76 Tahun Merdeka, Perempuan Indonesia Masih Jadi Korban Kekerasan 

Data berupa angka bisa dorong perubahan kebijakan pemerintah

Jakarta, IDN Times - Meski Republik Indonesia telah merdeka selama 76 tahun, kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak masih membayangi perempuan Indonesia, khususnya di tengah pandemik.

Koordinator Advokasi Institut Kapal Perempuan Justin Anthonie mengungkapkan, pihaknya mencatat sepanjang 2020 sampai pertengahan 2021, telah mendampingi 75 kasus di mana 36 persen merupakan kasus perkawinan anak, kemudian 17 persen kekerasan pada perempuan, sisanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Justin menegaskan data berupa angka juga testimoni di lapangan baik pendamping di Sekolah Perempuan juga korban bisa memengaruhi kebijakan pemerintah.

"Pemerintah jadi punya kesadaran dan komitmen membangun kelompok perempuan sebagai subjek yang terbebas dari keadilan gender," ujarnya dalam acara Data Mendorong Perubahan dipantau You Tube Kapal Perempuan, Senin (16/8/2021).

 

1. Perkawinan anak mayoritas terjadi karena perjodohan dan faktor ekonomi

76 Tahun Merdeka, Perempuan Indonesia Masih Jadi Korban Kekerasan Ilustrasi pernikahan anak (Instagram/unicefindonesia)

Justin mencontohkan sejumlah kebijakan yang lahir dari data yang dikeluarkan pemerintah daerah. Di Sulawesi Barat, sebelumnya berdasarkan penelitian Kapal Perempuan, ada salah satu desa yang menunjukkan 85 perkawinan anak dilakukan karena perjodohan, adat dan faktor ekonomi.

"Mereka menikah di usia 14 sampai 16 tahun kemudian ada pembaharuan serta adanya Surat Edaran tahun 2018 yang mengatur pencegahan perkawinan anak," paparnya.

Baca Juga: Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak Bisa

2. Sejumlah daerah berkomitmen cegah perkawinan anak

76 Tahun Merdeka, Perempuan Indonesia Masih Jadi Korban Kekerasan Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, di Jawa Timur ada empat desa yang berkomitmen membuat peraturan desa tentang pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Kemudian, hal tersebut mendorong lahirnya pergub untuk menertibkan peraturan di 139 desa.

"Data juga untuk memperkuat gerakan dan training advokasi berbasis data untuk pemerintah daerah, sehingga bisa membangun jaringan advokasi kesehatan dan aktivitas khususnya pencegahan penanganan perkawinan anak," katanya.

3. Jika bergerak bersama perkawinan anak bisa dihapuskan

76 Tahun Merdeka, Perempuan Indonesia Masih Jadi Korban Kekerasan Spanduk promo Aisha Wedding (Facebook.com/Aishaweddings)

Justin menambahkan, merespons banyaknya kasus-kasus yang terjadi di desa maka Kapal Perempuan gelar kegiatan menumbuhkan kesadaran penanganan kasus yang diikuti 40 orang dari 10 provinsi dengan angka perkawinan anak tinggi, mulai Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, Bengkulu, Sumba.

"Kapal Perempuan tidak berjalan sendiri tetapi gerakan bersama advokasi berbagai pihak baik pemerintah, NGO, jurnalis, akademis, akar rumput. Sebab, jika bergerak bersama maka kita bisa mengakhiri perkawinam anak dan mencapai SDGs," tegasnya.

Baca Juga: LBH Apik Ungkap Deretan Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya