Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan Anak

Indonesia masuk 10 negara dengan perkawinan anak tinggi

Jakarta, IDN Times - Tangis Zahra pecah tatkala beberapa menit lagi dia harus merelakan masa depannya sebagai istri ketiga di usia yang masih belia. Perempuan berusia 17 tahun terus menangis di depan cermin. Air matanya pun yang membasahi pipi dan baju pengantin putih yang dia kenakan.

Saat itu, lenyap sudah mimpi Zahra untuk menggapai cita-cita menjadi dokter karena terpaksa menjadi istri ketiga seorang juragan di kampung bernama Tirta (39).

"Ya Allah apakah aku harus mengakhiri cita-cita selama ini, aku ingin menikah setelah menjadi dokter dengan pria yang aku cintai, apa yang terjadi akan terjadi setelah ini," ujar Zahra dalam tayangan episode 2, Sinetron Mega Series Indosiar “Suara Hati Istri Zahra".

Itulah sekelumit kisah sinetron Zahra yang mendapat sorotan publik. Sinetron yang baru saja tayang 8 episode ini terus menuai kecaman dari berbagai pihak. Saat negara berperang melawan pernikahan dini, banyak yang menilai sinetron tersebut justru mengkampanyekan pernikahan anak, terlebih pemeran Zahra diperankan oleh seorang anak berusia 15 tahun. Sesuai Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 UU, batas minimal menikah perempuan di usia 19 tahun.

Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, angka perkawinan anak meningkat pesat hingga tiga kali lipat pada 2020. Data Badan Pengadilan Agama (BADILAG), dari 23.126 kasus perkawinan anak (dispensasi nikah) di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada 2020.

Kecaman terhadap sinetron Zahra mencapai puncak tatkala stasiun televisi tersebut mengunggah di channel You Tube salah satu episodenya yang berjudul “Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta! Istri Pertama & Kedua Panas?Mega Series SHI - Zahra Episode 3” Sontak, video tersebuat warganet berang bahkan nama Zahra trending di Twitter pada Selasa (2/6/2021).

Warganet mendesak sejumlah lembaga turun tangan dan menghentikan tayangan tersebut.

"Wahai @indosiar, ini keterlaluan. Sangat amat keterlaluan. Pemeran Zahra itu usianya masih 15 tahun. Okelah tolak ukur TV adalah rating, tapi tolak ukur manusia adalah nurani dan akal sehat. Menurut kalian ini wajar?" tulis sutradara juga penulis skenario Ernest Prakas dalam akun Instagramnya.

Lantas, bagaimana sikap para pemangku kepentingan penyiaran nasional terkait fenomena sinetron yang dinilai tak mendidik ini?

1. Usai viral baru sejumlah lembaga turun tangan

Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan Anakpemain sinetron Suara Hati Istri: Zahra di balik layar (instagram.com/@zoravidyanata

Jeritan warganet membuat sejumlah lembaga pemerhati dan perlindungan anak pun turun tangan. Pada Kamis (3/6/2021), Komisi Penyiaran Indonesia, Lembaga Sensor Film, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kantor Staf Presiden dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia memggelar rapat koordinasi.

Ketua KPAI Susanto mengatakan pihaknya sudah menerima laporan dan dalam rapat menghasilkan sejumlah poin antara lain agar tayangan yang ditampilkan memperhatikan peran dan adegan yang dilakukan oleh anak harus sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya, memastikan Perlindungan Anak dalam proses perencanaan produksi, produksi dan penayangan.

"Kami juga minta Komisi Penyiaran Indonesia agar memberikan sikap yang tegas sesuai ketentuan yang berlaku dan elakukan telaah dan pendalaman lebih lanjut terkait dugaan pelanggaran lainnya," ujarnya dalam pesan yang diterima IDN Times.

Baca Juga: Jaringan Koalisi 18+ Desak KPI Turunkan Semua Episode Suara Hati Istri

2. Anak-anak terjebak pada pernikahan dini

Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan AnakIDN Times/Afriani Susanti

Dalam catatan KPAI, kasus yang melibatkan anak yang sangat dekat dengan keluarga dan tinggi angkanya, dari 2011 hingga 2020, yaitu pertama 12.943 kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum, kemudian kedua 7.777 kasus keluarga dan Pengasuhan Alternatif.

"Dunia berlindung anak ada 3 (keluarga, sekolah dan lingkungan). Maka jika tidak selamat di keluarga maka mereka akan mencarinya di sekolah dan ketika tidak mendapatkan, maka lingkungan menjadi pilihan terakhir anak. Di lingkungan inilah yang tak bertuan, sehingga anak-anak terjebak pada pernikahan dini," imbuh Komisioner KPAI Jasra Putra.

Desakan juga disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghentikan tayangan sinetron Suara Hati Istri.

Menurut KOMPAKS juga mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak, bahkan kekerasan seksual terhadap anak.

"Melihat berbagai fakta dan realita yang dialami korban perkawinan anak, sungguh miris ketika sebuah sinetron yang ditayangkan melalui saluran televisi nasional telah mendukung, melanggengkan, dan bahkan mendapatkan keuntungan (monetisasi) dari isu perkawinan anak, alih-alih melakukan hal-hal yang dapat berkontribusi pada penghapusan kekerasan berbasis gender yang satu ini," ungkap KOMPAKS dalam keterangannya, Rabu (2/6/2021).

"Oleh karenanya, penayangan sinetron ini telah melanggengkan praktik perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender, dan momok bagi banyak anak perempuan di Indonesia," tulis KOMPAKS. 

 

3. Tok! KPI hentikan sinetron Zahra

Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan AnakTwitter

Riuhnya suara publik membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya mengambil langkah. Akhirnya, KPI menghentikan sementara Sinetron Suara Hati Istri Zahra. Tayangan ini dinilai memiliki muatan yang berpotensi melanggar Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran pada Sabtu (5/6/2021).

Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo menambahkna pihaknya meminta adanya evaluasi secara menyeluruh terhadap sinetron tersebut.

Evaluasi tersebut mencakup  jalan cerita dan kesesuaiannya dengan klasifikasi program siaran yang telah serta penggunaan artis yang  masih berusia 15 tahun untuk berperan sebagai istri ketiga.

"KPI sendiri telah menerima aduan dari masyarakat yang disampaikan lewat berbagai saluran media sosial, atas sinetron ini. Aduan tersebut dikarenakan adanya artis yang masih berusia 15 tahun untuk peran istri ketiga. Padahal dalam undang-undang perlindungan anak, usia 15 masih masuk kategori anak," ujarnya dikutip dalam situs resmi KPI.go.id.

Mulyo menambahkan keberatan publik disampaikan ke KPI juga terkait muatan cerita yang sarat dengan kekerasan dalam rumah tangga dan romantisme suami istri yang berlebihan.

"Sehingga, jika dikaitkan dengan pemeran utama yang masih 15 tahun, tentu berpotensi melanggar hak-hak anak," tegasnya.

 

4. Pihak stasiun televisi akan ganti pemeran dan jalur cerita

Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan AnakIlustrasi Sensor Konten (IDN Times/Mardya Shakti)

Sisi lain, derasnya kritikan terhadap rumah produksi dan pihak stasiun televisi tidak serta merta menghentikan kisah Zahra di layar kaca. Pihak Indosiar yang diwakili Direktur Program Harsiwi Ahmad tidak sepakat jika sinetron ini dianggap menjadi promosi pernikahan dini, menurutnya dalam sinetron Zahra diceritakan telah lulus SMA.

Sedangkan terkait poligami, ide awalnya adalah ingin memberikan gambaran proporsional poligami yang dapat menimbulkan masalah dan intrik.

Meski begitu, Harsiwi menyatakan, pihaknya juga sudah bersiap mengganti pemeran Zahra dengan artis lain yang usianya sudah bukan remaja. Sehingga dapat memenuhi kepantasan usia atas peran yang diberikan dan alur cerita yang sesuai dengan jam penayangan. 

Pihaknya berkomitmen untuk mengubah jalan cerita dari sinetron Zahra. Harsiwi memahami masukan terkait KDRT dan juga romantisme yang dibangun dalam cerita ini.

"Sinetron ini ke depan akan meniadakan adegan yang sensitif seperti KDRT yang dikeluhkan publik, serta disesuaikan dengan aturan yang ada," ucapnya.

5. Indonesia masuk 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi

Fenomena Sinetron Zahra di Tengah Maraknya Pernikahan AnakInfografis pernikahan anak di Indonesia/Aditya Pratama

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengimbau, konten apapun di media penyiaran harus memberi informasi yang mendidik, terlebih pada anak.

“Konten apapun yang ditayangkan oleh media penyiaran jangan hanya dilihat dari sisi hiburan semata, tapi juga harus memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak. Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak,” kata Bintang dalam keterangannya, Kamis (3/6/2021).

Pernikahan dini masih jadi pekerjaan rumah dan masih menjadi momok bagi perempuan Indonesia.

Berdasarkan data Puskapa (Center On Child Protection and Wellbeing)
Pada 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun yang diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900. Angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Tentu ini bukan hanya sebuah angka namun keprihatinan, Indonesia masih berperang lawan pernikahan anak.

Baca Juga: KPI Hentikan Sementara Sinetron Suara Hati Istri: Zahra 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya