Kementerian Perdagangan Kaji Keputusan Uni Eropa soal Sawit

Apakah ada unsur diskrimasi dalam keputusan tersebut

Jakarta, IDN Times - Kementerian Perdagangan akan mempelajari keputusan Komisi Eropa yang memutuskan budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan.

"Kita akan pelajari dulu keputusan tersebut. Langkah diplomasi sudah kita lakukan tetapi Uni Eropa seperti itu. Kalau belum keputusan masih bisa kita tahan ini kan sudah keputusan," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan saat dihubungi IDN Times, Jumat (15/3).

1. Libatkan pakar untuk analisis ada tidaknya diskriminasi dalam keputusan Komisi Eropa

Kementerian Perdagangan Kaji Keputusan Uni Eropa soal Sawitastra-agro.co.id

Lebih lanjut Oke menerangkan, dia akan mendalami kebijakan energi terbarukan yang diterapkan oleh Uni Eropa, Renewable Energy Directive II/RED II. Pihaknya akan mencari tahu apakah ada unsur diskriminasi terhadap sawit.

"Sebelum kita melangkah akan dipastikan apakah ada unsur diskriminasi di dalamnya terlebih tidak bisa kita baca dalam satu hari harus melibatkan pakar dan memahami tiap pasal sehingga tidak hanya perkiraan," jelasnya.

Baca Juga: Adakah Dampak Positif dari Luasnya Lahan Kelapa Sawit di Indonesia?

2. Sawit dinilai Eropa berisiko terhadap kerusakan lahan dan deforestasi

Kementerian Perdagangan Kaji Keputusan Uni Eropa soal SawitANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Kebijakan RED II disertai delegated act berisi kriteria Low Indirect Land Use Change (ILUC) Risk. Berdasarkan ILUC Risk tersebut, kelapa sawit dikategorikan sebagai tanaman minyak nabati yang berisiko terhadap kerusakan lahan dan deforestasi sehingga dilarang masuk ke Uni Eropa.  

"Bahasanya kan mereka tidak lagi mendiskriminasi biofuel berbasis CPO lebih awal di 2021, jadi semuanya sama (sawit dan minyak nabati lainnya), akan dikurangi pada 2030, jadi ini yang akan kita dalami apakah keputusan itu ada unsur diskriminasi," tegasnya.

Menurut Komisi Eropa yang dikutip oleh kantor berita Antara, 45 persen ekspansi dari produk kelapa sawit sejak 2008 lalu telah menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan efek gas rumah kaca.

Padahal, Komisi Eropa menetapkan batas 10 persen sebagai batas antara bahan baku yang kurang berbahaya dan lebih berbahaya. Persentase sawit jauh lebih tinggi dibandingkan produk kedelai dan bunga matahari dan rapeseed

Baca Juga: Pelanggaran HAM Tertinggi Didominasi oleh Sektor Perkebunan Sawit

3. Aturan pelarangan penggunaan bahan baku biofuel diterapkan Eropa secara bertahap

Kementerian Perdagangan Kaji Keputusan Uni Eropa soal SawitShutterstock.com/Nirapai Boonpheng

Benua Eropa sudah lama berencana untuk mengurangi penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya. Bahkan, proses itu akan dilakukan secara bertahap pada 2019 hingga 2023 mendatang. Lalu, pada 2030, penggunaan itu akan dihapus sama sekali. 

Undang-undang tersebut sempat menyebabkan keributan di Indonesia, yang telah mengancam sebuah tantangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Malaysia, yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis atas rencana Prancis menghapus minyak kelapa sawit dari biofuel pada 2020.

Biofuel utama adalah bioetanol, dibuat dari tanaman gula dan sereal, untuk menggantikan bensin dan biodiesel yang dibuat dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, kedelai atau rapeseed (canola).

Baca Juga: Komisi Eropa Putuskan Bahan Bakar dari Kelapa Sawit Dihapuskan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya