Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?

Mereka culture shock, tidak siap menghadapi proses perubahan

Jakarta, IDN Times - Sejumlah warga desa di Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur mendadak menjadi miliarder usai mendapat ganti rugi dari penjualan tanah dan lahan untuk proyek pembangunan kilang minyak PT Pertamina pada Februari tahun lalu.

Mereka umumnya memborong membeli mobil dan kebutuhan mewah lainnya. Namun, setelah satu tahun berlalu, beberapa warga tersebut jatuh miskin karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang mereka bisa dapatkan sebagaimana mana saat mereka bisa menggarap lahan pertaniannya.

Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menilai fenomena munculnya warga miliarder yang tiba-tiba menjadi jatuh miskin menunjukkan adanya fenomena culture shock atau gegar budaya yang tidak dapat dikelola dengan baik. 

“Budaya konsumtif dan budaya instan yang ada di masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat tidak berpikir untuk jangka panjang,” kata Hempri dalam siaran tertulis, Kamis (27/1/2022).

Baca Juga: Cerita Warga Kampung Miliarder Tuban yang Kini Susah Makan

1. Masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan

Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?Rumah milik warga kampung miliarder Tuban. IDN Times/Imron

Menurutnya, masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi dan sayangnya tidak ada pendampingan dari pemerintah atau perusahaan di dalam mengelola uang ganti rugi tersebut. 

Fenomena miliarder yang jatuh miskin ini bagi Hempri tidak hanya akan terjadi di Tuban. Menurutnya, daerah-daerah lain yang mengalami ganti rugi lahan sebagai dampak dari proyek pembangunan, juga perlu diantisipasi. 

"Selama ini, banyak kasus yang terjadi kompensasi ganti rugi lahan dianggap cukup selesai ketika masyarakat sudah menerima uang sebagai kompensasi tersebut. Tidak ada arahan dari pemerintah misalnya terkait penggunaan dana kompensasi tersebut," paparnya.

Baca Juga: Setahun Berlalu, Begini Potret Kampung Miliarder Tuban Sekarang

2. Dana untuk kepentingan konsumtif

Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?Rumah milik warga kampung miliarder Tuban. IDN Times/Imron

Akibatnya lanjut Hempri, masyarakat yang kemudian menggunakan dana tersebut untuk kepentingan konsumtif membeli mobil, rumah dan sebagainya.

"Kalaupun membuka usaha seringkali kecenderungan hampir sama seperti membuka warung kelontong atau usaha dagang. Padahal, masyarakat tidak memiliki bekal untuk itu sehingga mereka mengalami kegagalan di dalam merintis usaha,” ungkapnya.

Baca Juga: Kekayaan Miliarder Bertambah Rp70 Ribu Triliun Selama Pandemik

3. Jangan sampai proyek pembangunan munculkan masyarakat miskin

Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?Rumah milik warga kampung miliarder Tuban. IDN Times/Imron

Hempri menambahkan untuk mengatasi aga kasus warga Sumurgeneng di Tuban ini tidak terulang, sebaiknya perusahaan membantu masyarakat terdampak ini untuk tetap bisa bertahan.

"Bisa saja dilakukan dengan pemberian keterampilan yang dapat mendorong masyarakat untuk merintis UMKM. Kasus di Tuban ini seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk kedepannya. Sebab, kasus-kasus pembebasan lahan baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan harus memperhatikan dampak jangka panjang," katanya.

”Jangan sampai proyek-proyek pembangunan justru memarginalisasikan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran,” imbuhnya.

4. Pemerintah bisa memberikan pelatihan untuk masyarakat

Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?Rumah milik warga kampung miliarder Tuban. IDN Times/Imron

Selain itu, pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Bahkan, kompensasi-kompensasi yang muncul mungkin tidak sekedar uang, akan tetapi program-program alih profesi, memberikan pelatihan dan keterampilan masyarakat dapat dilakukan untuk itu. 

“Perusahaan dapat mengembangkan program-program tersebut melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk mengembangkan program-program alih profesi ini,” ujarnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya