Kawin Paksa Sejak Balita Intai Perempuan Indonesia 

Pemda tidak maksimal atasi masalah kawin paksa

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan fakta perbudakan atau slavery masih mengintai perempuan di Indonesia.

Menurut Global Slavery Index 2016, perbudakan atau slavery, merupakan suatu situasi eksploitasi di mana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan sesuatu, karena adanya ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan.

Slavery dalam bentuk kawin paksa masih banyak terjadi, terutama di Indonesia bagian timur. Anggota Komnas Perempuan dari Kendari Linda Holy mengatakan, kawin paksa masih banyak terjadi Pulau Buru dengan dalih perkawinan adat.

"Dengan alasan adat kemudian dilakukan proses perkawinan anak, di mana anak masih usia balita, mereka dibayar, dibiayai (hidupnya) namun baik reproduksiku, tubuhku bukan milikku, karena sudah dibayar," ujarnya dalam diskusi yang dipantau secara daring, Selasa (10/11/2020).

Baca Juga: Komnas Perempuan: 115 Kasus Kekerasan Seksual Libatkan Pejabat Publik 

1. Aturan terganjal adat

Kawin Paksa Sejak Balita Intai Perempuan Indonesia ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Linda mengatakan sebenarnya negara mempunyai undang-undang untuk melindungi anak dan perempuan dari eksploitasi, khususnya kawin paksa, namun mekanisme proteksi belum sepenuhnya dilakukan pemerintah daerah.

"Padahal ini dilakukan juga oleh usia rata sudah sangat dewasa, mereka membayar anak sejak balita, dibiayai hingga dewasa. Hal ini belum tersoroti oleh pemerintah daerah dengan alasan tadi, adat," ujarnya.

2. Akses hukum di Indonesia bagian timur masih minim

Kawin Paksa Sejak Balita Intai Perempuan Indonesia Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Linda merasa prihatin mereka yang melakukan kawin paksa bahkan sejak dini, hanya digunakan sekadar sebagai pemuas birahi dan sebagai ibu rumah tangga.

"Mereka tidak bisa melindungi diri sendiri, terlepas dari akses perlindungan hukum. Ini jadi catatan di kawasan Indonesia Timur karena akses-akses mereka terhadap perlindungan hukum masih sangat minim," ujarnya.

3. Sebanyak 40 juta orang mengalami modern slaves

Kawin Paksa Sejak Balita Intai Perempuan Indonesia ANTARA FOTO/Aji Styawan

Sementara itu, pegiat HAM perempuan Yuniyanti Chuzaifah menambahkan berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 2017, sekitar 40 juta orang mengalami modern slaves.

Yuni merincikan dari jumlah tersebut 71 persen adalah perempuan, 84 persennya mengalami kawin paksa yang sepertiga dilakukan anak-anak

"Kawin paksa masuk dalam modern slaves atau perbudakan karena dia tunduk seumur hidupnya sehingga dia harus takluk kepada keputusan kemauan, penghambaan, kepada orang lain secara paksa," paparnya.

4. Anak tidak punya kemampuan memilih

Kawin Paksa Sejak Balita Intai Perempuan Indonesia Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Yuni mengatakan meskipun anak tersebut mengizinkan dirinya sendiri, namun sebenarnya hal tersebut bukan kemauan anak.

"Dia tidak punya situasi yang memilih, seakan dia mampu tapi sebenarnya tidak mampu, hidup kendali dalam orang lain, " imbuhnya.

Baca Juga: Catatan Hitam PSBB: Ada Peningkatan Kekerasan terhadap Perempuan

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya