Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan Beracun

Pemerintah akan memanfaatkan limbah FABA

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menghapus limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan tersebut telah disahkan Jokowi pada 2 Februari 2021. Dalam peraturan tersebut terdapat pengaturan tentang Pengelolaan Limbah B3 dan NonB3 dari kegiatan pembakaran batu bara, Fly Ash dan Bottom Ash (FABA).

Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Nani Hendiarti mengatakan, penyusunan PP Nomor 22 Tahun 2021 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membutuhkan proses panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari daftar B3.

Sebelum terbitnya PP Nomor 22 Tahun 2021, Kemenko Marves telah mendorong adanya revisi Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 10 Tahun 2020, tentang Uji Karakteristik Limbah B3 untuk mengakomodasi penyederhanaan prosedur uji limbah FABA agar bisa dikecualikan dari status B3.

"Ini sebenarnya sudah dibahas secara detail dan sudah diakomodir upaya pengecualian FABA sebagai B3, dan dapat memanfaatkan FABA sambil menunggu hasil uji karakteristik toksikologi sub kronis yang memerlukan waktu cukup lama,” kata Nani seperti dikutip dari laman Kemenko Marves, Kamis, 11 Maret 2021.

Baca Juga: Sekjen PBB Minta Semua Proyek Batu Bara Seluruh Dunia Dibatalkan

1. Pemerintah mendorong FABA untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunIlustrasi tongkang angkut batu bara. IDN Times/Mela Hapsari

Untuk itu, pemerintah mendorong pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.

Nani menjelaskan penggunaan FABA untuk berbagai keperluan harus tetap menerapkan prinsip kehatian-hatian, setelah adanya dorongan dan permintaan berbagai pihak untuk pengecualian FABA dari daftar limbah berbahaya (B3).

Adanya regulasi baru tersebut, kini PLTU yang banyak menghasilkan FABA sudah bisa bergerak cepat dalam menyiapkan skenario dan road map atau peta jalan pemanfaatannya.

“Pemanfaatan FABA sudah sering dibahas, digunakan untuk bahan baku berbagi produk dan ini nantinya masuk sirkularitas dalam sektor industri,” ujar Nani.

2. Pemanfaatan FABA sebagai bahan pendukung infrastruktur, baik jalan, batako, dan sebagainya

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunIlustrasi. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Nani mengatakan kebijakan ini jadi langkah awal untuk memanfaatkan limbah FABA yang ada saat ini. Konkretnya, dalam kegiatan ini akan didorong kolaborasi serta penyusunan peta jalan pemanfaatan FABA yang ujungnya ada semacam program atau produk percontohan (pilot project).

“Dalam berbagai kesempatan, Pak Menko Marves telah menyampaikan komitmennya untuk mendorong percepatan pemanfaatan FABA sebagai bahan pendukung infrastruktur, baik jalan, batako, dan sebagainya. Jadi saya rasa momen ini harus dijaga dan kita segara punya contoh besar pilot project dan bisa segera kita realisasikan. Kami juga ingin jalan satu tim, saling support untuk mewujudkan apa yang kita inginkan tadi, semoga kegiatan lokakarya pemanfaatan FABA menjadi langkah konkret untuk kita kerja bersama-sama,” ucap dia.

3. Selama ini FABA masuk dalam kategori limbah beracun, sehingga sulit dimanfaatkan

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunIlustrasi Sampah Medis (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Sementara, Penasihat Khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Yohanes Surya menyampaikan, lewat lokakarya pemanfaatan FABA diharapkan ada tindakan nyata di Indonesia. Sebab, selama ini FABA sudah banyak digunakan di bidang konstruksi, misalnya geopolimer dan lainnya.

“Kemudian juga kita harapkan ada pemanfaatan FABA untuk semen, pengganti substrat karang, mangrove dan ekstraksi kandungan-kandungan material penting lainnya. Saya berharap hari ini kita punya tindakan nyata setelah ini, apa yang bisa kita lakukan,” kata dia.

Yohanes mengungkapkan selama ini FABA masuk dalam kategori limbah beracun sehingga sulit dimanfaatkan keberadaannya oleh penghasil limbah itu sendiri, yakni PLTU. Padahal biaya untuk pengelolaan limbah jenis ini relatif besar. Keluarnya PP Nomor 22 Tahun 2021 akan menjadi kabar baik, karena FABA sudah bisa dimanfaatkan.

“Sekarang dana untuk pengelolaan limbah itu bisa menurunkan biaya produksi listrik, bahkan mendapat keuntungan dari pemanfaatannya. Tahun ini jumlah FABA yang dihasilkan sekitar 17 juta ton dan tiap tahun itu meningkat. Pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton,” sebutnya.

4. Pemanfaatan FABA untuk beton sebagai bahan pengganti semen atau pasir perlu ada SOP

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunANTARA FOTO/BPJSTK-Rama Kundarsa

Sementara, Dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Januarti Jaya Ekaputri mengatakan, hingga kini sudah ada penelitian final terkait pemanfaatan FABA untuk beton sebagai bahan pengganti semen atau pasir dari level laboratorium serta kerja sama dengan industri.

“Sekarang masalahnya sejak FABA itu sudah dikeluarkan dari daftar limbah B3, ini aplikasinya harus ditingkatkan, kalau dulu orang ragu-ragu, ini izinnya bagaimana, transportasi bagaimana, dan apakah melanggar regulasi atau tidak,” kata dia pada kesempatan yang sama.

Januarti memandang setelah FABA dikeluarkan dari daftar limbah B3 pasca- terbitnya PP Nomor 22 Tahun 2021 awal Februari lalu, yang paling penting diselesaikan ialah terkait regulasi atau aturan turunannya dari pemerintah terkait pemanfaatan FABA.

Pemerintah melalui kementerian terkait harus segera mengeluarkan aturan atau semacam standar operasional prosedur (SOP) penanganan FABA.

“Itu yang kita tunggu. Kemudian dari sisi industri, itu mereka jangan bingung lagi, karena ada model yang dapat diaplikasikan dalam sebuah produk, siapa yang mau menggunakan atau pakai,” ujar Januarti.

“Harapan saya sebagai peneliti, kita harus punya pusat riset tentang FABA, karena Indonesia potensi batu baranya banyak. Jadi sebagai pusat informasi dan pusat ilmu pengetahuan, sebaiknya ada pusat riset baut bara, termasuk pemanfaatan limbahnya,” imbuhnya.

5. Biaya setiap 10 persen pembakaran FABA bisa mencapai Rp500 ribu per ton FABA

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunBekas galian tambang batu bara ilegal di Waduk Samboja, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. IDN Times/Surya Aditya

Senada, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Taufik Mulyono mengungkapkan, FABA bisa berfungsi sebagai sumber daya bahan baku berbagai produk dan punya potensi ekonomi. Apalagi Indonesia dikenal memiliki banyak FABA hingga saat ini.

“Estimasi FABA yang ada dari beberapa PLTU di Indonesia pada 2050 itu mencapai 50 juta ton,” ungkapnya.

Agus menerangkan estimasi biaya yang diperlukan setiap 10 persen pembakaran FABA bisa mencapai Rp 500 ribu per ton FABA. Namun setelah keluar PP Nomor 22 Tahun 2021, maka estimasi biaya ini sudah berkurang.

“Itu biaya biaya handling yang dikeluarkan di 2019, di mana kita punya 14,5 juta ton FABA, seluruh Indonesia itu 7,4 triliun,” katanya.

6. FABA punya potensi sebagai sumber material-material yang dibutuhkan dalam berbagai industri strategis

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunIlustrasi tongkang mengangkut batu bara (IDN Times/Yuda Almerio)

Agus menyebutkan pada 2021 estimasi FABA yang dimiliki Indonesia mencapai 17,5 juta ton. Jika FABA masih masuk dalam daftar limbah B3, maka biaya yang diperlukan untuk pengelolaannya sangat besar dan setelah adanya PP Nomor 22 Tahun 2021, ongkos pengelolaan menjadi relatif lebih kecil.

“Pertanyaan, berarti ada penghematan 8,75 triliun, mestinya itu bisa dipakai untuk pemanfaatan yang lebih banyak, oleh PLTU, masyarakat, atau perusahaan, dan akan menjadi buliran sirkularitas ekonomi. Tadi dikeluarkan, sekarang bisa dihemat,” kata dia.

Agus juga menyebutkan pemanfaatan FABA bisa bermacam-macam dan ini sesuai kebutuhan di lapangan, terutama untuk industri konstruksi, baik jalan maupun lainnya. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi material maju.

“Jadi FABA punya potensi sebagai sumber material-material yang saat ini sangat dibutuhkan dalam berbagai industri strategis. Yang lagi ramai mobil listrik, baterai, dan seterusnya,” ujar dia.

7. Presiden Jokowi teken PP No 22 Tahun 2021 pada 2 Februari

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan BeracunPresiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Ma'ruf Amin menyampaikan pernyataan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (31/10/2020). ANTARA FOTO/Biro Pers/Rusman/Handout

Perlu diketahui, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diteken Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021, dan mulai diundangkan atau berlaku sejak peraturan ini diteken.

Tidak disebutkan secara gamblang mengenai aturan limbah batu bara masuk dalam limbah tidak berbahaya (nonB3). Namun, sebagaimana dalam aturan PP Nomor 101 Tahun 2014, FABA masuk kategori limbah B3, sehingga dalam penanganannya menjadi sulit dan membutuhkan biaya hingga menembus angka triliun.

Meski tidak disebutkan secara jelas, dalam salinan PP Nomor 22 Tahun 2021, dijelaskan dalam Pasal 459 Ayat (3) huruf C, "Pemanfaatan limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan limbah nonB3 khusus seperti flg ash batu bara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidi Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan."

Sementara, pemanfaatan limbah nonB3 sebagai substitusi bahan baku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 459 ayat (3) huruf a dapat dilakukan pada kegiatan:

a. pembuatan beton, batako, paving block, beton ringan, dan bahan konstruksi lainnya yang sejenis,
b. industri semen,
c. pemadatan tanah, dan 
d. bentuk lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan, produk hasil pemanfaatan limbah nonB3 sebagaimana disebutkan ayat (1), harus memenuhi standar produk.

Sebelumnya, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza dalam rapat virtual pembahasan pengelolaan FABA bersama PLN pada 30 Juli 2020, mengatakan potensi timbunan FABA di Indonesia sangat tinggi, yang jika dibiarkan akan berbahaya. Padahal, ia mengklaim, FABA memiliki potensi ekonomi apabila dimanfaatkan dengan baik.

“Saat ini jika dihitung, timbunan FABA cukup tinggi mencapai 5 juta ton lebih per tahunnya. Jika dibiarkan dapat berisiko tinggi terjadi bencana seperti yang pernah terjadi di Amerika, di mana tanggul penampung FABA rusak sehingga FABA tumpah ke sungai yang berujung pada bencana banjir akibat terjadi pendangkalan sungai. Padahal, dari sisi sustainability consumption and production, FABA ini mempunyai potensi circular economy yang bagus,” kata dia, seperti dilansir dari laman bppt.go.id.

Hammam menjelaskan, saat ini teknologi pemanfaatan FABA sudah dikembangkan di BPPT dan siap diterapkan, namun terkendala status FABA sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Untuk itu pihaknya mengusulkan perlu segera dibuatkan satuan tugas tim ahli yang terdiri dari lembaga litbang, perguruan tinggi dan instansi terkait untuk menyelesaikan kajian guna mendelisting atau menghapus status FABA sebagai limbah B3.

Sebagai informasi, berdasarkan PP Nomor 101 Tahun 2014, FABA masuk kategori limbah B3. Sehingga dalam penanganannya menjadi sulit dan membutuhkan biaya hingga menembus angka triliun. Padahal, berdasarkan TCLP dan LD50 atau parameter yang mengukur suatu bahan masuk B3 atau bukan, FABA terbukti memenuhi syarat sebagai limbah yang tidak tergolong B3.

Sementara, FABA sebagai limbah B3 disebutkan dalam Ayat (1) Huruf a Pasal 54, "Contoh Pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku antara lain Pemanfaatan Limbah B3 fly ash dari proses pembakaran batu bara pada kegiatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang dimanfaatkan sebagai substitusi bahan baku alumina silika pada industri semen."

 

8. 'Kado' presiden dan DPR untuk pengusaha tambang di tengah pandemik

Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan Beracun(Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Dalam UU Minerba yang diubah, pada Pasal 128 dan 129 disisipkan Pasal 128A yang memberi perlakuan tertentu bagi pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah. Dengan pengenaan royalti 0 persen yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Dengan kata lain, perusahaan batu bara yang membangun smelter, misalnya, tidak perlu membayar royalti kepada negara.

Seperti dilansir mongabay.co.id, 16 October 2020, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menilai, sisipan pasal tersebut dianggap sebagai 'kado' presiden dan DPR untuk pengusaha tambang.

“Ini mengonfirmasi, regulasi kontroversial itu diduga kuat pesanan dari oligarksi, pengusaha tambang terutama batu bara,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah.

Merah mengatakan saat negara mengalami resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan dan meninggal karena pandemik yang tak kunjung usai, presiden dan DPR justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batu bara.

“Semua ini terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja ini sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur baur,” kata dia.

Merah menyebut, sekitar 50 persen isi anggota DPR dan pimpinan juga terhubung dengan bisnis batu bara. Bahkan, Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batu bara yang akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini.

Sementara, peneliti Auriga Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, pemberian royalti 0 persen sama dengan memberikan batu bara cuma-cuma kepada pengusaha batu bara, dan mengkhianati amanat UU 45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Iqbal memperkirakan insentif dari pemerintah ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran, yang beriringan dengan makin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tak layak huni.

“Situasi ini bertentangan dengan niat Pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN [rencana pembangunan jangka menengah nasional],” kata dia.

Sejak tahun lalu sebelum pandemik, kata Iqbal, sejumlah perusahaan batu bara besar sudah mengalami kesulitan keuangan dengan utang jatuh tempo pada 2020-2022. Moody’s Investor Services mencatat, total utang perusahaan mencapai sekitar Rp4,2 triliun, akan jatuh tempo pada 2022.

Utang tersebut berbentuk kredit perbankan atau obligasi. Melalui UU Cipta Kerja yang dinilai 'menunggangi' pandemik, kewajiban perusahaan menyetor royalti dapat diskon hingga 100 persen.

Artinya, menurut Iqbal, ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga 1,1 miliar dolar AS dan 1,2 miliar dolar AS dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batu bara.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, eksploitasi di daerah memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanah mereka.

Bahkan, kata Kisworo, dalam Pasal 47 dan 48 UU Minerba bagian pemanfaatan ruang laut juga disebutkan, perizinan berusaha pemanfaatan di laut untuk kegiatan biofarmakologi laut hingga kegiatan usaha pertambangan migas mineral dan batubara.

“Biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan buntung,” kata Kisworo.

Sementara, dalam Pasal 39 UU Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja disebutkan, di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal I28A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal l28A
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO2 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.

(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu
bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Baca Juga: 150 Ton Limbah Milik Penambang Ilegal Ditemukan di Aceh Selatan

Topik:

  • Rochmanudin
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya