Berkaca Kasus Ferdy Sambo, Pakar: Negara Kepolisian Republik Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pembunuhan Brigadir J membuat seluruh publik bergidik, apalagi jika keluarga tidak melaporkan kejanggalan kematian Brigadir J, kasus pembunuhan yang didalangi Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo bisa jadi akan terkubur.
Pakar Sosiolog Laode Ida menilai, kasus tersebut tidak terungkap dan tidak dibuka karena terjadi di rumah petinggi Polri yang dinilai memiliki kedekatan dengan Kapolri serta pimpinan Polri. Namun, pelan-pelan kasus ini mulai terbuka meski belum terungkap motifnya.
“Tetapi setelah perjalanan waktu, saya juga tahu Pak Mahfud keras buka ini, dan arahan Pak Jokowi (Presiden Joko “Jokowi” Widodo) buat kasus ini pelan-pelan terbongkar,” ujar Laode dalam diskusi daring yang digelar TAMPAK, Jumat (19/8/2022).
Baca Juga: Mahfud Bongkar Sepak Terjang Sambo: Dia Ditakuti di Polri, Punya Geng
1. Polisi di Indonesia memiliki kekuasaan yang berlebihan
Dari kasus Ferdy Sambo, Laode melihat karakter polisi di Indonesia memiliki kekuasaan yang berlebihan, bahkan segala urusan di seluruh negeri ditangani polisi.
“Bahkan ada teman saya berkali-kali berkata Indonesia itu NKRI bang, Negara Kepolisian Republik Indonesia, karena begitu kuatnya institusi kepolisian sehingga kalau mereka melakukan pengawasan tidak ada yang mengawasi atau tidak efektif,” katanya.
2. Para jenderal Polri sulit diawasi
Editor’s picks
Laode mengatakan karakter tersebut terjadi karena tidak ada satu pun lembaga yang mengontrol institusi kepolisian yang diberikan negara dan pemerintah banyak tugas, pekerjaan, dan kewenangan.
“Tegaknya aturan tidak bisa ditentukan penyelenggara aturan itu sendiri, tetapi perlu pengawasan lembaga itu, lembaga kepolisian tidak ada, apalagi para jenderal itu sulit diawasi,” ujarnya.
3. Tidak ada pengawasan terhadap kepolisian
Laode memaparkan lembaga pengawasan publik sebenarnya ada tiga yakni DPR untuk politik, lalu masyarakat sebagai kontrol sosial, termasuk lembaga kajian, NGO, dan individu berhak melakukan kontrol pada siapa pun, termasuk penyelenggara pelayanan publik kepolisian, kemudian Ombudsman, Komnas HAM dan lainnya.
“Internal ada Kompolnas, di internalnya ada Irwasum. Sebenarnya di internalnya ada kewajiban tanggung jawab untuk saling mengontrol atasannya, Kapolri, Wakapolri mengontrol bawahannya, sebaliknya, bawahannya mengingatkan atasannya tetapi ini tidak terjadi. Akibatnya, Polri bebas sekali, sehingga kalau mereka melakukan pelanggaran tidak ada yang mengawasi,” kata dia.
“Jadi siapa yang lakukan pengawasan? Tidak ada lagi karena kuatnya kewenangan, luasnya pekerjaan, jadi pengawas diri sendiri, semua usulan tadi tidak mempan," sambung Laode.