Komnas HAM Desak Wali Kota Depok Cabut Kebijakan Merazia LGBT
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menilai kebijakan Wali Kota Depok M. Idris Abdusshomad, untuk merazia aktivitas kelompok LGBT serta membentuk crisis center untuk korban terdampak LGBT pada 10 Januari 2019, merupakan tindakan diskriminatif.
Langkah tersebut diambil untuk mencegah dan melindungi warga dari kasus seperti Reynhard Sinaga, yang merupakan warga Depok.
"Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut," ujar Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam siaran tertulis, Senin (13/1).
Baca Juga: Istana: Mau Tidak Mau Kasus Reynhard Sinaga Mencoreng Wajah Indonesia
1. Kebijakan Wali Kota Depok bertentangan dengan dasar negara
Beka mengingatkan, kebijakan tersebut bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, UUD 45. Pasal yang dimaksud, Pasal 28G (1) dan Pasal 28I (2) UUD 1945, yang menjamin keamanan dan kebebasan warga negara dari diskriminasi.
Beka menegaskan, imbauan yang dibuat Wali Kota Depok itu juga melanggar instrumen HAM lainnya, yakni menjamin pemenuhan hak atas kebebasan seperti yang tercantum dalam Pasal 33.
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya," tegas dia.
2. Lembaga negara wajib melindungi dan memenuhi hak warga negara
Beka mengungkapkan, imbauan tersebut juga mencederai Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 17.
"Sudah kewajiban lembaga negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia semua warga negara termasuk kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender," ujar Beka.
Editor’s picks
3. Pemerintah Kota Depok wajib berbasis prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia
Menurut Beka, hak-hak hidup warga dipertegas dalam lingkup kebijakan nasional. Terlebih, pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022.
"Seharusnya mekanisme kerja yang dibangun oleh setiap lembaga negara termasuk Pemerintah Kota Depok, wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi
manusia," terangnya.
4. Kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan penderita penyakit jiwa maupun cacat mental
Beka menambahkan, Badan Kesehatan Dunia yakni World Health Organization (WHO)
telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan pada 1992.
Dalam ketentuan WHO pada Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III tahun 1993, bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
"Berdasarkan pertimbangan di atas, Komnas HAM RI meminta Pemerintah Kota Depok untuk membatalkan imbauan tersebut, dan memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender (LBGT) dari tindakan diskriminasi dan kekerasan," ujarnya.
5. Kebijakan diskriminatif membuka potensi persekusi
Komnas HAM juga meminta kepada Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah.
"Sebab kebijakan yang diskriminatif, merendahkan harkat dan martabat manusia, membuka potensi terjadinya persekusi dan tindakan melawan hukum lainnya," terang Beka.
Baca Juga: Keberpihakan HAM untuk LGBT Nyaris Tidak Ada di Indonesia