Komnas Perempuan Ungkap Bukti Kasus Kekerasan 3 Anak Luwu Tak Digubris
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak perbaikan sistem pembuktian, kasus dugaan kekerasan seksual pada tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, sebelum kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung ini mencuat, pihaknya telah menerima pengaduan dari Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak, selaku kuasa hukum ibu tiga korban pada 13 Juli 2020.
"Korban yang dimaksud adalah korban I yakni perempuan, 7 tahun, kemudian korban II yaitu laki-laki, 5 tahun, dan korban III perempuan, 3 tahun. Dalam pengaduan ini disampaikan bahwa penyelidik Kepolisian Resor Luwu tidak menemukan dua alat bukti yang cukup," kata dia dalam konferensi pers virtual, Senin (18/10/2021).
Baca Juga: Fakta-Fakta Baru Kasus Dugaan Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur
1. Dokter yang merawat korban tidak dijadikan saksi
Aminah mengungkapkan Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan ayah kandung terhadap tiga anaknya.
"Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual, tidak dimintai keterangan sebagai ahli," ucapnya.
2. Tiga korban ungkapkan mengalami kekerasan seksual oleh ayahnya dan dua orang
Selain itu, lanjut Aminah, asesmen yang dilakukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan di Makassar dalam laporan psikologisnya menyebutkan, ketiga anak tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas.
"Ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya," kata dia.
3. Sistem pembuktian jadi hambatan utama korban mendapat keadilan
Editor’s picks
Aminah mengungkapkan pada konteks kasus ini sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana (KUHAP) seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, menjadi hambatan utama korban untuk mendapatkan keadilan.
Sebab pada Pasal 184 KUHAP, menyatakan alat bukti yang sah ialah (i) keterangan saksi; (ii) keterangan ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk, dan (v) keterangan terdakwa. Selanjutnya Pasal 185 Ayat 7 dinyatakan bahwa: keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai antara satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan dari saksi yang tidak disumpah yaitu anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin, orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).
"Dalam kasus ini keterangan anak korban I, II dan III karena usianya di bawah 15 tahun tidaklah disumpah. Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu Ibu Korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah," terang Aminah.
4. Pemeriksaan kasus ini harus mengacu pada UU Perlindungan Anak
Aminah juga menilai pemeriksaan kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual; di antaranya anak korban atau anak saksi wajib didampingi orang tua atau orang yang dipercaya anak korban dan atau anak saksi, atau pekerja sosial.
"Dalam kasus ini, anak-anak tidak didampingi oleh ibu korban, atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh anak korban," katanya.
5. Pengumpulan bukti tidak optimal membuat kasus berhenti
Selain itu, lanjut Aminah, permintaan ibu korban dan kuasa hukum untuk rekam medik dari dokter anak yang merawat serta telah mengeluarkan diagnosa, bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak tidak dikabulkan.
"Tidak optimalnya pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh ibu korban dan tim kuasa hukum," kata dia.
Baca Juga: Polri Buka Kembali Penyelidikan Dugaan Pemerkosaan Anak di Luwu Timur