Fenomena Kalung AntiCovid Jangan Terulang, Harus Berdasarkan Data

Pandemik sadarkan pentingnya data dan pengetahuan

Jakarta, IDN Times - Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkapkan pandemik COVID-19 yang berlangsung selama 2 tahun menguak banyak kesenjangan kebijakan pelayanan kesehatan primer yang berujung pada masalah kesehatan populasi.

Satryo menegaskan kunci masalah tersebut adalah kecenderungan beberapa pemangku kepentingan mengacuhkan data dan ilmu pengetahuan dalam membuat kebijakan.

“Di awal pandemik, muncul perdebatan lockdown apa tidak. Lalu ada perdebatan tentang karantina, sampai ke vaksinasi. Itu semua terjadi karena kita tidak punya standar atau acuan yang baik dalam mengambil keputusan, baik itu untuk perorangan, kelompok masyarakat, ataupun formula dalam menentukan kebijakan. Semuanya terkadang bersifat responsif dan asumsi, di mana ketika kita asyik berdebat, nyawa manusia terus melayang," ujarnya dalam Kajian Situasi Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia secara virtual, Rabu ( 16/3/2022).

1. Abaikan saran ahli saat Kementan luncurkan kalung antivirus

Fenomena Kalung AntiCovid Jangan Terulang, Harus Berdasarkan DataKalung Eucalyptus sebagai antivirus COVID-19 (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Satryo mencontohkan penentuan kebijakan yang tidak berdasarkan pengetahuan juga terjadi saat peneliti masih mencari bukti awal pandemik, saat itu Kementerian Pertanian mengeluarkan kalung antivirus Corona yang diklaim menangkal COVID-19.

"Yang mengejutkannya saat para ahli memberikan pandangan dan saran pada pembuat kebijakan berdasarkan bukti berbasis data diabaikan," imbuhnya.

Baca Juga: Balitbangtan: Kalung Antivirus Corona Sudah Diujikan ke Pasien Positif

2. Kala Menkes lebih percaya ginseng untuk atasi wabah

Fenomena Kalung AntiCovid Jangan Terulang, Harus Berdasarkan DataMenteri Kesehatan, Terawan (Youtube.com/rspi sulianti saroso video)

Kondisi serupa juga terjadi saat awal pandemik, Satryo mengatakan pada Mei 2020 lalu, Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto saat itu malah mengandalkan ginseng dan minuman herbal untuk mengobati wabah global.

"Lupa dia bahwa Indonesia memiliki lebih dari 10.000 puskesmas dengan lebih dari 67.000 dokter serta perawat yang bisa diandalkan," imbuhnya.

3. Pembuat kebijakan membutuhkan fakta sebagai elemen utama

Fenomena Kalung AntiCovid Jangan Terulang, Harus Berdasarkan DataKetua AIPI/IDN Times Dini Suciatiningrum

Satryo mengatakan pengalaman tersebut menjadikan pelajaran agar lebih peka terhadap data dan pengetahuan agar tidak kembali terulang.

Untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran, realistis dan tepat sasaran dapat dilaksanakan pembuat kebijakan membutuhkan fakta (evidence) sebagai elemen utama.

"Metodologi ini dipilih dalam beberapa tingkatan hirarki. Contoh penerapan evidence dalam pembuat kebijakan terlihat pada laporan Delivered by Woman Led By Men : A Gender And Equity Analysis of The Global Health and Social Workforce (WHO) pada tahun 2019 yang memberikan serangkaian evidence dari sudut pandang keadilan untuk tenaga kesehatan," terannya.

Proses pembuatan kebijakan berbasis fakta ini secara konsisten dipakai di banyak negara dan hendaknya digunakan secara sistematis dan menyeluruh oleh para pemangku kepentingan Indonesia untuk mempercepat capaian target pembangunan kesehatan nasional.

4. AIPI dan CISDI meluncurkan dokumen kajian untuk perkuat sistem kesehatan

Fenomena Kalung AntiCovid Jangan Terulang, Harus Berdasarkan DataPetugas PMI Jakarta Pusat menyemprotkan cairan disinfektan di SDN Johar Baru 03. Jakarta, Sabtu (22/1/2022). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Untuk itu, AIPI bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Indonesia (CISDI) meluncurkan dokumen kajian bertajuk Foresight untuk Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer Indonesia untuk memberikan rekomendasi dan menata ulang upaya penguatan layanan kesehatan primer Indonesia di masa depan kepada pemangku kebijakan.

“Aktivitas ini dilakukan sebagai bukti kolaborasi multi aktor di sektor kesehatan untuk menentukan terobosan kebijakan berdasarkan bukti,” imbuh Satryo.

Berdasarkan kajian ini, kedua lembaga tersebut mengantarkan aspirasi untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer atau biasa juga disebut primary health care (PHC) melalui sebuah perubahan struktural dan transformatif.

"Bukan hanya untuk menyelesaikan pandemik namun juga memastikan Indonesia memiliki sistem kesehatan nasional lebih kuat setelah wabah berlalu," tegasnya.

Baca Juga: Anggota Dewan Ramai-ramai Sindir Mentan Pakai Kalung Antivirus Corona 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya