Komnas Perempuan: Hasil Visum Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Beda karena Telat

Pemeriksaan VeR terlambat buat hasil berbeda

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan pelaksanaan Visum et Repertum (VeR) dan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) pada kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tidak segera dilaksanakan. Hal tersebut ditemukan dari penelusuran.

Padahal, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan VeR dan VeRP menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana. 

"Padahal hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan. Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Bila terlambat beberapa hari, atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan," kata Siti dalam konferensi pers virtual, Senin (18/10/2021).

1. Pelaksanaan VeR yang terlambat sebabkan hasil yang beda

Komnas Perempuan: Hasil Visum Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Beda karena TelatInstalasi Kedokteran Forensik RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Siti menjelaskan pelaksanaan VeR yang terlambat bisa menyebabkan hasil yang beda. Ia mencontohkan, luka fisik bisa sembuh setelah beberapa hari karena fisiologis atau mendapatkan terapi.

"Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian," imbuhnya.

Demikian juga dengan VeRP, Siti menilai, jika terlalu lama dilakukan dari saat waktu kejadian maka hasilnya dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang.

"Jadi yang awalnya sehat kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya," katanya.

Baca Juga: Komnas Perempuan Ungkap Bukti Kasus Kekerasan 3 Anak Luwu Tak Digubris

2. Hasil VeRP terhadap ibu korban digunakan untuk melemahkan kesaksian

Komnas Perempuan: Hasil Visum Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Beda karena TelatPetugas PMI Kabupaten Banyumas melakukan pendampingan dan konseling kepada pemudik yang menjalani karantina di GOR Satria Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa, 11 Mei 2021 (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)

Dalam perkembangan kasus Luwu Timur, lanjut Siti, hasil VeRP terhadap ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada kasus tersebut. Padahal, kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak psikologi sehingga perlu didukung pemulihannya.

"Kondisi mental seseorang juga tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan atau penghakiman terhadap kondisi kesehatan mental," paparnya.

Hal tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 9 UU tersebut disebutkan, penyandang disabilitas berhak atas hak keadilan dan perlindungan hukum di antaranya perlakuan yang sama di hadapan hukum dan sebagai subjek hukum.

3. Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan

Komnas Perempuan: Hasil Visum Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Beda karena TelatIDN Times/Margith Juita Damanik

Siti mengungkapkan Komnas Perempuan juga menemukan bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan oleh kepolisian. Komnas Perempuan pun menyayangkan hal tersebut.

"Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai ahli," ucapnya.

Selain itu, lanjut Aminah, asesmen yang dilakukan UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan di Makassar dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas.

"Ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya," ungkanya.

Baca Juga: Polri Buka Kembali Penyelidikan Dugaan Pemerkosaan Anak di Luwu Timur

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya