Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak Bisa

Menjadi korban pelecehan seksual menimbulkan traumatis

Jakarta, IDN Times - Tubuh Dilla tiba-tiba membeku, suaranya seketika tercekat seakan berhenti di tenggorokan meski sumpah serapah berkeliaran di dalam pikirannya saat seorang lelaki menekannya dari belakang. Pria bertopi itu menggesekkan kemaluannya saat berdesakan dalam bus TransJakarta.

Pelecehan seksual di transportasi publik masih menjadi momok bagi perempuan. Pengalaman menjijikkan tersebut pernah menimpa Dilla. Perempuan berusia 23 tahun ini tidak pernah membayangkan menjadi korban pelecehan seksual di transportasi umum.

"Beberapa kali pernah aku alami, bahkan kejadian itu sampai membekas. Tapi aku juga bingung saat itu tiba-tiba nge-freeze gitu, jadi kalut gak tahu mau ngomong apa, ingin banget teriak tapi gak bisa," ujarnya sambil menahan tangis saat bercerita pada IDN Times, Kamis (10/6/2021).

Aksi pelecehan itu dialami Dilla pada 2020 lalu. Namun, itu bukan pertama kalinya. Dilla akhirnya baru berani buka suara, kepada IDN Times dia menceritakan pengalaman buruknya menjadi korban pelecehan seksual di transportasi umum.

Baca Juga: 3 Langkah yang Kamu Harus Lakukan Setelah Alami Pelecehan Seksual

1. Modus pelaku pelecehan duduk samping korban meski banyak bangku kosong dalam bus

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaIlustrasi bus AKAP saat mudik Lebaran. ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Masih lekat dalam ingatan Dilla, pada akhir 2017 saat perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta. Wanita berhijab ini mengatakan, dia sudah terbiasa naik bus saat pulang ke rumahnya di Koja Jakarta Utara, satu bulan sekali saat duduk di bangku kuliah.

Namun, nasib sial saat itu menimpa Dilla saat pulang. Ba'da magrib, bus yang ditumpangi melaju. Dilla duduk di bangku dekat jendela sambil mendengarkan musik untuk mengusir kesepian.

Tiba-tiba, sopir bus menghentikan laju bus dan menepi dan mencari penumpang sebelum masuk ke tol. Keganjilan mulai terjadi, saat seorang penumpang pria naik. Meski banyak bangku yang kosong, pria tersebut duduk di sebelah Dilla.

Dilla hanya melihat sekilas dan kembali dengan gadget di tangannya memutar musik kesukaannya dan berkirim pesan dengan teman-temannya.

Baca Juga: Waspada! 42 Kasus Pelecehan Seksual di KRL Terjadi selama 2019-2021

2. Pria tak dikenal lecehkan Dilla di dalam bus

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaIDN Times/Khaerul Anwar

Saat memasuki tol, pria tersebut meletakkan tas ransel di atas pangkuannya dan memeluk ransel tersebut, namun semakin lama pria itu semakin mendekat hingga pundaknya menempel di pundak Dilla.

"Pria ini duduknya mendekat ke arah aku tapi masih dalam posisi yang sama seperti sebelumnya yakni dia tidur sambil meluk tasnya. Tapi kok semakin lama dia mendekat sampai akhirnya pundak kita nempel. Di situ aku mulai risih, aku sudah curiga sejak awal dia geser posisi tidur, makanya aku langsung chat sama teman-teman cerita kondisi dalam bus," ujarnya.

Di bawah sinar lampu bus yang temaram, pria tersebut melancarkan aksinya. Ketika tengah asyik berkirim pesan, dia tiba-tiba tersentak saat merasakan ada jari-jemari yang mengusap-usap pahanya.

"Aku kaget saat itu, sempat nge-freeze dan takut," ungkapnya.

Melihat Dilla yang terdiam, pria tersebut semakin berani dan tidak berhenti mengusap paha sampai naik ke arah perut. Tubuh Dilla bergetar takut dan keringat dingin pun keluar.

"Di situ tadinya aku mau teriak untuk manggil kenek busnya, tapi tenggorokan aku kayak tercekat jadi ga bisa ngomong. Syukurnya teman-temanku memberikan support melalui pesan. Aku mengumpulkan keberanian dan langsung berdiri dan menegur dia untuk pindah. "Maaaas, bisa geser gak? Tempat saya sempit banget, itu kursinya masih luas," ujar Dilla.

Akhirnya, penumpang itu bangun dan berpindah ke posisi. Darah Dilla mendidih saat melihat tangan kiri pria itu disembunyikan di bawah tas ranselnya.

"Rasanya pengin nabok, tapi udah keburu kaku sekaligus benci sama penumpang itu, untuk negur aku bener-bener takut banget dan suaraku pas ngomong pun jadi sumbang. Lalu, gak lama penumpang ini pun turun di tengah tol," ceritanya.

3. Pelecehan seksual kembali dialami Dilla di dalam bus Transjakarta

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Mirisnya, belum hilang ketakutan masa lalu, Dilla kembali mengalami pelecehan seksual pada awal 2020. Dia menceritakan hampir tiap hari menggunakan bus TransJakarta saat berangkat dan pulang kerja.

Hingga suatu hari, perempuan yang bekerja di perusahaan swasta ini menjadi korban pelecehan di dalam bus TransJakarta.

Dilla mengkisahkan saat itu jam berangkat kerja dan memang kondisi bus penuh sesak, penumpang pria dan wanita bercampur. Dalam keadaan berdiri, Dilla mencoba menjaga keseimbangan. Namun, Dilla merasa pria yang berdiri tepat di belakangnya terus memepet badannya.

Awalnya, Dilla memaklumi kondisi tersebut sebab memang sesak. Tapi, makin lama, pria di belakang Dilla melakukan sesuatu yang menjijikkan.

"Aku bingung awalnya, ngapain ni orang nempel banget, tapi emang aku liat di belakang bener-bener penuh. Tapi lama-lama cowok itu kurang ajar, dia malah kayak nekan aku gitu dari belakang dan menggesek kemaluannya gitu," ungkapnya.

Rasanya, dia ingin teriak namun tubuhnya saat itu seakan membeku, lidahnya pun kelu. Dilla berusaha melangkah maju menghindari gesekan predator tersebut.

"Aku di situ cuma ngeliatin si cowok dan dalam hati bilang 'Dih GILA LOE YA'. Aku saat itu memang diam karena bus penuh orang, aku juga bingung. Aku gak tahu dalam kondisi tersebut suaraku selalu susah dikeluarin. Aku seringnya nge-freeze gitu, padahal di kepala udah bersumpah serapah," katanya.

"Makanya sebel banget sama orang-orang yang bilang kalau dilecehin teriaklah, ya kalau bisa mah pasti teriak, masalahnya suka gak bisa," ujarnya sambil menahan tangis.

4. Jangan takut merekam aksi pelecehan sebagai bukti laporan sekaligus sanksi sosial

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaIlustrasi media sosial. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dilla tidak tahu harus lapor ke mana saat menjadi korban pelecehan. Dia juga menyesal saat dilecehkan tidak mengambil foto atau video predator seksual yang mengerikan tersebut. Dilla yakin sanksi sosial lebih ampuh memberi pelajaran pada pelaku yang kurang ajar padanya.

"Sayangnya saat kejadian di bus waktu kuliah itu (tahun 2017) di dalam bus gelap, nah yang di bus TransJakarta itu kan ramai, aku bingung fotoinnya. Ih kesel banget, serem banget kalau ingat pingin rasanya nyebarin ke media sosial," imbuhnya.

Dua peristiwa tersebut membuat Dilla semakin waspada saat naik transportasi umum. Kini dia memilih tempat duduk yang dekat sesama perempuan serta tidak ingin bepergian jauh sendirian.

Dilla juga ingin lebih tegas dan berani lagi bila ada yang mencoba mengganggu bahkan melecehkan dia.

"Dulu masih penakut, tapi kalau sekarang aku digituin pasti akan lebih berani untuk negur biar dia malu. Karena sekarang sih jika ada yang cat calling aja aku suka berhenti terus aku liatin orangnya, biasanya mereka langsung diem atau reflek rekam aja kali ya. Habis kesel, mau dibawa ke polisi juga gak ada hukumnya kan jadi biarin hukum sosial aja yang berlaku," katanya.

 

Baca Juga: 6 Fakta Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

5. Ini yang harus dilakukan saat kamu menjadi korban pelecehan seksual

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Kasus pelecehan seksual masih sering kali terjadi di ruang-ruang publik, salah satunya transportasi umum. Berdasarkan survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2019, terdapat 46,8 persen dari 62.224 responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.

Survei tersebut juga menyebut angkutan umum yang paling sering menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual adalah bus, angkot, dan kereta.

Perwakilan KRPA sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS), Neqy, menyarankan beberapa langkah yang bisa dilakukan sesaat setelah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, khususnya transportasi umum.

Diungkapkan Neqy dalam acara Ngobrol Seru by IDN Times: "Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum!", bagi korban yang mengalami kekerasan seksual di transportasi publik harus segera meninggalkan lokasi tempat kejadian. Misalnya saat di kereta, korban bisa buru-buru keluar di stasiun terdekat.

Jika masih melewati beberapa stasiun lagi untuk sampai di stasiun tujuan, korban lebih baik keluar di stasiun terdekat, menjauhi lokasi, dan pelaku secepat mungkin.

Selanjutnya, sesaat setelah mengalami pelecehan seksual, korban sebaiknya segera mencari tempat yang ramai dan terang.  Menurut Neqy, biasanya ketika seseorang berada di lokasi yang ramai dan terang, pelaku juga tidak berani untuk membuntuti orang tersebut.

Kemudian, Neqy menyarankan agar korban pelecehan seksual segera menghubungi orang dewasa yang dikenal dan dipercaya, tidak harus keluarga. Menurutnya, hal tersebut penting karena agar segera mengurangi efek trauma dengan bercerita kepada orang yang dihubungi.

Ia melanjutkan, korban memerlukan bantuan ini karena situasi tonic immobility yang dialami membuat korban terkadang tidak bisa berpikir jernih harus berbuat apa. Makanya, korban perlu bantuan berbicara dengan orang lain untuk mencari saran langkah seperti apa yang harus dilakukan.

Menurut Neqy, melaporkan kejadian pelecehan seksual bagi korban adalah opsional karena tidak semua orang berani dan punya waktu. Hal yang terpenting adalah selamatkan diri sendiri. Memilih tidak langsung melaporkan adalah salah satu opsi. Jika tidak mau melakukan bukan masalah, prinsip utamanya adalah memastikan keselamatan diri sendiri usai mengalami pelecehan seksual.

6. Tiga dari lima perempuan pernah alami pelecehan seksual

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaInfografis Darurat Pelecehan Seksual di Ruang Publik/ IDN Times Aditya

Dilla hanya satu dari seribu perempuan yang mengalami pelecehan seksual di tempat publik. Berdasarkan survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2019 menemukan hasil bahwa tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Sementara satu dari 10 laki-laki juga pernah mengalami pelecehan di ruang publik.

Relawan Lentera Sintas Indonesia Rastra Yasland mengatakan, ada 64 persen dari 38.766 responden perempuan yang disurvei mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan 11 persen dari 23.403 responden laki-laki dan 69 persen dari 45 responden gender lainnya mengungkapkan hal yang sama.

"Kejadian pelecehan seksual di ruang publik paling tinggi terjadi di siang hari, yaitu 35 persen, disusul sore 25 persen, malam 21 persen, dan pagi 17 persen. Itu menunjukkan pelecehan seksual bisa terjadi kapan saja," tuturnya.

Dalam survei itu juga ditemukan hasil bahwa lokasi yang paling banyak terjadi pelecehan seksual adalah jalanan umum (33 persen), transportasi umum termasuk halte (19 persen), dan sekolah atau kampus (15 persen).

Survei KRPA melibatkan 62.224 responden dari 34 provinsi di Indonesia dengan beragam gender, usia, tingkat pendidikan, dan identitas.

Sementara, kasus pelecehan seksual di ranah publik menurut laporan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas sebesar 21 persen (1.731 kasus) dari total 8.234 kasus yang dihimpun.

Kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.

"Istilah pencabulan dan persetubuhan masih digunakan oleh kepolisian dan pengadilan karena merupakan dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku," tulis Komnas Perempuan seperti dikutip, Selasa, 8 Juni 2021.

Secara detail Catahu 2020 menjabarkan bentuk kekerasan lain di ranah komunitas ini berturut-turut adalah kekerasan di layanan publik atau tempat umum (pasar, transportasi umum, fasilitas umum dan terminal sebanyak 46 kasus, atau sebanyak 7 persen berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan sepanjang 2020.

Total ada 706 aduan langsung di ranah komunitas yang diterima Komnas Perempuan. Sedangkan kekerasan di tempat pendidikan 18 kasus (3 persen), dan 17 kasus sisanya adalah kekerasan di fasilitas medis atau non-medis, serta kekerasan terhadap pekerja migran. 

Berdasarkan data tersebut Indonesia masih darurat pelecehan seksual di ruang publik.

7. Hubungi layanan ini jika alami kekerasan seksual

Jeritan Korban Pelecehan Seksual: Saya Mau Teriak, Tapi Tidak BisaIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Arief Rahmat)

Kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan dan anak kerap terjadi di sekitar kita. Namun, banyak pihak yang tak tahu harus ke mana saat seorang korban membutuhkan kontak darurat pertolongan kekerasan seksual yang bisa dengan mudah dihubungi.

Segera hubungi hotline berikut ini dan laporkan segera kekerasan seksual pada perempuan dan anak di sekitar kamu.

1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Telepon:
(+62) 021-319 015 56

Fax:
(+62) 021-390 0833

Email:
info@kpai.go.id
humas@kpai.go.id

2. Yayasan Pulih

Telepon:
(+62) 021-78842580

3. LBH Apik Jakarta

Telepon:
(+62) 021-87797289

Baca Juga: Komnas Perempuan Dukung Korban Pelecehan Seksual Gofar Hilman

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya