satu alasan klasik penyebab kemacetan di Jakarta adalah pertumbuhan kendaraan bermotor yang sangat tinggi. Jumlah tersebut tidak diimbangi penambahan infrastruktur jalan yang baik.

"Bahkan dalam 5 tahun terakhir, angka pertambahan jalan di Jakarta 0,001 persen. Artinya sangat rendah dan ini harus menjadi visi Jakarta untuk melakukan perubahan paradigma penanganan secara komprehensif," ujar dia.

Oleh karena itu, ujar Syafrin, apabila penambahan infrastruktur tidak dilakukan, maka Jakarta tidak akan mampu mengejar ekspektasi masyarakat terhadap bagaimana mobilitas yang efisien karena pemerintah tidak hadir dari sisi layanan angkutan umum.

"Misalnya hanya menyediakan infrastruktur, tentu ada subisdi BBM dari pemerintah tanpa pikirkan mobilitas, artinya masyarakat yang nantinya akan memikirkan, 'saya beraktivitas dengan alat transportasi apa?" kata Syafrin.

Baca Juga: Diguyur Hujan, Kota Bekasi Macet Parah Imbas Genangan

3. Jakarta prioritaskan pejalan kaki dan pesepeda

Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp38 Triliun per Tahun Ilustrasi Jalur Sepeda (IDN Times/Dwi Agustiar)

Syafrin mengatakan, adanya kerugian tersebut membuat Pemprov DKI Jakarta berupaya melakukan upaya penanganan dengan memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda.

Dengan demikian, untuk menyediakan ruang bagi mereka, mau tidak mau pihaknya harus memanfaatkan jalur lalu lintas yang sudah ada.

Sejak 2018, ujar dia, pihaknya sudah melakukan perubahan paradigma dari sebelumnya bagaimana pemerintah menyediakan infrastruktur untuk mobilitas kendaraan, menjadi bagaimana mobilitas orang tanpa memikirkan mereka akan menggunakan apa.

"Ternyata setelah dilihat, yang paling banyak digunakan adalah kaki. Begitu ada pergerakan kaki jadi alat transportasi, maka Jakarta menempatkan ini di atas," kata dia.

Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengamanatkan bahwa keselamatan utama di jalan yang pertama adalah pejalan kaki dan pesepeda.

Dengan demikian, apabila ada pejalan kaki, maka harus ada pula penggunaan angkutan umum secara masif. Sebab, kata dia, kedua hal tersebut merupakan kata kunci dalam penyelesaian transportasi Jakarta dari semula Car Oriented Development (COD) menjadi Transit Oriented Development (TOD).

Baca Juga: Cuaca Jabodetabek 10 Oktober 2022: Jakarta Hujan Ringan Siang Hari, Cerah Berawan Sore Hari

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya