Koalisi Masyarakat Sipil Minta Vaksinasi Booster Berbayar Dihapus

Vaksinasi booster berisiko picu ketimpangan vaksinasi

Jakarta, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari CISDI, PUSKAPA, LaporCovid-19, dan Transparency International Indonesia meminta pemerintah menghapus kebijakan vaksin booster berbayar yang akan memperlebar jurang ketimpangan akses vaksin.

Relawan LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah menerangkan, vaksinasi COVID-19 memang bentuk pertahanan yang dapat efektif mengatasi pandemik panjang ini, namun itu bila diberikan merata pada semua yang berhak dalam dosis yang tepat. 

Di tengah ketimpangan vaksinasi COVID-19 dunia, ancaman varian Omicron ditanggapi dengan kebijakan khusus bagi lansia dan warga rentan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

"Namun di saat bersamaan, Indonesia baru mencapai cakupan vaksinasi dosis 2 di angka 50,68 persen per 16 Desember 2021, seiring dengan vaksinasi anak (6-11 tahun) yang baru bergulir," ujar Firdaus dalam siaran tertulis, Senin (20/12/2021).

Baca Juga: Warga Adat di Lebak Boleh Vaksinasi, Tapi Masih Ada yang Enggan

1. Sebanyak 308 laporan warga terkendala program vaksinasi nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Vaksinasi Booster Berbayar DihapusIlustrasi vaksinasi COVID-19 (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Firdaus menambahkan, di tengah kebijakan pemerintah menggulirkan vaksinasi booster berbayar, LaporCovid-19 masih menemukan kesulitan warga mengakses vaksin.

Firdaus melaporkan, per Agustus hingga 13 Desember 2021, tercatat sedikitnya 308 laporan yang menginformasikan terkait kendala warga pada program vaksinasi nasional.

"Laporan tersebut menjelaskan kesulitan warga mendaftar dan minimnya informasi ketersediaan vaksin, sehingga mereka harus melakukan pencarian secara mandiri. Selain itu, laporan juga mengindikasikan buruknya tata kelola pelaksanaan vaksin di lapangan, termasuk dalam proses administrasi pendataan dan pendaftaran program vaksinasi," paparnya.

2. Layanan vaksinasi yang terbatas dan timpang

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Vaksinasi Booster Berbayar DihapusSejumlah guru memperlihatkan sertifikat usai mengikuti vaksinasi COVID-19 untuk tenaga kependidikan, di RSUD Banten, di Serang, Kamis (25/2/2021) (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Firdaus mengungkapkan, setelah satu tahun program vaksinasi nasional berjalan, pemerintah masih kesulitan menjangkau dan memprioritaskan kelompok rentan.

Firdaus menerangkan, kapasitas distribusi dan layanan vaksinasi yang terbatas dan timpang antar perkotaan dan pedesaan juga terjadi. Perbedaan akses di Pulau Jawa dengan non-Jawa ataupun wilayah barat dengan wilayah timur membuat Indonesia kerap hadapi risiko ketimpangan vaksinasi.

"Situasi ini diperparah dengan minimnya transparansi informasi mengenai distribusi dosis vaksin pertama dan kedua," imbuhnya.

3. Kebijakan booster berbayar berisiko memicu terjadinya ketimpangan vaksinasi

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Vaksinasi Booster Berbayar DihapusSeorang peserta vaksinasi COVID-19 tengah diperiksa kondisi kesehatannya (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Perwakilan CISDI, Amru, mengatakan penyebaran variants of concern membuat pemberian dosis ketiga atau booster dibutuhkan. Namun, pemberian dosis ketiga atau booster harus dilandasi bukti ilmiah terkait penurunan kekebalan dan perlindungan klinis, berkurangnya efektivitas vaksin, dan ditargetkan untuk kelompok populasi yang paling membutuhkan, yakni lansia di atas 65 tahun dan pasien dengan gangguan imunitas.

"Dalam keterbatasan pasokan vaksin dan kapasitas vaccine delivery, kebijakan booster berbayar berisiko memperburuk ketimpangan vaksinasi, dan mengalihkan pasokan dari meratanya dua dosis pertama atau vaksinasi primer," tegasnya.

"Tanpa kecepatan, ketepatan, dan keluasan cakupan dosis 1 dan 2, prospek mitigasi pandemi bisa meleset dan berimplikasi buruk bagi kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial, dan ekonomi," imbuhnya.

4. Pemerintah jangan membuat bingung warga dengan narasi booster berbayar

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Vaksinasi Booster Berbayar Dihapusilustrasi vaksinasi COVID-19 (IDN Times/Herka Yanis).

Untuk itu, koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah memprioritaskan vaksin dosis 1 dan 2 hingga mencapai 70-80 persen secara nasional. Selain itu, juga mendorong pemerintah segera menyiapkan tata kelola vaksinasi COVID-19 jangka panjang berbasis data, komunitas, dan puskesmas, serta inklusi dan akuntabilitas. 

"Koalisi meminta pemerintah tidak membuat bingung warga dengan narasi booster berbayar, dan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan keberpihakan pada warga rentan. Penambahan jalur booster berbayar akan membebani tata kelola vaksinasi yang saat ini sudah sangat terbatas dan masih timpang," imbuhnya.

Baca Juga: [LINIMASA-3] Perkembangan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya