Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!

Obat kombinasi COVID-19 belum diuji klinis oleh WHO

Jakarta, IDN Times - Ahli epidemologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, meragukan validitas obat COVID-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI.

Pandu menilai, penelitian itu telah melanggar sejumlah prosedur. Dia menduga, hasil penelitian tim riset Unair itu belum di-review oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku.

"Laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis," ujarnya dalam siaran tertulis, Selasa (18/9/2030).

1. Obat kombinasi COVID-19 buatan Unair dan BIN belum diregistrasi uji klinis WHO

Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!Penelitian resep penyembuhan COVID-19 terus diupayakan (Dok.IDN Times/BNPB)

Pandu mengungkapkan, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Namun, ia mengecek obat kombinasi COVID-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO.

“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/ dan https://www.who.int/ictrp/en/,” kata Pandu.

2. Tim Unair seharusnya ikuti prosedur dengan transparan

Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!Ketua pusat penelitian pengembangan stem cell UNAIR Dokter Purwati (Tangkapan Layar BNPB Indonesia)

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut mengingatkan, seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinis.

"Semua harus mengedepankan aspek transparan. Selama tahapan riset harus dipantau oleh tim clinical monitoring yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal 3 orang, meliputi masing-masing 1 ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti," paparnya.
 
“Dan harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” tegas Pandu.

Baca Juga: Uji Klinis Obat COVID-19 Dipertanyakan, Begini Jawaban Tegas Unair

3. Ada tim clinical monitor dan kelompok independent yang evaluasi data uji klinis

Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!Unair.News

Pandu mengungkapkan, tim clinical monitor tersebut dari Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) dan kelompok independen yang evaluasi data uji klinis sehari-hari. Clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.
 
“Kesalahan prosedur yang saya duga ada yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan SECAPA. Bukan hanya yang di rumah sakit yang benar-benar butuh pengobatan,” terang Pandu.

4. Riset terkesan ingin mencari jalan pintas mengabaikan prosedur ilmiah

Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!Ilustrasi. IDN Times/Humas Bandung

Pandu mengingatkan agar setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan di-review oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM RI. Pandu mengimbau Komite Etik ini sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes RI dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.
 
Meski demikian, Pandu sedari awal sudah meragukan riset tersebut yang terkesan ingin mencari jalan pintas dengan mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan.

“Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.

5. BPOM harus tegas bila obat belum sesuai syarat

Ahli Epidemiologi: Obat COVID-19 Temuan Unair Langgar Prosedur!Laboratorium Biohazard BPOM (Dok. Humas Badan POM)

Pandu berharap agar lembaga otoritas BPOM bersikap tegas apabila belum memenuhi syarat tersebut. BPOM juga bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi COVID-19.

"Seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM RI terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya. Dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19 pertama di dunia. Hal ini, menurut Pandu, tidak sesuai dengan prosedur.

“Ya ini uji klinik pertama obat COVID-19 di dunia yang anomali, dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” pungkas Pandu.

Baca Juga: Gandeng TNI AD, Polri, BIN, UNAIR Klaim Temukan Obat COVID-19

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya