Dilema COVID-19 di Indonesia: Takut Gelombang Kedua, Tapi Bepergian
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Munculnya gelombang dua pandemik COVID-19 yang kemungkinan dipicu arus balik maupun kedatangan anak buah kapal (ABK), pekerja migran, maupun mereka yang pulang dari luar negeri, mulai meresahkan masyarakat. Apalagi kasus kasus terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah setiap hari.
Pada Rabu (3/6) ada kenaikan kasus sebanyak 684 sehingga total kasus positif bertambah menjadi 28.233 orang.
Menyikapi kekhawatiran tersebut, Ketua Laboratorium Mikrobiologi FKUI Prof. Pratiwi Sudarmono menyampaikan bahwa ketakutan sebagian masyarakat tidak diikuti perilaku yang tepat.
“Takut gelombang kedua, tapi sekarang kayaknya mereka merasa lebih leluasa untuk pergi ke sana kemari. Ada yang pergi tanpa masker, pergi ke tempat berkerumun, mulai coba minum kopi, pergi ke restoran, dan seterusnya. Jadi ketakutannya iya, tetapi perilakunya tidak,” ujar Prof. Pratiwi dalam konferensi pers melalui YouTube channel BNPB.
1. Mutasi COVID-19 secara kontinu sangat mudah terjadi
Prof. Pratiwi mengatakan virus corona dari waktu ke waktu melakukan perubahan pada dirinya. Mutasi secara kontinu ini sangat mudah terjadi mengingat sifat virus ini sebagai virus RNA.
"Oleh karena itu, perlu sikap yang tepat untuk menghadapi potensi penularan," tegasnya.
Baca Juga: [CEK FAKTA] Pemprov DKI Jakarta Perpanjang PSBB hingga 18 Juni?
2. Gelombang dua bisa dicegah
Editor’s picks
Panduan kesehatan, seperti penggunaan masker, mencuci tangan dengan sabun, dan jaga jarak merupakan panduan penting untuk melindungi diri dari penyakit ini.
"Dengan perubahan perilaku, gelombang kedua penyebaran virus SARS-CoV-2 dapat senantiasa dicegah," ucapnya.
3. Lonjakan kasus baru bisa saja muncul karena masyarakat tak patuh protokol kesehatan
Sementara itu, Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dr. Pandu Riono mengatakan, jika masyarakat kurang disiplin dengan keluar rumah serta abai terhadap protokol kesehatan, maka lonjakan kasus baru bisa terjadi.
"Bisa jadi muncul gelombang kedua atau lonjakan-lonjakan baru," ujar Pandu.
4. Masyarakat saat ini yang memegang kendali
Menurut Pandu, saat ini masyarakat sendiri yang memegang kendali terhadap virus corona atau COVID-19. Dia mencontohkan beberapa daerah yang tidak melaksanakan PSBB, tapi lebih berhasil dalam pengertian kasus.
"Contohnya masyarakat di Bali, mereka memang bagus ya jadi patuh terhadap adat, karena jadi bukan urusan pemerintah, masyarakat lebih tunduk pada penalti adat," ujarnya.
Baca Juga: 7,9 Persen Pasien Positif COVID-19 di Indonesia adalah Anak-anak