[WANSUS] Waspada Lonjakan COVID-19 Akhir Tahun, IDI Beberkan Prediksi

Jangan sampai puncak kasus COVID-19 terjadi lagi

Jakarta, IDN Times - Tiga tahun lalu tepatnya pada 1 Desember 2019, kasus COVID-19 ditemukan di Wuhan, China. Sejak saat itu, wabah meluas hingga menjadi pandemik di dunia sampai saat ini. 

COVID-19 juga terus bermutasi memunculkan varian baru yang menimbulkan gelombang kasus, hingga membuat nyawa pasien yang terkonfirmasi terpapar terus berjatuhan dalam waktu berdekatan. Varian tersebut mulai varian Delta, Omicron, hingga dua varian Omicron yakni BQ.1 dan varian XBB yang tengah mendominasi di Indonesia.

Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, per Kamis (1/12/2022), kasus virus corona di Indonesia sudah mencapai 6.669.821 kasus dengan penambahan 4.977 kasus per hari. 

Bahkan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memprediksi kasus penularan COVID-19 masih akan terus meningkat hingga 20 ribu kasus per hari. Kendati, pemerintah masih menerapkan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level satu, yang artinya masih banyak pelonggaran di berbagai sektor.

Masyarakat terus terlena dan jenuh dengan pandemik ini hingga tidak sedikit yang mulai mengendorkan protokol kesehatan. Lalu, bagaimana nasib liburan akhir 2022? Akankah memicu timbulnya gelombang kasus? Atau mungkin pandemik berakhir pada 2023? Berikut ini wawancara IDN Times dengan Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Erlina Burhan, belum lama ini.

1. Bagaimana situasi COVID-19 dalam dua pekan terakhir?

[WANSUS] Waspada Lonjakan COVID-19 Akhir Tahun, IDI Beberkan PrediksiKetua Satgas COVID-19 IDI, Erlina Burhan (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Jadi memang ada peningkatan kasus COVID-19. Mungkin bisa dilihat sekarang kanan kiri, keluarga, teman yang mengeluhkan “aku kok positif”, ya memang kenyataannya seperti ini, kasus COVID-19 masih tinggi, karena harus diketahui varian baru XBB ini cirinya lebih menular. Varian XBB ini merupakan turunan COVID-19 jadi memang virus ini terus bermutasi sampai saat ini muncul turunnanya. 

2. Seberapa ganas atau mematikan varian Omicron XBB?

Jadi kalau saya bilang ganas, saya agak ragu-ragu tetapi sebagai dokter saya menyampaikan bahwa sub varian Omicron XBB ini kondisinya tidak separah varian Delta. Ini saya takut atau ragu menyampaikan, karena nantinya dianggap remeh sama masyarakat, karena tingkat keparahannya (masuk rumah sakit)  tidak seperti Delta, tetapi memang tingkat menularnya lebih tinggi dibanding dibandingkan yang lain. 

Baca Juga: [LINIMASA-6] Perkembangan Terkini Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

3. Kasus COVID-19 tidak hanya terus bertambah, namun angka kematian karena virus corona ini juga banyak, apa yang sebenarnya terjadi?

Jadi memang kita perhatikan ada angka kematian karena COVID-19 ini kisaran sampai 10 sampai 20 per orang per hari, namun dalam satu minggu ini sudah mulai naik dari 30 pasien, 40 pasien sampai 50 pasien.

Jadi jika timbul pertanyaan meski tidak separah Delta, tetapi kenapa masih ada yang meninggal? Itu wajar, karena kita lupa bahwa yang dirawat di rumah sakit merupakan pasien COVID-19 dengan lansia atau risiko tinggi, mulai diabetes, hipertensi, penyakit kelainan ginjal, asma yang memang sistem imunnya juga turun, sehingga mereka atau kelompok rentan ini mudah sekali tertular.

Jika sudah terkena COVID-19, maka yang diwaspadai adalah memperburuk komorbidnya. Jadi, itulah sebab mengapa orang tua komorbid banyak yang meninggal di rumah sakit, apalagi tidak sedikit juga lansia yang belum divaksin. 

Nah, sudah sekarang sudah ada aturan agar lansia segera menjalani vaksinasi booster yang kedua. Ini keren banget, karena yang didahulukan orang tua. Jadi mari kita selamatkan orang tua agar jangan mudah terserang COVID-19 dengan segera vaksinasi, karena jika sudah terkena COVID-19, maka akan mengalami keparahan.

4. Bagaimana dengan keterisian di rumah sakit saat ini, dok?

Jadi memang di rumah sakit mengalami peningkatan keterisian,  tetapi belum kondisi yang penuh sampai membeludak seperti yang terjadi saat gelombang Delta. Tetapi memang penuh bila dibandingkan dengan hari sebelumnya saat kasus melandai, jadi  memang terjadi peningkatan kasus-kasus yang dirawat. 

5. Bagaimana kondisi tenaga kesehatan?

Jadi kalau petugas kesehatan sebenarnya sudah terbiasa dengan angka yang tinggi, karena waktu zaman Delta, atau saat puncak kasus Omicron pada Februari lalu dengan kasus sangat tinggi kita sudah terbiasa. Saat terjadi penurunan memang kita agak santai,  namun sekarang agak sibuk lagi tapi belum seperti dulu (puncak kasus COVID-19) yang over, ini masih terkendali.

Tetapi kami berharap kasus COVID-19 ini bisa dikendalikan, agar saudara-saudara kita, anak-anak kita tidak tertular, supaya bisa kembali sekolah yang benar, acara-acara di kantor bisa diadakan, bisa beraktivitas lagi, dan kegiatan ekonomi sudah berjalan. Jadi  jangan sampai ada lagi permasalahan. 

Untuk itu, kami mengimbau ini untuk kepentingan semua agar melakukan tindakan pencegahan dengan tidak abai, karena kita tidak tahu kalau berhadapan dengan penyakit menular kita gak tahu seberapa cepat penularannya sekarang ini. Tetapi yang pasti cepat sekali, artinya, apapun variannya jangan lupa protokol kesehatan  harus kita tegakkan dan hidupkan lagi. 

6. Bagaimana dokter melihat penegakan prokes di masyarakat di tengah kasus tinggi ini?

Jadi memang saya mengerti, masyarakat itu capek harus pakai masker dengan berbagai proses, tetapi kita dalam kondisi yang tetap harus menjalankannya. Jenuh boleh tapi semangat lagi disiplin prokes. Betul juga kalau virus ini bermutasi atau berubah, tetapi ingat virus ini tidak sepintar kita.

Sebenarnya virus itu gak punya otak, sementara kita kan punya, jika virus berubah mengapa kita tidak bisa berubah, masa kalah sama virus, yakin deh jika kita berusaha virusnya tidak akan menjadi apa-apa.

Virus ini tidak ada apa-apa kalau dia menempel di meja, gagang pintu dalam beberapa hari, bahkan dia akan mati. Virus ini baru menjadi hidup dan berkembang jika masuk ke tubuh manusia, dia akan berkembang biak dan menimbulkan segala macam kesakitan.

7. Kasus COVID-19 yang semakin naik apakah membuat kondisi tenaga kesehatan lebih siaga?

[WANSUS] Waspada Lonjakan COVID-19 Akhir Tahun, IDI Beberkan PrediksiIlustrasi tenaga kesehatan (ANTARA FOTO/Fauzan)

Jadi kalau tenaga kesehatan ada atau tidak ada penyakit kita tetap selalu tetap siaga. Tetapi kami berharap kasus COVID-19 ini jangan tinggi-tinggi banget, kasihan kita, capek banget, saya yakin juga masyarakat juga capek.

Ini jelang akhir tahun ada libur Natal dan Tahun Baru yang identik dengan berkegiatan berkumpul, gathering, makan-makan, atau acara berkumpul bersama, hingga membuat lupa dengan ptotokol kesehatan yang bisa memicu penularan. Oleh sebab itu, ayo kita pikir-pikir dulu ini kalau kita mau ada acara catering ya jangan lama-lama dan banyak orang.

8. Saat ini China memberlakukan kebijakan lockdown lokal akibat kenaikan kasus positif COVID-19, pelajaran apa yang bisa diambil Indonesia?

Jangan sampai kita juga seperti China. Kita juga bisa ambil pelajaran saat PSBB dilakukan tahun lalu, banyak masyarakat susah, apalagi saudara yang mencari nafkah di jalan. PSBB akan menyulitkan mereka, bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan. Jadi jangan sampai hal tersebut terulang lagi, yuk jangan sampai lockdown.

Nah bagaimanan caranya? Ayo kita kendalikan penularan COVID-19 dengan disiplin memakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan. Kalau mulai bosan pakai masker yuk kita pakai lagi maskernya, lagipula tambah keren kok pakai masker.

9. Pemerintah masih memberlakukan PPKM level 1, meski kasus positif naik, bagaimana pandangan IDI?

Saya rasa PPKM level 1 sudah cukup ya, jangan sampai dinaikkan di level 2 yang akan membatasi kegiatan masyarakat, orang akan semakin marah. Tapi jika tidak mau dinaikkan levelnya, ya kita disiplin prokes dong kalau bisa sampai PPKM hilang.

Untuk itu, kita perlu kerja sama bukan hanya dari penerintah, tenaga kesehatan saja, namun juga dari masyarakat. Jangan sampai kondisi mengerikan di akhir 2020 atau awal 2021 (puncak kasus COVID-19) terulang lagi, jangan sampai kejadian lagi.

10. Prediksi yang dilakukan pemerintah tentang puncak kasus COVID-19 dianggap menakuti, bagaimana pendapat dan prediksi IDI?

Ini menjadi warning atau peringatan pada masyarakat bahwa COVID-19 masih ada, lho. Terkait prediksi ini hanya perkiraan sepertii cuaca yang mengatakan besok akan hujan, sehingga masyarakat yang tahu akan membawa payung. Sama juga prediksi COVID-19 agar masyarakat lebih wasapada dan jaga prokes. 

Prediksi ini juga mengingatkan bahwa varian XBB menimbulkan kenaikan kasus, varian ini yang membuat negara lain juga tinggi. Adanya prediksi 20 ribu sampai 30 ribu kasus per hari tidak apa-apa, kita sikapi dengan antisipatif jangan reaktif. Kita lakukan pencegahan bersama-sama.

Parahnya, jika pemerintah tahu informasi ini tetapi tidak diungkapkan karena dikira menakuti, nantinya kan masyarakat yang akan mak-maki, jadi jangan sampai ini terjadi. Kita ambil langkah antisipasi agar gelombang kasus tidak terjadi di akhir tahun.

Prediksi IDI sendiri sama dengan pemerintah, karena yang memegang data semua pemerintah jadi kita ikuti saja. 

Baca Juga: [LINIMASA-11] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

11. WHO pernah mengatakan bahwa akhir pandemik di depan mata saat kasus melandai, namun tidak lama kasus naik, bagaimana IDI melihat ini?

Ini jadi pelajaran buat kita, WHO dan pemerintah. Transisi pandemik ke endemik membuat semua orang euforia, lepas masker, abaikan protokol kesehatan, akibatnya terjadi peningkatan kasus.

Jadi sebenarnya serba salah juga jika diberitahu hal baik banyak yang euforia abai dengan prokes, padahal COVID-19 masih ada, jika diberitahu berita buruk dikira menakuti. Tetapi bagaimana pun juga kita harus profesional untuk menyampaikan pada siapa pun dan selalu mengkampanyekan protokol kesehatan agat jangan sampai lonjakan  kasus di terjadi di akhir tahun ini. 

12. Rekomendasi IDI kepada pemerintah melihat kasus COVID-19 saat ini?

Kebijakan pemerintah sekarang memang sudah jalan, tetapi memang sudah mulai kendor. Kami dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pemerintah untuk kembali menjalankan kebijakan yang pro pencegahan protokol kesehatan. 

Kami mengimbau pemerintah kembali berusaha agar cakupan vaksinasi atau booster pertama karena cakupan masih di bawah 30 persen. Ini juga ada kebijakan booster kedua bukan hanya untuk tenaga kesehatan, tetapi juga untuk lansia. Jadi ayo yang muda-muda ini ajak opa, oma, kakek, nenek untuk melakukan vaksinasi.

Pemerintah kita imbau untuk melakukan jemput bola, kalau perlu untuk memberikan arahan kepada RT/RW, atau kelurahan agara  mendatangi rumah-rumah yang punya orang tua dan melakukan skrining dan melakukan vaksinasi. Sekali lagi agar pemerintah selalu mengingatkan masyarakat tegakkan protokol kesehatan dan gencarkan vaksinnya.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya