Komnas Perempuan: Upaya Pembungkaman Korban Perkosaan Anak di Luwu

Pelaporan balik jadi upaya untuk menutupi kasus utama

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menilai laporan balik yang dilakukan oleh terduga pelaku kekerasan seksual terhadap 3 anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada pelapor ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik, sebagai upaya pembungkaman.

"Tidak hanya kasus Luwu lho, banyak juga korban perkosaan atau pelecehan seksual yang diadukan balik dengan pencemaran nama baik agar kasus seksual menguap. Kondisi ini seperti adu kuat relasi, perempuan jadi korban lagi," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi pada IDN Times, Rabu (20/10/2021).

1. Kasus pelecehan seksual tidak kunjung tuntas

Komnas Perempuan:  Upaya Pembungkaman Korban Perkosaan Anak di LuwuIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Aminah mengatakan tidak sedikit kasus perkosaan atau pelecehan seksual yang akhirnya tidak bisa diungkap tuntas karena ada laporan balik dari pelaku pada korban.

"Memiliki kuasa lebih daripada korban bisa potensi dikriminalkan. Ingat kasus BPJS, korban akhirnya memcabut laporan karena dilaporkan balik. Misalnya ini terus terjadi tidak akan lagi orang melapor," ujarnya.

 

Baca Juga: Komnas Perempuan: Hasil Visum Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Beda karena Telat

2. Jika laporan pelaku diproses maka korban tidak dapat keadilan

Komnas Perempuan:  Upaya Pembungkaman Korban Perkosaan Anak di LuwuKomisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi saat berbincang pada IDN Times, Rabu (20/10/2021)/ IDN Times Dini suciatiningrum.

Aminah, menilai bila laporan pelaku sampai diproses maka korban yakni ibu dan tiga anak tidak memperoleh keadilan. Apalagi, terdapat bukti-bukti yang belum diperiksa oleh Polres Luwu Timur. Salah satunya rekam medik dari dokter yang sempat merawat anak tersebut.

"Kami merekomendasikan kepada kepolisian untuk mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain," harapnya.

Siti mengungkapkan Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung terhadap tiga anaknya.

"Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai ahli," ucapnya.

3. Hasil assessment anak alami kecemasan

Komnas Perempuan:  Upaya Pembungkaman Korban Perkosaan Anak di LuwuIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Selain itu, lanjut Aminah, assessment yang dilakukan UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan di Makassar dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas.

"Ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya," ungkapnya.

Baca Juga: Komnas Perempuan Ungkap Bukti Kasus Kekerasan 3 Anak Luwu Tak Digubris

4. Kondisi mental tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan

Komnas Perempuan:  Upaya Pembungkaman Korban Perkosaan Anak di LuwuIlustrasi stres (IDN Times/Dwi Agustiar)

Aminah mengungkapkan pada konteks ini sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana (KUHAP) seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, menjadi hambatan utama korban untuk mendapatkan keadilan.

Sebab pada pasal 184 KUHAP, menyatakan alat bukti yang sah ialah (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk dan (v) keterangan terdakwa. Selanjutnya Pasal 185 Ayat 7 dinyatakan bahwa: keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai antara satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan dari saksi yang tidak disumpah yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).

"Dalam kasus ini keterangan anak korban I, II dan III karena usianya di  bawah 15 tahun tidaklah disumpah. Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu Ibu Korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang  dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah," imbuhnya

Menurut Aminah, kondisi mental tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan. Merujuk pada UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, secara tegas dinyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak atas Hak keadilan dan perlindungan hukum di antaranya perlakuan yang sama di hadapan hukum dan sebagai subyek hukum (Pasal 9).

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya