Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Perjuangkan UU Narkotika di MK 

Mereka menginginkan pengobatan menggunakan ganja jadi legal

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi RI kembali menggelar persidangan untuk perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan, Rabu (21/4/2021).

Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia. Mereka adalah Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti.

1. Pemohon kehilangan putranya setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy

Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Perjuangkan UU Narkotika di MK Anak cerebral palsy ikut penyuluhan dari mahasiswa USM. IDN Times/Fariz Fardianto

Agenda sidang membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Dalam sidang ini, Kuasa hukum pemohon, Erasmus Napitupulu juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara ini salah satunya yakni berita duka dari pemohon Ibu Dwi Pertiwi yang kehilangan putranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa.

"Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal," tulis Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
dalam siaran tertulis yang diterima IDN Times, Rabu (21/4/2021)

Baca Juga: Ganja Berbahaya? Ini 5 Fakta tentang Ganja sebagai Tanaman Penyembuh

2. Ganja tidak lagi dipersamakan jenis narkotika Golongan I

Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Perjuangkan UU Narkotika di MK Ilustrasi daun ganja (IDN Times/Arief Rahmat)

Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.

Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis.

"Sebagaimana diketahui pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika Golongan I lainnya yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian," imbuhnya.

Bahkan sebaliknya, hal ini memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

3. Desakan agar pemerintah dan DPR sikapi potensi penggunaan ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan

Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Perjuangkan UU Narkotika di MK Ilustrasi daun ganja, pengedar ganja (IDN Times/Arief Rahmat)

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang terdiri dari Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN berharap dengan adanya perkembangan-perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian.

Sebagaimana juga harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain.

"Untuk itu, koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Sebagai negara anggota, Pemerintah Indonesia secara sikap politis harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan UU Narkotika," tegas Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan.

Baca Juga: BNN Gagalkan Peredaran Setengah Ton Ganja Berbentuk Lemang di Bogor

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya